Kirani, bisa di katakan gadis yang malang. Hidupnya tak di inginkan oleh Ayah kandungnya sendiri bahkan saudara kembarnya pun ingin menghancurkan nya hanya demi kepentingan nya sendiri.
Bagaimana caranya Kirani melewati semua tantangan hidupnya yang sangat berat, apakah Ia mampu bangkit dan menemukan kebahagiaan nya sendiri tanpa merasa ketakutan oleh bayang-bayang masa lalu yang membuatnya trauma.
Yuk simak kelanjutan kisahnya di karya " Korban Saudara Kembar "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 💘 Nayla Ais 💘, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup sendiri
...----------------...
Setibanya di rumah duka Rani di sambut dengan banyaknya tetangga yang datang melayat, mereka saling bahu membahu membantu mengangkat jenazah Sakinah untuk di sholatkan nanti. Ketika sholat jenazah selesai Rani tiba-tiba mengingat Ayahnya. Ia lalu meminta salah satu tetangga terdekat nya untuk menunggu sebentar karena ada keperluan sedikit.
" Bu, bisakah Rani minta tolong. Sebenarnya Rani ingin menemui kerabat Rani. Tadi sih Rani sudah menghubungi nya namun tidak di angkat, siapa tau mereka ingin melihat Ibu untuk terakhir kali atau sekedar menghadiri pemakaman beliau. Nanti Rani akan hubungi dari sana, apapun keputusan nya. "
Wanita itu mengangguk, Rani segera melajukan motornya. Sesampainya disana Ia di hadang oleh penjaga pintu gerbang, Rani memohon agar di ijinkan masuk. Satpam yang Iba pun mengijinkannya.
" Ayah. " Panggil Rani pelan.
Damar yang kebetulan tengah duduk santai sembari membaca koran sontak menoleh, Ia memicingkan matanya menatap gadis di depannya.
" Ini aku Rani Ayah. "
" Untuk apa kamu kemari lagi, apa wanita itu sudah tidak sanggup memberi mu makan sehingga kamu datang menemui ku. Oh aku lupa, wanita itu kan saat ini sedang sekarat di rumah sakit. "
Damar langsung berucap sinis, Rani tertegun mendengar ucapan Ayahnya. Air matanya mulai luruh tak tertahan, sebesar itukah kebencian Pria itu pada mantan istrinya bahkan pada darah dagingnya sendiri.
" Alhamdulillah Ayah, selama bersama Ibu Rani bahagia dan tidak ke kurangan apapun. Rani kemari hanya ingin mengabarkan kalau Ibu sudah meninggal. "
Rani menatap raut wajah sang Ayah, di luar dugaannya Pria itu justru tersenyum. Tidak ada kesedihan sama sekali.
" Ayah, Ayah tidak bersedih mendengar kabar Ibu. " Tanya Rani kurang percaya.
Damar mencebikkan bibirnya
" Untuk apa bersedih, kami sudah tidak punya hubungan apapun sejak lama. Lagi pula ini sudah seharusnya Ia terima, wanita tukang selingkuh. Bersyukur Ia hidup sampai puluhan tahun, seharusnya sudah lama dia harus meninggal, agar tidak membawa pengaruh buruk. "
Rani menatap Ayahnya tak percaya, betapa tidak berperasaannya Pria yang notabene nya adalah Ayahnya itu.
Sudah cukup, Rani sudah cukup bersabar. Kalau hanya dirinya yang di hina mungkin Ia akan terima, tapi kalau sudah menyangkut Ibunya sungguh Ia tak bisa menerimanya.
Ia yang menjadi saksi selama puluhan tahun, Ibunya hanya memikirkan bagaimana caranya agar dirinya bisa hidup nyaman. Ibunya bahkan tidak pernah dekat dengan Pria manapun.
" Jadi Ayah tidak mau datang. " Rani manggut- manggut, hatinya perih tak terkira.
" Baiklah, mungkin lebih baik Ayah tidak perlu datang. Jujur aku menyesal telah menunda pemakaman Ibu hanya untuk menemui Pria seperti Ayah. Ayah, suatu saat kebenaran akan terungkap. Allah tidak tidur, Ayah akan merasakan apa yang Ibu rasakan. Disaat Ayah terpuruk nanti, semua yang Ayah perjuangkan akan meninggalkan Ayah satu- persatu dan aku berharap Ayah tidak bersujud di makam Ibu karena itu tidak akan berguna lagi. "
Usai mengeluarkan semua unek- unek di hatinya Rani berlari keluar rumah. Hari ini adalah patah hati terbesarnya, sebelumnya Ia masih berharap kalau Ayahnya akan mendapatkan hidayah lalu menyesali semua perbuatan nya selama ini, namun semuanya terjawab hari ini.
Sembari melajukan motornya, Ia menghubungi Bu Romlah agar jenazah Ibunya di bawa ke pemakaman. Ia akan menyusul kesana.
Rani tiba disana setelah mobil jenazah tiba, Ia langsung bergegas memarkirkan motornya. Air matanya jatuh seiring tanah tanah yang jatuh menimbun jenazah sang Ibu.
Satu- persatu para pelayat kembali ke rumah mereka, Romlah menghampiri Rani yang masih menangis di samping pusara Ibunya.
" Rani, ayo pulang. Sebentar lagi akan turun hujan. "
Rani menatap Bu Romlah, Ia meminta wanita itu untuk pulang lebih dulu.
" Bu, makasih sudah banyak membantu Rani mempersiapkan segala sesuatunya. Ini ada sedikit dari Rani, tolong bagi pada semua yang ikut membantu tadi. Bu Romlah boleh pulang, Rani masih ingin disini. "
Romlah menolak pemberian Rani karena tau kondisi gadis itu bagaimana, namun Rani tetap memaksa. Mau tak mau Romlah pun menerimanya.
" Bu, lihat. Semua sudah pulang, tinggal Rani sendirian. Rani harus bagaimana, apakah Rani bisa tanpa Ibu. Rani sudah terbiasa kemana-mana bersama Ibu, apapun itu selalu bersama Ibu. "
Tatapan Rani sendu menatap gundukan tanah merah tersebut, tak jauh dari sana ada seseorang yang menatapnya sejak tadi.
Dia adalah Agus, Agus melihat Rani keluar dari rumah Ayahnya dengan menangis. Pria itu mengikuti kemana Rani pergi karena penasaran, Ia menghela nafas berat. Ia tau semua perjanjian saudara kembar itu, sebenarnya Ia tidak tega namun Ia tidak mau kehilangan pekerjaan nya. Sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan di zaman sekarang, apalagi Ia selalu dapat bonus yang lumayan besar kalau ada pekerjaan tambahan.
Karena hari sudah menjelang sore dan sebentar lagi turun hujan, Rani memutuskan untuk pulang.
" Bu, Rani pulang dulu. Setelah ini Rani tidak tau apakah Rani masih bisa mengunjungi Ibu atau malah sebaliknya, tapi Rani janji akan tetap mendoakan Ibu dimana pun Rani berada. Rani akan mengusahakan agar Rani tetap bisa mengunjungi Ibu disini. "
Rani mengingat perjanjian nya bersama saudaranya, bahwa Ia harus meninggalkan kota ini setelah semuanya selesai.
Rani kembali ke rumah, air matanya kembali luruh. Di setiap sudut rumah terdapat kenangannya bersama sang Ibu semasa hidup.
" Ya Allah Bu, apa aku tega meninggalkan rumah ini. Meninggalkan semua kenangan tentang Ibu, rasanya Rani tidak akan sanggup. " Gumam Rani.
Sudah beberapa hari Rani tidak bekerja, Ia masih mengurung dirinya di dalam rumah, menghabiskan semua stok makanan yang ada di kulkas. Saat ini otaknya seakan buntu, tidak menemukan jalan keluar. Semua kebahagiaan nya hilang begitu saja.
Ketika sedang menikmati mie instan ponselnya berdering, Rani meraih ponsel nya dan menerima panggilan masuk itu.
" Rani, apa kau baik- baik saja disana. Aku menghubungi mu karena bos sudah sering menanyakan keberadaan mu, kamu sudah seminggu tidak bekerja. Aku takut kamu akan kehilangan pekerjaan mu. "
" Iya Mega, aku akan kembali bekerja besok, makasih ya. "
Sebenarnya Rani tidak punya semangat untuk bekerja, rasanya Ia masih ingin mengurung diri di dalam rumah itu.
Pagi hari Rani bersiap- siap, mau tidak mau Ia harus pergi bekerja. Kalau hari ini Ia tidak masuk maka Ia harus siap kehilangan pekerjaan nya, meskipun begitu tetap saja gajinya di potong setengah. Rani tidak mempermasalahkan nya.
Meskipun sudah bekerja nun Rani sering melamun, kepergian Ibunya dan juga kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya dalam waktu yang bersamaan membuatnya seperti hilang arah.
Tanpa Ia sadari pada saat Ia melamun, bayangan nya terekam CCTV di tempat itu. Seseorang memicingkan matanya, Ia memperbesar layar laptopnya agar melihat siapa gerangan yang sedang melamun di saat jam kerja berlangsung.
...----------------...