Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertengkar
Jarum jam menunjukkan pukul 01:30 dini hari ketika pintu apartemen terbuka. Dimas melangkah masuk dengan langkah berat, aroma alkohol menguar dari tubuhnya. Rani, yang tertidur di sofa ruang tamu, terbangun mendengar suara langkah kaki yang tidak beraturan.
"Dimas?" panggil Rani lirih, matanya menyipit menyesuaikan dengan cahaya temaram.
Dimas bahkan tidak menoleh. Dia berjalan lurus menuju kamar tidur, mengabaikan keberadaan Rani sepenuhnya. Pintu kamar dibanting menutup, membuat Rani terlonjak.
Dengan ragu, Rani mendekati pintu kamar. Tangannya terangkat, hendak mengetuk, namun urung. Dia bisa mendengar suara Dimas yang bergumam tidak jelas di dalam.
"Dimas, kau baik-baik saja?" Rani memberanikan diri bertanya.
"Pergi," suara Dimas terdengar dingin dari balik pintu. "Aku ingin sendiri."
Rani menelan ludah, mencoba menekan rasa sakit yang menusuk hatinya. Dia kembali ke sofa, meringkuk di sana dengan air mata yang mulai mengalir tanpa suara.
Pagi menjelang, sinar mentari menerobos masuk melalui celah tirai. Rani terbangun dengan kepala pusing dan mata sembab. Dia melirik jam - pukul 07:00. Suara shower dari kamar mandi menandakan Dimas sudah bangun.
Rani bergegas ke dapur, menyiapkan kopi dan roti panggang. Sebuah rutinitas yang tetap dia lakukan, berharap bisa mencairkan sikap dingin Dimas.
Dimas keluar dari kamar mandi, mengenakan kemeja kerja dan celana bahan. Wajahnya datar tanpa ekspresi, matanya memancarkan kekosongan yang menakutkan. Dia duduk di meja makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Aku sudah siapkan sarapan," ujar Rani lembut, meletakkan secangkir kopi di hadapan Dimas.
Dimas hanya melirik sekilas, lalu mulai meminum kopinya tanpa berkata apa-apa.
"Dimas," Rani memberanikan diri memecah keheningan. "Kita perlu bicara."
"Tentang apa?" tanya Dimas datar, matanya masih terfokus pada cangkir kopi.
"Tentang kita. Tentang apa yang terjadi semalam. Tentang... Kayla."
Mendengar nama itu, tubuh Dimas menegang. Matanya yang tadi kosong kini berkilat tajam.
"Jangan sebut nama itu," ujar Dimas dingin.
"Tapi kita harus membicarakannya, Dimas. Sudah setahun sejak Kayla pergi ke London, dan kau masih—"
"Cukup!" Dimas memotong dengan nada tinggi, membanting cangkir kopinya ke meja. "Aku tidak ingin membahasnya. Tidak sekarang, tidak nanti, tidak pernah."
Rani terdiam, kaget dengan reaksi Dimas. "Lalu... bagaimana dengan kita, Dimas? Aku di sini, mencoba membantumu, tapi kau terus mendorongku menjauh."
Dimas bangkit dari kursinya, matanya menatap Rani dengan dingin. "Aku tidak memintamu untuk membantuku. Aku tidak memintamu untuk tetap di sini."
Kata-kata itu menghantam Rani bagai pukulan telak. "Apa maksudmu, Dimas? Kau... kau ingin aku pergi?"
"Aku tidak mengatakan itu," Dimas menjawab datar. "Tapi jika kau tidak tahan dengan sikapku, pintu keluarnya di sana."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Rani. "Kenapa kau melakukan ini, Dimas? Apa salahku?"
"Bukan salahmu," Dimas menjawab, suaranya sedikit melunak. "Ini tentang aku. Aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan, Rani. Aku tidak bisa menjadi orang yang kau harapkan."
"Yang kuinginkan hanya kau, Dimas. Kau yang dulu, yang penuh semangat dan cinta."
Dimas tertawa getir. "Orang itu sudah tidak ada, Rani. Dia pergi bersama Kayla ke London."
"Lalu kenapa kau tidak menyusulnya?" tantang Rani, frustrasi mulai menguasainya. "Jika kau masih mencintainya, kenapa kau masih di sini?"
"Karena aku pengecut," Dimas menjawab, matanya menerawang jauh. "Aku takut dia sudah berubah. Aku takut dia sudah menemukan orang lain. Aku takut... aku tidak cukup baik untuknya."
Rani mendekati Dimas perlahan. "Dimas, dengarkan aku. Kau bukan pengecut. Kau hanya terluka. Tapi kau tidak bisa terus seperti ini. Kau harus memutuskan. Antara mengejar Kayla atau... atau mencoba bersamaku."
Dimas menatap Rani, ada keraguan yang terpancar di matanya. "Aku tidak tahu, Rani. Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai lagi."
"Setidaknya cobalah," Rani memohon, tangannya terulur hendak menyentuh Dimas, namun Dimas menghindar.
"Aku perlu waktu," ujar Dimas akhirnya. "Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu sekarang."
Rani mengangguk lemah. "Baiklah. Aku akan memberimu waktu. Tapi kumohon, Dimas, berhentilah minum. Itu tidak menyelesaikan masalah."
Dimas tidak menjawab. Dia mengambil tas kerjanya dan berjalan menuju pintu.
"Aku pulang telat hari ini," ujarnya sebelum menutup pintu, meninggalkan Rani sendirian dengan sejuta pertanyaan dan kekhawatiran.
Rani menatap pintu yang tertutup, air matanya akhirnya jatuh. Dia tahu perjalanan mereka masih panjang dan mungkin akan semakin sulit. Tapi dia juga tahu bahwa cintanya pada Dimas terlalu dalam untuk menyerah begitu saja.