Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Lily Hilang
"Kenapa berdiri di situ?" tanya Pak Bima kepadaku tiba-tiba. Suaranya itu terdengar lantang dengan nada serak basah memperkuat aura maskulinnya yang kuat.
Mendengarnya sontak aku berbalik badan untuk mengusap wajah, entah mengapa aku malah bersedih begini.
"Maaf Pak, sudah satu jam Pak Bima mandi, jadi saya ke sini untuk memastikan."
"Sudah lama?"
"Tidak, saya baru saja datang mungkin sekitar 6 atau 7 detik dari Bapak sadari tadi." Jawabku bohong sambil cengengesan.
Aku agak merinding saat Pak Bima melewati ku di muka pintu. Tetapi aku berharap, dia tidak menyadari kebohongan yang ku lakukan. Entah apa yang akan terjadi, ku rasa dia akan salah paham jika dia tahu aku mendengar doa-doa nya barusan.
Mungkin tidak adil jika memilih jalan hidup yang sedang dijalankan Pak Bima, sedangkan jauh di dalam hati kecilnya ia masih menyimpan nama seorang gadis dan mengorbankan masa depan dan cintanya hanya untuk Lily, seorang anak yang di campakkan orang tua kandungnya.
Aku melirik sekilas ke arah Pak Bima yang baru saja menikmati makan malam miliknya. Pak Bima dalam perkiraan ku pasti memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter, dengan rambut yang masih menggumpal karena basah, ditambah kaus polo hitam panjang yang lengannya di gulung seperempat ke atas, Pak Bima ini sangat sulit untuk tidak menarik perhatian, pikirku. Beruntunglah perempuan bernama Mbak Maya tadi, bisa memiliki hati dari pria baik yang kaku dan keren ini.
Ya, meskipun akhirnya kandas juga.
"Setelah makan malam ini, kamu bisa kan temani Lily tidur seperti semalam? Saya mungkin tidak bisa."
"Bisa Pak."
"Tidak mau!"
Kami menengok bersamaan. Rupanya di belakang Pak Bima; Lily berdiri memberengut kesal.
"Lily tidak mau Papa tidur di sofa belajar lagi!"
"Loh, kenapa?" Pak Bima berdiri dan berjalan mendekati Lily. "Kenapa Papa tidak boleh tidur di sana?"
"Papa selalu begitu. Tiap ketemu tante, Papa selalu di situ sendiri!"
"Ya sudah, kalau tidak boleh. Papa nanti tidur di kamar."
"Kenapa tidak mau tidur dengan Lily?"
"Semalam Papa tidur dengan Lily." Pak Bima membela diri. Ucapannya memang selalu lembut, 180 derajat jauh berbeda dari pada saat bersama orang lain.
"Papa pindah tidur di Sofa. Bukan sama Lily dan Mama."
Aku tercengang. Dan kulihat Pak Bima terdiam. Kupikir semalam Lily sudah nyenyak selebihnya tidak tahu apa-apa. Tapi, malam ini dia tiba-tiba memberontak dan mengatakan semua pengetahuannya. Aku pikir semua baik-baik saja, terlebih sedari tadi sejak pagi tadi, dia tidak bahas apa pun. Apakah keluarga ini memang seperti itu? Termasuk Lily yang sekecil itu?
"Papa tidak mau dekat Lily..."
"Bukan, bukan begitu."
"Papa selalu sedih tiap tante itu datang. Sudahnya Lily langsung di diamkan."
Pak Bima mengusap wajahnya kasar. Sempat dia menunduk sebentar sambil berjongkok di depan anaknya, Lily. Aku tak tahu harus berbuat apa saat situasi begini, aku cuma pembantu. Dan bukankah pembantu itu tidak berhak ikut campur urusan majikan?
"Pasti karena Lily anak angkat." Lily terisak. "Karena tante tidak suka Papa punya Lily, jadinya Papa sedih."
Aku gemetar mendengar suaranya. Pak Bima membisu, terdiam kaku.
"Dari siapa Lily belajar begitu?!" Ujar Pak Bima, aku khawatir sebab dia mulai menaikkan nada bicara.
"Siapa yang ajarkan Lily soal anak angkat?!" Tegasnya.
Kulihat matanya yang menyala karena marah, ini hampir mirip persis saat Pak Bima mengajar. Dan ini tidak tepat bila ia melakukannya pada Lily.
"Pak ... sudah Pak." Aku mencoba melerai.
Lily melihatku bergelimang air mata, dia makin terisak dan berharap mendapatkan pembelaan. Aku tahu itu, sebab dulu aku juga begitu bila dimarahi Ibu.
Begitu aku ingin mendekati Lily, dia langsung pergi.
Aku sempat ingin mengejar, tapi ditahan Pak Bima. Karena suasana memang sedang tidak enak, aku tidak berani melawan perintahnya.
"Biarkan saja, paling dia langsung tidur. Kalau kamu dekati sekarang dia bakal tambah mengamuk."
"Tapi Pak," kataku.
"Aku tidak tahu, mungkin karena merasa memiliki kamu sebagai ibu, dia jadi lebih banyak menuntut."
...****************...
Malam berlatar legam penuh kelabu sedangkan jauh di sana bintang berkitar, berserakan di sekitar bulan. Persis seperti hatiku yang di kelilingi rasa takut dan gelisah, bagaimana cara ku menghadapi masalah keluarga dari profesor termuda di universitas?
Sudah jam 21.00 malam, aku berpikir Lily mungkin sudah tidur seperti kata Pak Bima. Jadi, aku coba periksa sekaligus tidur di sampingnya. Tapi hal tak terduga menyambutku, buatku makin gelisah.
"Pak!!!" Aku teriak. "Pak Bima!!!!"
"Lily tidak ada di kamar, Pak."
"Coba kulihat kamar mandi," sahut Pak Bima.
"Tidak ada Pak," jawabku. "Saya sudah lihat seluruh sudut kamar, Lily tidak ada."
Aku tahu saat itu Pak Bima sedang kesal, tapi bukan kesal karena Lily menghilang, melainkan kesal karena merasa kecolongan.
"Dia pasti keluar rumah."
Mataku terbelalak dengan dugaan Pak Bima.
Jadi tanpa embel-embel dan basa-basi lagi kami lekas bersiap, Pak Bima dengan cepat memakai jaket kemudian kami pergi berdua. Cari Lily di sekitaran rumah.
"Li, kamu kemana? Kamu pergi lewat mana?" aku menggumam.
Rasanya kaki ku gemetar. Takut, gelisah, khawatir sekaligus tak habis pikir. Bagaimana bisa anak seperti Lily melakukan hal sejauh ini? Aaahhhh, pusing.
Tetapi, benakku kini dipenuhi sesosok bayangan berambut cokelat gelap yang memukau, sehingga jalanan yang sepi dan sunyi ini sama sekali tidak menggangguku. Aku mengikuti langkah kaki Pak Bima yang panjang.
Tidak lama kemudian sampailah kami di pangkal jalan, Pak Bima tiba-tiba menggandeng tanganku masuk ke sebuah jalan lorong di samping rumah.
"Dia mungkin masuk ke jalan sini, soalnya Lily sering jajan di warung belakang." Kata Pak Bima, aku cuma mengangguk.
"Loh, Bapak dosen?" Sambut ibu warung, begitu kami sampai. "Mau beli apa? Tumben datang malam-malam begini?"
"Lily tadi ke sini, bu?" Kataku.
"Waduh, Ibu dari tadi pagi jaga warung tidak lihat si cantik jajan."
Aku langsung mendongak, menengok wajah Pak Bima. "Gimana ini, Pak?"
Pak Bima terdiam beberapa saat, kemudian menjawab; "Kita cari lagi ke belakang, dia tidak hafal jalan. Mungkin ambil jalan asal-asalan."
"Kenapa Pak dosen? Si cantik kenapa?" Ibu warung menyatukan alisnya.
"Lily kab---"
"Dia keluar sendirian, Bu." Kata Pak Bima menyela omongan ku.
"Kok bisa?"
Tiba-tiba Pak Bima balik badan sambil menarik lenganku, jadi mau tidak mau aku juga ikut berdiri mengikutinya.
"Maaf bu, kalau lihat Lily, beritahu kami ya bu." kata ku.
Tiba-tiba di pertengahan jalan, turun hujan yang agak deras. Tetapi tidak mengurangi tekad Pak Bima dan aku untuk segera menemukan Lily dan membawanya pulang ke rumah.
"Pak, Lily sudah sering kabur begini?" kataku se-pelan mungkin.
"Tidak. Ini pertama kalinya."
"Kalau pertama kali, saya rasa Lily tidak mungkin bakal pergi jauh. Lily mungkin marah, tapi dia tetap anak-anak jadi pasti belum punya keberanian yang besar."
Pak Bima diam, hingga akhirnya memilih terus berjalan tanpa memperdulikan yang baru saja ku katakan.
Aku menyadari, semua yang dilakukan Pak Bima hari ini tidak kurang dari kasih sayangnya pada Lily. Aku tahu dia khawatir, sampai tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku juga tahu dia menyesal, terlihat dari sorot matanya sekarang.
"Ayo, kita ke sana..."
"Kemana, Pak?"
Alhamdulillah... selamat ya kk🤗
Sukses selalu