Setelah sepuluh tahun, suamiku kembali pulang ke rumah. Dia ingin kembali hidup bersama denganku, padahal dia yang telah pergi selama sepuluh tahun dan menikah lagi karena menuduhku mandul.
Namun, setelah Petra pergi aku justru hamil. Aku merahasiakan kehamilanku hingga putriku lahir. Selama sepuluh tahun aku merawat Bella seorang diri.
Apa yang akan terjadi bila Petra mengetahui kalau Bella adalah darah dagingnya. Apakah aku harus menerima kembali kehadirannnya setelah sepuluh tahun.
Yuk! ikuti kisah dan perjuangan Kayla dalam cerita, Di Ujung Sesal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Teringat kenagan masa lalu.
Hari itu hari ultahku yang ke duapuluh tiga. Petra mengajakku ke sebuah kafe untuk merayakan hari jadi kami, sekaligus hari ulang tahunku juga.
Suasana kafe yang didesain begitu romantis dengan sinar lampu temaram sangat cocok untuk tamu yang berpasangan.
"Kay, sekarang coba tutup matamu," ucap Petra setelah kami duduk di pojok. Tempat teraman karena agak jauh dari meja lainnya.
"Mau ngapain?" tanyaku heran sebelum menutup mataku.
"Jangan ngintip, ya." Aku merapatkan kedua belah mataku dalam hati sangat penasaran apa yang akan dilakukan, Petra.
"Sekarang matanya dibuka," ucap Petra lagi. Aku membuka kedua mataku, terasa silau karena tertutup rapat tadi. Kukucek beberapa kali untuk menetralkan penglihatanku.
Petra memegang kotak beludru warna pink lalu membukanya. Sepasang cincin dengan bertahta berlian teronggok manis didalam kotak.
"Wao! Indah sekali!" decakku kagum. Menatap Petra penuh binar bahagia.
"Kay, menikahlah denganku." Ungkapnya lembut membuat sekujur tubuhku bergetar karena haru.
"I- iya," anggukku. Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan, lidahku terasa kelu karena terbawa emosi. Petra menyematkan cincin itu kejari manisku.
"Makasih ya, sayang." Aku memeluk Petra dengan senyum merekah, bayangan hidup bersama ke depannya yang penuh dengan senyum dan tawa bahagia menjelma di pupil mataku.
Setelah kami menikah aku diboyong ke kampung halaman Petra. Tinggal serumah dengan mertua karena bertepatan dia juga dipindah tugaskan ke kampung halamannya.
Tiga bulan pertama usia pernikahanku, segalanya masih tampak sempurna. Sambutan mertua dan iparku masih hangat dan manis. Tapi seiring waktu aku mulai merasakan kalau sikap mereka perlahan mulai berubah.
Terutama sikap adik iparku yang menurutku sangat pemalas dan manja. Tidak mau bersih- bersih atau membantuku memasak. Kalau tidak sedang diluar bermain dengan teman-temannya pas di rumah bisa seharian mengurung diri di kamar entah sedang apa saja dia di dalam kamar.
Dia hanya keluar ketika lapar atau haus. Ibu mertuaku juga seolah tutup mata atas perangainya.
Seperti pagi itu, aku sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Kebetulan garam sedang habis, sementara aku tengah buru-buru menyiapkan sarapan suamiku. Aku sudah memanggilnya untuk minta tolong membeli garam, tapi tidak disahuti. Padahal jarak dapur ke kamarnya sangat dekat hanya terpisah sekat dinding.
Lalu aku menggedor pintu kamarnya. Tapi tetap tidak ada reaksinya. Ibu mertuaku sedang menonton di ruang tamu, jelas beliau mendengar kalau aku meminta tolong pada adik iparku Rena. Namun, ibu diam saja.
Akhirnya aku pergi sendiri ke warung untuk membeli garam. Saat aku pulang dari warung kulihat Rena sedang sarapan di dapur. Giliran aku suruh dia acuhnya bukan main.
"Eh, sudah sarapan aja sendiri tadi kakak panggil gak nyahut," ucapku sambil bercanda.
"Ngapain capek-capek 'kan ada pembantu gratis," ucapnya cuek dan beranjak dari kursi masuk ke kamarnya sambil menghempas pintu.
Astaga! Aku sangat kaget mendengar suara debam pintu terlebih ucapannya. Aku pembantu gratis katanya? Beraninya Rena mengataiku pembantu gratis. Itukah sebabnya dia berubah dan apa penyebab dia berpikir itu? Apakah ada seseorang yang mempengaruhinya.
Aku tidak dapat menahan air mataku sepanjang memasak. Terngiang terus ucapan Rena yang menyakitkan itu. Aku adalah kakak iparnya, dimana rasa hormatnya padaku. Mengapa sikap nya berubah sedrastis itu. Kesalahan apa yang telah aku lakukan.
Aku mencoba mengingat-ingat perlakuanku pada Rena dan ibu mertuaku. Rasanya tidak ada yang aneh. Baik ucapan dan tindak tandukku. Aku sangat menghormati beliau dan juga menganggap Rena seperti adik kandungku sendiri, karena aku adalah anak tunggal.
"Kamu kenapa sayang?" tanpa aku sadari Petra sudah memelukku dari belakang. Dia heran melihat aku yang terisak sambil membersihkan peralatan masak.
"Tidak apa-apa tadi habis ngiris bawang, Bang," sahutku sekenanya.
"Rena mana? Kok gak bantuin kamu masak, Dek? Sudah, letakkan saja itu, biar Rena yang bersihkan. Yuk, sarapan abang dah lapar nih!" Aku menghentikan kegiatanku lalu menyiapkan sarapan untuk suamiku dalam diam.
Sebenarnya semua makanan sudah aku sajikan di atas meja. Tapi Petra selalu ingin aku layani. Tidak masalah memang karena itu adalah kewajibanku sebagai seorang istri. Aku juga senang melakukan itu, melayani suamiku.
"Adek kenapa, tidak biasanya diam saat melayani, Abang." Petra menahan tanganku saat mengambilkan lauk untuknya. Dia curiga karena aku memang tidak pandai menyembunyikan perasaanku. Jika senang aku tunjukkan dengan senyum jika sedih, jangankan tersenyum menatap lawan bicaraku saja aku tak mampu.
Namun, aku tetap berusaha menyembunyikan kesedihanku itu, karena tidak ingin merusak suasana saat sarapan.
"Eh, bentar Bang, mau panggil ibu untuk sarapan," ucapku mengalihkan keheranannya atas sikapku. Setelah memanggil ibu aku balik lagi ke dapur, menyendokkan lauk ke piring suamiku yang tertunda tadi.
"Mana Rena, Bu? Kok gak muncul, apa masih tidur. Dasar anak gadis pemalas, ibu harus tegur Rena dong. Biar gak dikamar mulu. Apa salahnya bantuin Kay, masak. Toh, dia juga gak ada kerjaan." ucap Petra diluar dugaanku. Ternyata suamiku juga tau kebiasaan buruk adiknya. Padahal aku tidak pernah ngomong apa-apa.
Aku mengkap kilat di mata ibu dan menyambarku setelah Petra bicara. Aku hanya bisa menunduk. Ibu pasti sudah salah paham, mengira aku mengadu pada Petra soal Rena.
"Ya, sudah adikmu itu 'kan yang paling kecil. Dari dulu sudah biasa manja. Apa susahnya sih, dimaklumi saja," ucap Ibu. Ketara sekali membela Rena.
"Iya, Petra tau, Bu. Tapi dia 'kan bukan anak kecil lagi. Tidak baik terlalu memanjakannya. Dia harua belajar mandiri, ntar menikah gak tau megang apa-apa 'kan Rena yang rugi sendiri, Bu."
"Ah, sudah. Ibu jadi gak selera mau sarapan kalau diajak ribut begini," cebik ibu.
"Siapa yang ngajak ribut, Bu? Petra ngomong apa adanya kok."
"Sudah Bang, kita sarapan saja dulu. Jangan bahas hal lain." Aku berusaha menengahi karena menurutku tidak baik berdebat di meja makan pas sarapan.
"Bukannya ini maumu? Dasar munafik, sok alim. Pura-pura baik tapi hatinya culas." ucap ibu tajam.
"Lha, kok malah larinya ke Kayla, Bu. Petra tadi ngomongin soal Rena." Delik Petra heran.
"Kamu puas 'kan, Kay! Membuat Petra melawan ibunya sendiri!" hardik ibu seraya membanting sendok diatas piring. Aku kaget begitu juga dengan Petra. Tidak menduga sikap Ibu mertua yang menurutku sangat berlebihan.
"Ibu kenapa jadi marah begini? Salah Petra dimana, Bu," ucap Petra lembut, mencoba meredakan emosi ibu.
"Ah, sudah! Kamu memang lebih percaya ucapan istrimu yang munafik itu ketimbang Ibu."
"Ibu, Kay tidak pernah ngadu apa-apa ke aku. Tapi tadi aku sempat dengar, kalau Rena menyebut Kay, pembantu gratis di rumah ini. Ibu juga pasti dengar tapi kenapa Ibu diam saja. Apa Ibu juga beranggapan hal sama." ucap Petra dengan nada naik satu oktaf. ***