Lintang Pertiwi hanya bisa diam, menyaksikan suaminya menikah kembali dengan cinta pertamanya. Ia gadis lugu, yang hanya berperan sebagai istri pajangan di mata masyarakat. Suaminya Dewa Hanggara adalah laki-laki penuh misteri, yang datang bila ia butuh sesuatu, dan pergi ketika telah berhasil mendapatkan keuntungan. Mereka menikah karena wasiat dari nyonya Rahayu Hanggara, ibunda Dewa juga merupakan ibu angkatnya. Karena bila Dewa menolak semua harta warisan,akan jatuh pada Lintang. Untuk memuluskan rencananya, Dewa terpaksa mau menerima perjodohan itu dan meninggalkan Haruna Wijaya kekasihnya yang sudah di pacari selama dua tahun.
Akankah Lintang bisa meluluhkan hati Dewa? Atau suaminya akan lebih memilih Haruna. Dan jangan lupa,ada seorang secret admire yang selalu ada bila Lintang bersedih.
Yuk! Pantengin terus kelanjutan dari cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
( POV Haruna )
Sambil mengendarai mobil pemberian dari Dewa, aku bermaksud menjumpainya di kantor. Akan ku adukan semua perlakuan Lintang pada Dewa, agar ia mendapatkan hukuman. Aku yang benar-benar marah pada perempuan perbuat suamiku itu, ingin menyingkirkan dari kehidupan Dewa perlahan-lahan. Aku hanya ingin jadi satu-satunya perempuan, yang ada di hati Dewa.
Selain kesal dan marah, ditambah dengan perlakuan orang-orang di sekeliling yang tidak adil pada ku. Di sini akulah yang sebenarnya tersakiti, sementara Lintang datang memasuki kehidupan ku tanpa dapat di cegah.
Andai 'Nenek tua itu' mau menerima ku, maka jalan kebahagiaan terbentang luas di hadapan ku. Tapi sayang beribu kali sayang, ibunda Dewa menentang kehadiran ku. Masih ku ingat terakhir kali menjenguknya, ia yang tengah kesakitan menatap benci kedatangan ku. Aku katakan padanya, bila ia menentang hubungan ku dengan Dewa,maka siap-siap akan ku permalukan dirinya dengan berita kehamilan ini. Ia terlihat syok, dan menyebabkan nafasnya tersendat-sendat. Aku tersenyum puas, melihat dirinya yang kesakitan. Itulah gambaran diri ku, yang merasa kecewa karena di perlakukan tidak adil selama ini. Mungkin aku terlihat jahat, tetapi lebih jahat mana dengan memutus ikatan kasih kami?
Demi kemanusiaan, aku akhirnya menekan tombol darurat. Segera aku menyingkir dari sana, takut keberadaan ku di ketahui oleh Lintang. Beberapa saat kemudian, dokter beserta para perawat mendatangi kamar tempatnya di rawat. Bergegas aku menuju bangsal lain di rumah sakit itu, untuk menjumpai orang yang begitu ku kasihi.
Mobil melaju membelah jalanan yang mulai ramai, karena hari menjelang sore banyak orang keluar untuk jalan-jalan atau sekedar mencari kudapan. Ku bunyikan klakson berulang-ulang, memberi isyarat agar para pejalan kaki memperhatikan sekelilingnya. Keluar dari kesemrawutan jalanan, ku pacu kencang kuda besi ku ke arah perkantoran yang letaknya dekat dengan pusat perbelanjaan.
Setelah memarkir kendaraan roda empat diparkiran kantor, ku hampiri meja resepsionis dan menanyakan keberadaan Dewa.
"Selamat sore, Bu" sapa sang resepsionis sopan. "Apa ada, yang bisa saya bantu?" lanjutnya bertanya.
"Ya sore, saya ada keperluan dengan Pak dewa" jawab ku cepat.
"Apa Ibu sudah buat janji, sebelumnya?" tanyanya lagi.
"Saya gak perlu janji terlebih dahulu, katakan saja kalo istrinya datang!" kata ku ketus. Hari ini rasanya, semua orang membuat kepala ku berasap. Panas di dada butuh penyaluran yang tepat, dan pegawai rendahan ini adalah sasaran empuk untuk melampiaskannya. "Cepatlah, saya gak punya banyak waktu."
"Sebentar ya, Bu. Saya akan telpon sekretarisnya terlebih dahulu, barangkali...?"
"Tunjukkan saja ruangannya, gak perlu hubungi sekretarisnya. Ribet banget, sih!" tukas ku cepat.
Dengan takut-takut resepsionis bername tag Lisa, meletakkan kembali gagang telpon, kemudian menunjukkan jalan menuju ke ruangan Dewa di lantai tiga. Aku mengikuti langkah kakinya memasuki kotak besi, dan dia segera menekan tombol lift. Hanya butuh beberapa menit, lift berhenti di tempat tujuan. "Kamu kembali ke depan, saya bisa sendiri ke ruangan Dewa" cegah ku padanya.
Ia hanya menganggukkan kepalanya, lalu berbalik masuk kembali ke dalam lift. Aku menyusuri lorong dimana di kiri kanannya, terdapat ruangan yang di sekat-sekat. Setiap kubikel, terdapat beberapa karyawan yang sedang bekerja. Mereka terlihat menatap ku secara sembunyi-sembunyi, itu terlihat dari ekor mataku. Di depan meja sekretaris terlihat perempuan cantik berjilbab lilit, tengah mengetik di laptop.
"Eghm!" aku berdeham, untuk memberi isyarat kedatangan ku.
Perempuan muda itu tampak terkejut, lalu berdiri dari kursinya. "Selamat sore, Bu."
"Pak dewa nya ada?"
"Ada Bu, silahkan masuk. Beliau baru saja tiba dari pabrik" ucapnya memberitahu. Sepertinya, ia sudah tahu siapa diri ku. Baguslah, jadi aku bisa leluasa keluar-masuk kantor Dewa. Setelah sebelumnya, Dewa selalu melarang aku untuk menemuinya di kantor.
"Tok... tok...tok!" perlahan kuketuk pintu jati, yang tertutup itu.
"Masuk!"
Ku buka pintu dan mendapati Dewa, tengah duduk bersandar di kursi kebesarannya. Matanya terpejam, dengan rambut yang sedikit menutupi alisnya.
"Sayang, apa aku mengganggumu?" tanya ku, melihatnya kelelahan.
"Hai sayang, aku senang kamu datang" jawabnya senang. "Aku baru dari pabrik, melihat keadaan di sana."
"Apa yang terjadi?"
"Seorang karyawan, tangannya terjepit mesin" jawab Dewa, sambil bangkit dari kursi. Ku dua lengannya terbuka, dan siap menyambut ku dengan pelukan hangatnya.
"Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah di bawa ke rumah sakit, dan ada dalam pengawasan dokter."
"Syukurlah, aku takut sekali."
"Takut kenapa?"
"Iya, aku khawatir karyawan kamu meninggal dan perusahaan akan merugi, karena biasanya keluarga korban akan menuntut ganti rugi yang besar."
"Semua sudah di tangani oleh pihak yang lebih berkompeten. Ngomong-ngomong, ada apa nyusulin aku ke sini? Biasanya juga mager-an" Dewa menjawil hidungku serta menarik tangan sehingga aku terduduk di pangkuannya.
"Kangen, pengennya di sayang dan di manja kamu."
"Yang kangen mommynya atau baby, nih?" tanya Dewa mesra.
"Dua-duanya dong, sama-sama ingin di sayang." jawab ku tak kalah manja.
"Langsung dari rumah kekantor, atau mampir dulu di butik?"
"Aku dari rumah, mengikuti Lintang yang pergi dengan cowok selingkuhannya" adu ku pada Dewa. Ku lihat ada kemarahan di matanya. Aku bersorak kegirangan dalam hati. "Kamu harus kasih dia pelajaran, supaya jera. Kalo mungkin ceraikan langsung tanpa kompromi lagi."
"Tenang sayang, kita gak boleh tergesa-gesa. Lintang adalah tanggungjawab ku, setelah ibu tiada."
Huh, sulit juga meyakinkan Dewa. Harus ada cara yang lebih jitu, untuk menyingkirkan perempuan sok lugu itu. Ku raba dada bidang Dewa, serta membuka kancing kemejanya satu-persatu. Dewa menikmati sentuhan hangat dari ku, nafasnya turun naik mengikuti jari jemari ku yang menari-nari.
Aku tau titik-titik tertentu, yang akan membuat Dewa kelimpungan menahan nafsu.
"Sayang, please jangan di sini " suara Dewa terengah, sembari menahan tangan ku yang hendak melucuti kemejanya.
"Baby, pengen di tengok Daddy-nya" bisik ku di telinganya, lantas menggigit kecil cupingnya.
Ketika asyik bercumbu, dari pintu yang tertutup terdengar ketukan dan suara sekretaris Dewa. Aku segera beranjak dari pangkuan suami ku, merapihkan kembali kemejanya serta duduk manis di sofa yang ada di ruangan. Untuk mengalihkan perhatian, aku pura-pura membuka gawai dan berselancar di internet.
"Tok...tok...tok!"
"Ya Masuk, Mira" suami ku mempersilahkan sekretarisnya masuk.
Kepala Mira terlihat menyembul kedalam, sebelum masuk tangannya di tarik mundur seseorang. Seraut wajah tampan muncul, dengan senyuman manisnya.
"Frans? It's that you, man ?" Dewa berjalan cepat, menarik tangan Frans dan berjabat tangan ala pria. Kemudian keduanya berpelukan, saling menepuk punggung masing-masing.
Aku sontak menoleh, dan mendapati laki-laki genit di parkiran tadi. Ia mengedipkan sebelah matanya, sambil menyeringai lebar.
'Ya Tuhan, kenapa harus bertemu kembali dengan makhluk aneh tadi?'
yg ad hidupx sendirian nnt x