NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NONA GEMAS

TIGA hari terakhir berlangsung cukup menyebalkan. Selalu ada saja makanan yang harus diangkut ke rumah Yesha sepulang sekolah. Untungnya masih ada Hananta, Jean, dan Ryan yang mau membantu Nara membawakannya.

Pagi ini kabarnya Yesha akan masuk sekolah. Maka disinilah Nara, menemani Tasya dirumahnya membuat bekal untuk Yesha. Tasya tadi bilang ia masih sibuk membuat bekal, lalu Nara menawarkan diri untuk datang membantu. Mereka sudah memakai seragam sekolah. Tasya tinggal menyusun sandwich yang ia buat didalam kotak bekal.

“Kira kira Yesha bakal suka nggak ya, Ra?” Tanya Tasya, menumpuk roti dengan selada, daging, dan kawan kawannya begitu hati hati.

Nara mengedikkan bahu, “Mungkin.”

“Gue sempet iri tahu sama lo pas tahu lo ngerjain tugas bareng Yesha. Tapi ada untungnya juga, kan? Seenggaknya gue punya mata mata buat tahu tentang Yesha. Dan nggak perlu ngantri nanya kayak cewek cewek disekolah.”

Nara mendengus, masih memperhatikan Tasya yang mengambil botol saus. “Lo harus percaya. Yesha itu nyebelin.”

Tasya hendak menambahkan saus.

“Jangan pake itu,” Cegah Nara. Tasya urung menambahkan saus, menatap Nara bingung. “Yesha nggak suka pedes.”

Tasya tertegun. Lalu mengangguk, menaruh lagi saus ditempatnya. “Oke, thanks. Gue juga baru tahu Yesha gak suka pedes. Kalau gini gue bisa dikira paling paham Yesha sedunia.” Tasya tertawa bangga.

“Udah ayo berangkat, nanti kesiangan salah lo ya.” Ajak Nara. Melihat Tasya selesai membuat roti sandwich, Nara duluan keluar dari dapur. Memilih menunggu di teras depan.

“Ih, tunggu, Ra!”

Taksi online pesanan Nara sudah datang. Tak lebih dari dua menit kemudian Tasya menyusul keluar, menenteng bekal sandwich-nya untuk Yesha.

Mereka berangkat sekolah bersama lagi untuk kesekian hari.

...***...

Dalam hatinya pasti Tasya sudah jingkrak jingkrak atau mungkin jungkir balik melihat sang pujaan hati saat dia dan Nara baru saja naik ke lantai dua dan belok ke kiri. Senyum Tasya tercetak sempurna, belum juga apa apa, dia sudah salah tingkah duluan. Nara sampai heran sendiri melihatnya, geleng geleng kepala.

“Ra, gue kangen banget sama Yesha sumpah!” Tasya berseru tertahan. Mereka terus melangkah ke arah Yesha yang juga melangkah ke arah mereka.

Nara berdecih, bergumam tidak peduli.

“Yesha!” Sapa Tasya riang setelah mereka tinggal berjarak lima langkah.

Yesha mengangkat tangannya, ‘hai’, lelaki itu tersenyum. Yang Nara yakin sekali Tasya nyaris pingsan melihat senyum itu. Nara juga sempat terpaku beberapa saat. Yesha ini memang hobi membuat anak orang meleyot ya? Aduh, masih pagi padahal.

“Udah sehat, Sha?” Tanya Tasya malu malu saat mereka sudah berhadapan. Membuat Nara juga harus menghentikan langkah mau tidak mau.

Yesha mengangguk mantap. “Udah.”

“Eh, ini g-gue bawa bekal buat lo, dimakan ya. Selamat belajar lagi, Yesha.”

Wajah Yesha terlihat senang—entah pura pura atau apa. Nara hanya memperhatikan dengan malas. Tasya ini selalu berlebihan kalau menyangkut segala tentang Yesha.

“Thanks ya. Nanti gue makan.”

Tasya mengangguk salah tingkah.

Yesha melihat pada Nara yang bersidekap memperhatikan. “Pelajaran pertama di ruang musik ya, Ra?”

Nara mengangguk singkat.

“Yang lain udah pada ke ruang musik, mau kesana langsung nggak? Tinggal kita soalnya.”

Oh ya? Berani sekali dia bicara begitu pada Nara didepan Tasya. Yesha ini tahu cara menghargai perasaan orang tidak sih? Nara jadi merasa tidak enak. Terkesan dia yang jauh lebih akrab dengan Yesha.

Tapi Tasya justru tersenyum, menyela percakapan—Yesha bicara sendiri sebenarnya. “Yaudah kalau gitu gue ke kelas duluan.”

“Eh, iya. Sekali lagi makasih ya.” Balas Yesha.

“Sama sama. Gue duluan ya. Bye, Ra” Tasya lantas berlalu dari hadapan Nara dan Yesha.

Nara berbalik memutar arah. Berjalan mendahului Yesha menuju ruang musik.

“Ra, tungguin dong!”

“Kok lo sok asik banget sih, Sha?” Tanya Nara datar saat Yesha berhasil menyamai langkahnya.

“Emang nggak asik ya?”

Nara menghela napas. “Tasya itu suka sama lo. Dasar nggak peka. Gue yang nggak enak lo ngomong gitu ke gue didepan dia.”

Yesha ber-oh panjang. Seperti orang bodoh. Masa begitu saja dia tidak mengerti sih?

“Sha!”

Yesha dan Nara menoleh ke sumber suara. Ryan berlari menghampiri mereka dari arah belakang, membawa bawa buku tulis pelajaran Seni Musik. Langkah Yesha dan Nara berhenti sejenak, menunggu Ryan menyamai.

“Lo akhirnya sekolah lagi,” Ryan menepuk bahu Yesha akrab. “Kasian Nara setiap pulang sekolah mejanya udah kayak mau buka grosir.” Ia tertawa.

“Nyusahin emang.” Angguk Nara.

Yesha nyengir lebar, “Orang ganteng, kan, beda.”

Nara berdecih. “Sok ganteng banget anjir.”

“Eh, Ra,” Ryan menoleh pada Nara yang berjalan disamping kanan Yesha. “Gue salut sih sama lo masih mau bawain semua makanannya. Kalau gue jadi lo sih ogah, mana banyak, ribet lagi. Lo ikhlas atau emang—”

“Emang terpaksa.” Nara tersenyum kecut. “Lo kok tahan sih, Yan, temenan sama dia?” Dagu Nara menunjuk Yesha yang berjalan ditengah.

“Nyebelin ya?”

“Sangat.”

“Tapi dia nyebelinnya ke orang orang tertentu—aw! Sialan.” Yesha menyikut kencang perut Ryan, menyetop mulut embernya. Lelaki itu melotot diam diam pada Ryan. Aduh, entah sampai kapan Ryan—dan Hananta serta Jean—akan mengunci mulut. Yesha tidak bisa jamin lebih lama lagi.

Ryan nyengir lebar, tidak merasa bersalah.

“Heh,” Tegur Nara, “Apa, Yan? Lanjutin, bongkar aja aib aibnya.”

“Orang ganteng mana punya aib.” Sahut Yesha pede abis.

“Gue cubit lagi perut lo, mau?” Nara bersiap—pura pura—hendak mencubit Yesha lagi seperti waktu itu.

“Halah, kemarin kemarin aja pas gue sakit sampe nangis nangis, ‘Yesha beneran nggak apa apa, Dok? Huhuhu’." Yesha menirukan suara Nara saat menangis mengatakan itu tempo hari.

Nara melotot, wajahnya merah padam. “DIEM DEH.”

“Eh, lo beneran nangis, Ra?” Tanya Ryan.

“NGGAK YA!” Sergah Nara.

“Dasar bocil cengeng!” Ledek Yesha.

Nara berjalan ke belakang Yesha dan kakinya teracung hendak menendang lelaki itu. Yesha berkelit menghindar, tertawa. “Cengeng!”

“Yesha!”

Yesha lari sebelum Nara meneriakinya lagi.

“HEH BALIK SINI LO!”

Benar saja. Bahkan tak lama setelah itu aksi kejar kejaran di lorong tidak terelakkan lagi. Sepanjang lorong menuju ruang musik Nara mengejar Yesha yang gesit menghindar kesana kemari setiap kali Nara hendak menghajarnya. Membuat gadis itu semakin kesal.

Ryan yang ditinggalkan sendiri hanya bisa terkekeh melihat pemandangan itu. “Aduh, jadi kangen Laudy.” Gumamnya.

...***...

Wajah Nara terlipat. Rania yang duduk disampingnya bahkan sampai tidak berani bertanya. Ia menoleh ke bangku belakang yang diduduki Yesha dan Ryan, menggerakkan dagu, kode. Bertanya kenapa wajah Nara kusut sekali pagi ini.

Ryan menggerakkan mata ke kiri, menunjuk Yesha yang hanya tersenyum tanpa dosa pada Rania, menaik turunkan alisnya dengan ekspresi menyebalkan.

Mulut Rania membentuk huruf O, ia manggut manggut. “Lo apain?” Tanyanya pada Yesha tanpa suara.

Yesha hanya mengangkat bahunya ringan. Pura pura tidak tahu apa apa.

Pintu ruang musik terbuka. Semua orang kompak menoleh pada sumber suara. Bahkan Nara yang sedang bete ikut menoleh. Tapi yang masuk bukan guru Seni Musik mereka, melainkan seorang pengurus osis kelas dua belas yang sedang piket lorong.

“Bu Rani tidak bisa masuk, anaknya sakit. Jadi kalian disuruh mengerjakan tugas di buku paket halaman lima puluh empat. Dikumpulkan setelah istirahat pertama.”

“YES!” Seisi kelas berseru senang. Itu berarti dua jam kedepan adalah jam kosong.

Tapi Nara tidak tertarik berseru seru seperti teman temannya juga Rania, bahkan Yesha yang notabenenya ‘si anak musik banget’ itu juga senang kalau ada jamkos pelajaran favoritnya.

Sepeninggal kakak osis tadi, Nara segera membuka buku paket yang dibawanya. Mencari halaman lima puluh empat.

“Ra.”

Nara spontan menoleh, wajahnya masih kusut.

“E-eh, pinjem pulpen.” Kata Rania ragu. Ia lupa membawa pulpennya.

Nara mengeluarkan sebuah pulpen lain dari tempat pensil, menyodorkannya pada Rania.

“Makasih.”

“Hm.”

Baru saja Nara hendak mulai mengerjakan soal yang ada didepannya, tiba tiba bahunya ditepuk pelan dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan Yesha? Nara awalnya mengabaikan lelaki itu. Tapi Yesha yang pantang menyerah melakukannya lagi untuk menarik perhatian Nara.

Nara menoleh dengan kesal, “Apa sih?”

“Pinjem pulpen.” Kata Yesha tanpa dosa.

“Nggak ada.”

“Bohong.”

Nara menaruh kasar tempat pensilnya dimeja Yesha. “Lo cek sendiri deh.” Ucap Nara jengah. Yesha ini kenapa berubah sembilan puluh persen lebih menyebalkan dari sebelumnya sih? Dia salah makan atau apa?

Yesha mengecek tempat pensil Nara. Dan tidak menemukan pulpen yang diinginkannya.

“Puas lo?” Nara mengambil lagi tempat pensilnya.

“Itu ada pulpen.”

“Mana?”

“Di tangan lo.” Tunjuk Yesha.

Nara mendengus, “Lo nggak liat lagi gue pake apa? Lagian lo niat sekolah nggak sih? Masa pulpen aja lo nggak bawa?” Omel Nara.

Rania ikut menoleh pada Nara yang sibuk meladeni Yesha. Heh, Rania juga tidak bawa pulpen. Berarti secara tidak langsung ia juga dikatai tidak niat sekolah oleh Nara.

Nara tidak peduli dengan tatapan Rania. “Pinjem ke yang lain aja, dan jangan ganggu gue lagi.”

Mana mau Yesha mendengarkan Nara. Sejak tadi ia sengaja memancing agar gadis itu marah marah. Entah kenapa justru Yesha suka melihat Nara mengomel begitu. Lucu baginya.

“Sha.”

“Hm.”

“Lo seriusan naksir Nara?” Tanya Ryan, berbisik. Ia sibuk menahan tawa.

Yesha melotot, “Diem deh lo.”

Lima belas menit berlalu sedikit damai. Semua orang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Seni Musik. Kepala kepala masih menunduk, serius mengisi. Kecuali si anak musik yang duduk dibelakang Nara. Dia sudah selesai sejak lima menit yang lalu. Semua pertanyaan yang ada disoal sudah berada diluar kepalanya. Mudah saja baginya menyelesaikan tiga puluh nomor latihan soal dalam sepuluh menit. Lantas apa yang Yesha lakukan sekarang? Apalagi selain hobi favoritnya? Bernyanyi sambil mencorat coret kertas kosong. Tidak keras, tapi cukup terdengar ke seisi ruangan.

Suaranya bagus. Merdu dan enak didengar. Jika situasinya berbeda, jika mood Nara sedang baik ia juga pasti akan menikmatinya seperti yang lain. Mereka tidak keberatan Yesha bernyanyi ditengah mereka mengerjakan soal. Suaranya seperti lagu penenang yang membuat mereka lebih rileks.

Tapi selain bernyanyi, Yesha juga iseng menendang nendang pelan kaki Nara dari arah belakang. Bagaimana ia akan fokus mengerjakan soal kalau begini terus?

Nara menyimpan pulpennya keras, sedikit membuat kaget. Sudah cukup main mainnya Yeshaka. Ia berdiri dan berbalik menatap Yesha yang balas melihat pada Nara dengan polosnya. Seolah tidak melakukan hal berarti.

“Lo bisa diem nggak sih?? Keluar sana. Resek banget lo hari ini!” Ketus Nara, wajahnya merah padam.

Semua mata tertuju pada Yesha dan Nara, bingung kenapa Nara tiba tiba murka. Bahkan Rania dan Ryan yang sudah mengira pertengkaran Yesha dan Nara selesai.

“Apa? Emang gue ngapain?” Tanya Yesha tanpa dosa.

“Eh, jangan pura pura nggak tahu deh! Lo mau keluar dari sini atau stop gangguin gue??”

“Gangguin apa?”

“Lo pikir nendang nendang kaki lo ke gue bukan ganggu? Mending lo sakit lagi aja sana daripada sembuh tapi bikin hidup gue nggak tenang!”

“Heh ngomongnya!” Tegur Yesha. “Nanti lo nangis lagi—”

“YESHA!”

Rania memegang lengan Nara, “Ra, udah. Lo jadi tontonan.” Bisiknya memberitahu.

Nara mengedarkan pandangannya. Benar saja. Nara menghembuskan napas dengan kesal. Wajahnya semakin kusut, ia duduk akhirnya. Tidak sadar bahwa saat ini Yesha justru nyengir lebar melihatnya marah marah.

“Ra.”

“Apa?” Tanya Nara ketus.

Rania menahan tawa. “Tapi lo jangan marah ya.”

“Apa sih, Ran? Jangan kelamaan intro, ngomong aja.”

“Tapi janji jangan marah,”

Nara mengatur emosi sesaat, menghela napas berkali kali. “Iya.”

“Janji dulu.”

“Iya, gue janji.” Ucap Nara malas malasan. Ia masih setengah kesal, dan kenapa juga Rania memasang ekspresi menyebalkan yang sama seperti Yesha.

“Kayaknya Yesha suka deh sama lo.” Bisik Rania.

Nara melotot. Heh, Rania ini bicara apa sih?

“Lo udah janji nggak marah, Ra.” Rania menahan tawa melihat wajah Nara yang merah padam. Ia melanjutkan, “Nih ya, kata lo dia nyebelin, kan? Tapi dia nggak nyebelin ke orang lain. Ke gue, ke orang orang yang suka sama dia, dia nggak nyebelin sama sekali. Tapi ke lo? Dia sering gangguin lo, sengaja bikin lo kesel, karena apa? Dia suka sama lo. Dia seneng liat lo marah marah—”

“Ngarang lo!”

“Emang gitu, Ra! Nggak percayaan sih!”

“Udah ah, apaan sih.” Dengus Nara tidak percaya.

Yesha berdiri dari bangkunya. Tepat setelah lelaki itu berlalu melewati meja Nara, ponsel Nara berbunyi. Sebuah pesan masuk disana. Sejenak Nara membuka ponselnya, menemukan pesan dari Yesha.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!