NovelToon NovelToon
Bosku Duda Arogan

Bosku Duda Arogan

Status: tamat
Genre:Tamat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Romansa
Popularitas:2.6M
Nilai: 4.9
Nama Author: dtyas

“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.

“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.

Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.

Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!


===
IG : dtyas_dtyas

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 11 ~ Bunga Bangkai

Tiba di kantor dengan kondisi mood ambyar sungguh awal bencana. Untungnya aku tidak terlambat ketika melakukan presensi. Menunggu giliran masuk lift di jam-jam begini juga cukup menyiksa. Aku menatap sepatuku yang tidak kalah mengenaskan dengan kisah hidupku. Entah kapan terakhir aku mencucinya.

Saat ini aku mengenakan jeans, kaos lengan panjang dan sepatu kets. Sepertinya aku melamun sampai tidak menyadari ada yang menyenggolku dan membuatku terhuyung bahkan hampir saja tersungkur kalau tidak di tahan oleh seseorang.

Tunggu, wanginya tidak asing.

Dosa apa yang sudah aku lakukan di masa lalu, kenapa sekarang selalu dihantui oleh makhluk ini. Pak Gentala menahan tubuhku agar tidak jatuh dan masalahnya adalah aku menginjak sepatunya. Aku menatap sepatunya yang mengkilap dan ada bagian kotor serta lecet karena terinjak olehku. 

“Pak Genta,” ujarku masih memandang ke bawah.

Sepatunya pasti bukan barang murahan.

“Pak, nggak sengaja. Bapak lihat sendiri ‘kan kita desak-desakan. Saya nggak sengaja injak sepatu Bapak, jangan suruh ganti ya,” ujarku menghiba bahkan sampai mengatupkan kedua lenganku di depan dada.

Namun, Pak Genta malah minta aku minggir. Ternyata lift di sebelah kiri terbuka, aku bergegas masuk begitupun Pak Gentala. Semakin penuh, posisi kami semakin dekat dan rapat. Sampai akhirnya … tubuhku menempel dengan tubuhnya.

Aku menutup mulut dengan tangan agar tidak bersuara. Bagaimana tidak, aku merasakan sesuatu di punggungku. Sesuatu yang terasa mengeras. Tangan Pak Genta menahan bahuku agar tubuhku tidak semakin menempel dengan tubuhnya.

Di lantai berikutnya pintu terbuka dan ada lagi yang masuk, kami semakin terdesak. Aku bahkan sempat oleng karena menahan agar tidak mengenai tubuh Pak Genta

“Aaaaa.” Aku memekik saat terdorong dan ….

Grap.

Aku berada dalam pelukan, pelukan Pak Genta.

Hmm, aroma parfumnya membuatku nyaman dan enggan melepaskan diri dari pelukannya.

“Sudah puas?”

Suara itu menyadarkan aku. Segera aku menjauhkan diri dan berlagak merapikan rambutku. Ternyata lift sudah longgar, hanya ada kami berdua. Saat pintu lift terbuka tepat di lantai yang aku tuju, aku berlari keluar.

“Bodohh,” gumamku. “Murahan banget sih, malah kesenengan di peluk sama om-om.”

Huft.

Aku menghela pelan saat mendaratkan tubuh di atas kursi kerja.

“Kenapa sih Babe, pagi-pagi udah bete?”

Tumben si kampret nggak datang telat, mana udah fokus di depan laptop dengan kaca mata membingkai wajah tambah maksimal kegantengannya.

“Pak Fabian,” panggilku sambil menggeser kursiku mendekat ke arahnya.

“Yupz.”

“Kalau ada perempuan yang nggak dekat dengan Pak Fabian, malah cenderung sering berdebat. Pokoknya nggak akurlah ya, tapi tiba-tiba dia peluk Pak Fabian. Pak Fabian akan lakukan apa dan menilai apa tentang perempuan itu?” tanyaku penasaran.

Sesama pria paling tidak Fabian bisa mewakili pandangan Gentala karena aku enggan melepaskan pelukan pada tubuh pria itu.

Gimana mau lepas, orang nyaman. Stop Ajeng, jangan keganjenan deh.

“Hm, dipeluk yah? Padahal nggak pernah akur?” gumam Fabian dengan posisi melipat kedua tangan di dada dan sedikit menunduk, sepertinya pertanyaanku cukup berat karena si playboy ini harus berpikir keras.

“Langsung aku ajak cek in,” sahutnya asal. Aku refleks melempar ransel yang masih ada di pangkuanku kearahnya.

Emang dasar otak selang ka ngan, bisa-bisanya dia jawab seenak jidatnya. Malah sekarang terbahak-bahak. Nggak bener, sepertinya aku salah menganggap Fabian bisa mewakili otaknya Pak Gentala.

“Memang siapa yang kamu peluk?” tanya Fabian kemudian kembali terkekeh. “Siapa pria  yang mendapatkan kesialan itu.” Fabian kembali mengejek membuatku ingin mengeluarkan sumpah serapah di depan wajahnya.

“Nggak lucu,” sahutku merebut ransel yang dipeluk olehnya.

Aku memilih membuka layar laptop dan menghidupkannya.

“Konsep kemarin sudah selesai?”

Nah, bener ‘kan. Habis rapat dia ngilang dan sekarang tanya udah selesai apa belum. Aku curiga kalau takdir kami sebenarnya tertukar, dia harusnya asisten dan aku manager. Udah mirip judul film, Gaji yang tertukar. Bagaimana bisa Manager nggak ada tanggung jawabnya kayak dia.

“Babe!”

“Belum Pak, lagian Bapak ngapain juga malah nggak balik lagi. saya nungguin sampai jam delapan malam. Udah lapar, pas pulang ketemu makhluk gaib pula. Malah saya harus ganti rugi karena kendaraan si gaib lecet sama saya.”

“Tapi makhluk gaibnya kasih kamu makan dan antar pulang.”

Alamakjang, lengkap pula penderitaanku. Ini mulut kenapa bisa asal bunyi. Entah sejak kapan Pak Gentala sudah berada di dekat kami, sudah tentu dia mendengar semua yang aku ucapkan.

“Pagi, Pak,” sapa Fabian.

Aku melorot dari kursiku dan bersembunyi di kolong meja, berharap saat ini terjadi gempa bumi dan Pak Gentala panik lalu berlari mencari keselamatan.

“Ajeng, jangan sembunyi.”

“Saya sedang cari sesuatu yang jatuh, Pak,” sahutku.

“Babe, kamu ngapain?” tanya Fabian menunduk melihat apa yang sedang aku lakukan. “Apaan yang jatuh?”

“Saya tunggu kalian di ruang meeting, sekarang!”

Untuk saat ini suara Pak Gentala melebihi suara guntur yang menggelegar. Bahkan lebih menakutkan dari teriakan debt collector yang menagih hutang.

“Ajeng, jangan bercanda ah. Pak Gentala udah tunggu kita di ruang meeting, kamu udah selesaikan konsep acaranya ‘kan?”

Aku pun keluar dari persembunyianku dan menatap tajam Pak Fabian. Yang ditatap malah mesam mesem nggak jelas.

“Ini semua gara-gara Pak Fabian. Kalau saya nggak nunggu Pak Fabian sampai malam, nggak bakal tuh saya bikin mobil Pak Genta lecet dan peluk dia di lift,” ujarku beralibi dengan bibir cemberut.

Bukannya merasa bersalah, Pak Fabian lagi-lagi tertawa bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Gunting, mana gunting, rasanya ingin aku babat habis rambutnya sampai botak dan dia nggak bisa tebar pesona ke mana-mana.

“Jadi laki-laki yang ketiban sial karena kamu peluk, Pak Gentala?”

Aku masih dengan mode manyun dan mengangguk pelan. Fabian kembal terbahak. Konyol, emang si kampreet ini.

“Kamu gimana sih Babe, aku ajak jadian nggak mau malah nyosor Om-om,” ejek Fabian.

Dari pada meladeni orang setengah waras, aku membawa laptop serta zipper file berisi konsep program yang sudah aku selesaikan semalam dan sudah dicetak beberapa exam.

“Jeng, Ajeng. Hei … gitu aja marah.”

Aku bergegas dan Fabian berjalan mengejarku sambil sesekali bersiul. “Gimana rasanya pelukan dengan Om-om?” bisiknya tepat di telingaku.

“Nyaman dong, apalagi dadanya Pak Genta pelukable banget. Nggak kayak tubuh kamu yang udah biasa dipelak peluk banyak perempuan,” ujarku membalas ejekan Fabian.

“Yakin, kamu nyaman?”

Aku mengabaikan pertanyaan Fabian karena kami sudah berada di depan ruang meeting. Pak gentala sepertinya sudah berada di dalam. Aku membuka handle pintu dan benar saja, pria itu duduk menghadap ke arah pintu. Entah hanya perasaanku saja atau memang kenyataan, Pak Gentala terus memandangku membuatku risih.

“Mana konsep finalnya?”

Aku membuka zipper file dan pembagian bundelan konsep para Pak Gentala, Fabian juga Mbak Nella. Aku menunggu komentar Pak Gentala dengan harap-harap cemas.

“Mari Dukung Mereka. Apa judul ini tidak terlalu vul gar berbau politik?” tanya Pak Gentala.

Aku menjelaskan mengapa memilih judul program tadi, si Kampret hanya manggut-manggut sok pintar.

“Oke, sampaikan ke bagian keuangan agar bisa segera di proses persiapannya. Pastikan minggu depan kita mulai acaranya.”

“Permisi,” ujar Jojo setelah membuka pintu. “Maaf Pak, ada Mbak Natasha. Dia memaksa bertemu,” seru Jojo pada Pak Gentala.

Oh, si kumbang mulai didatangi bunga tapi bunga bangkai.

1
Allenn
Gentala
Ipul Pasha
Lumayan
Ipul Pasha
Luar biasa
Allenn
Ajeng
aroem
Luar biasa
Djoko Hariyanto
Buruk
dtyas (ig : dtyas_dtyas): buruk kenapa kak?
total 1 replies
Nova Evita
ini buku bagus bangeet. recommended buat di baca. makasih buat author yg sudah nulis cerita sebagus ini. sukses selalu untuk author
Nova Evita
thor, aku pengen Fabian tahu kalo ajeng denger ucapannya yg menghina ajeng ke Audrey
Nova Evita
gentala.... aku padamu 😍
Nova Evita
ih si ibu tega benar. masa nggeplak sama noyor kepala ajeng di depan orang-orang. kan malu... ajeng bukan anak kecil
Nova Evita
itu seperti nya gentala sengaja biar kepergok mami nya. ya kan thor?
Nova Evita
bukan hari minggu padahal 🤣🤣
Nova Evita
aahh... gentala ... modus aja kamu itu kan??!!!
Nova Evita
gentala konyol. mau Fabian sama ajeng ada hubungan ato gak, masalah nya apa buat lu? aneh...
ato jangan-jangan .....
Alanna Th
genta k mana n knapa hpnya ga diangkat? smoga penyesalan mnghantuimu!!
Alanna Th
kq aq yg kleper"?
Alanna Th
Luar biasa
Alanna Th
fabian msh penasaran blm prnh nyicip drh prwn y?!
Alanna Th
ini yang dsebut lolos dari mulut buaya, masuk k mulut singa? pilih mana, jeng? aq sie ga mau dua"nya; tukang celup spt oreo, aq ga suka, lbh suka slayolay /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Joyful/
Alanna Th
aq tuh baru denger cln pcrq dekat cewe lain aja udeh jijik, gmn spt ajeng mergokin 2org lagi on? sungguh mnjijikkn n mngerikn
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!