Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyelamatkan Dibyo
Tanpa permisi, Nina masuk ke dalam rumah Tyas.
"Eh ... Maen nyelonong aja!" Tyas kembali mencekal Nina, berusaha menghentikan niat Nina untuk masuk ke dalam rumahnya
"Menyingkir!" balas Nina tajam.
Suara erangan dan minta tolong Dibyo makin terdengar memprihatinkan.
Dita membantu sang kakak menghadang langkah Nina.
Nina yang sudah tak sabar bergegas mendorong ke duanya dan melangkah dengan tergesa menuju suara sang ayah.
Betapa terkejutnya Nina saat melihat keadaan sang ayah yang sangat memprihatinkan.
Dia berada di teras belakang rumah Nina, tergeletak di sebuah bangku dan tubuhnya hanya berselimut sarung.
"Bapak sedang apa di sini?" tanya Nina.
"Tolong nak, bapak ngga sanggup," lirih Dibyo.
Sudut matanya sudah mengalir air mata, batinnya bersyukur karena sang anak tiba-tiba mendatangi kediaman anak tirinya.
Tyas dan Dita hanya mematung melihat kedua orang itu.
Nina tak tau apa yang terjadi dengan sang ayah, wajahnya yang pucat serta tubuhnya yang demam menandakan keadaan sang ayah yang sedang sakit.
"Bapak tunggu di sini," pintanya lalu melesat hendak meminta sopir pesanannya membantu mengangkat tubuh sang ayah.
"Tunggu!" sergah Tyas khawatir.
"Lepaskan!" bentak Nina lantas kembali menyentak cekalan Tyas.
"Mau apa kamu!" sungut Nina
"Kamu buta! Lihat kondisi bapakku! Bukannya kemarin aku sudah memberi kalian uang? Kenapa kalian tak memeriksakannya!" ujarnya tajam.
"Kamu cuma kasih aku dua ratus ribu mana cukup!" elak Tyas.
"Bilang sama aku, sebenarnya kalian bawa bapak periksa enggak! Lalu kenapa bapak di belakang sana? Jangan bilang kalian membiarkan bapakku tidur di belakang sana!" makinya.
Titik masuk dengan tergopoh-gopoh, saat mendengar teriakan anak tirinya.
"Ada apa ini. Kalian kenapa lagi?" tanyanya.
"Bapak kenapa?" tanya Nina pada ibu tirinya.
"Emmm ... Anu Na, bapak jatuh," jawab Titik takut-takut.
"Lalu sudah di bawa ke mana bapak?" lanjut Nina.
"Udah di bawa ke mak Darni, orang katanya bapakmu sakit pinggangnya, ibu pikir keseleo,” jelas Titik.
Nina menghela napas kesal, Darni adalah tukang urut di kampungnya, bisa-bisanya mereka membawa bapaknya ke tukang urut bukan ke Dokter terlebih dahulu.
"Lalu apa selama ini bapak tinggal di belakang?" kecamnya.
Titik kembali merasa gugup, "maafkan ibu Nan, bapakmu berisik sekali, mengganggu tidur kami, jadi terpaksa kami menaruhnya di belakang," jelas Titik.
"IBU!" bentak Tyas kesal. Bisa-bisanya sang ibu memberi tahu keadaan yang sebenarnya pada saudari tirinya itu.
"Sudahlah Yas, biarkan Nina tau keadaan bapaknya, bagaimana pun dia anaknya, biar Nina mengobati bapak," bujuk Titik.
Hidung Tyas kembang kempis, keberadaan Dibyo di rumahnya sudah dia pikirkan matang-matang. Dia sudah merencanakan akan meminta jatah makan Dibyo pada Nina.
Ia yakin jika Nina pasti mau memberikannya uang tiap bulan, tapi kalau sampai Dibyo kembali ke rumah Nina, sudah di pastikan ia tak akan dapat apa-apa dari saudari tirinya itu.
Titik yang juga masih menyayangi Dibyo merasa lebih baik saat ini suaminya di obati oleh anak kandungnya, sebab dia tau anaknya tak akan mau mengobati Dibyo.
Keuangan Tyas sendiri sangat memprihatinkan, tak mungkin mau mengeluarkan uang untuk berobat Dibyo.
Dengan dada yang merasa sesak mendengar pengakuan ibu tirinya, Nina memilih meninggalkan keluarga ibu tirinya, untuk meminta bantuan mengangkat bapaknya.
Sopir yang masih setia menunggunya lekas mengangguk setuju untuk membantu Nina di temani warga sekitaran rumah Tyas.
Ada empat orang laki-laki yang akan membantu mengangkat tubuh Dibyo yang lumayan gempal.
Lagi-lagi Tyas menghadang langkah Nina yang mengikuti para warga yang membawa ayahnya.
"APA LAGI SIH!" bentaknya.
"Paling enggak, kasih kami uang untuk biaya makan dan tinggal bapakmu selama di sini!" ujarnya tanpa tau malu.
Nina benar-benar di buat geram oleh kelakuan Tyas.
Berulang kali dia beristigfar, agar di beri kesabaran dalam menghadapi para manusia tak tau diri seperti Tyas ini.
"Harusnya kamu malah takut aku akan memperkarakan kamu ke jalur hukum! Aku ngga tau apa yang terjadi dengan bapak! Dan aku akan cari tau. Kalau keadaan bapak karena ulah kalian ..." tunjuknya pada keluarga Titik.
"Tamat riwayat kalian!" ancamnya lalu berlalu meninggalkan kediaman Tyas.
Tyas mengepalkan tangannya dengan kesal, tak lama sang suami pulang dengan keadaan bingung.
"Va, kamu kenapa?" tanya Yanto pada Ziva sekilas lalu menatap sang istri.
"Ada apa sih kok tumben rame?" saat pulang Yanto merasa bingung karena banyak warga yang berdiri di depan rumahnya sambil berbisik-bisik.
"Bubar sana! Dasar norak!" maki Tyas pada para tetangganya yang masih berbisik-bisik.
"Huuu ... Dasar ngga punya hati nurani, tega banget kamu sama pak Dibyo!" seru seorang tetangga Tyas yang memang tak menyukainya.
"Eh ngga usah ikut campur ya! Dasar kampungan!" makinya lalu masuk ke dalam.
Tyas menjatuhkan dirinya di sofa sambil menopang kepalanya yang mau pecah.
Ia sudah tak memiliki uang, hanya uang dua puluh ribu pemberian Nina yang saat ini ada di dirinya.
Ziva di gendong Yanto masuk ke dalam rumah. Titik lalu membersihkan luka pada kaki cucunya.
"Aduh sakit mbah, perih," rengeknya sedari tadi.
"Bisa diam ngga sih kamu Va!" bentak Tyas kesal.
Ziva semakin menangis keras mendengar bentakan sang ibu, rumah Tyas sekarang selalu ramai suara teriakan menggantikan rumah Nina.
"Mamah jahat! Kenapa sekarang mamah suka sekali marah-marah! Mana janji mamah katanya mamah mau beliin Ziva hp baru! Ziva kan udah bilang Ziva butuh hp buat sekolah," ujar gadis remaja itu sambil sesenggukan.
"Kamu itu ngga liat mamah lagi pusing. Hp-hp aja yang kamu ributin!"
"kamu ini Yas, jangan galak-galak sama anak sendiri," tegur Titik kesal dengan kelakuan putri sulungnya.
"Heleh ibu, emang ibu bisa kabulin permintaan si Ziva? Enggak kan makanya diem ajalah bu!" cibirnya.
Hati Titik sangat terluka mendengar ucapan ketus putrinya itu, putri yang selalu dia bela dan berikan apa pun yang Tyas mau, bahkan sampai dia berlaku kejam pada anak tirinya kini malah tega membentaknya.
Yanto yang sejak tadi terlihat tak peduli dengan keadaan keluarga istrinya justru sibuk dengan ponselnya sendiri.
"Pah! Mana setorannya!" ketus Tyas menatap sang suami yang sejak tadi senyum-senyum sendiri menatap ponselnya.
Yanto yang malas mendengar ucapan istrinya memasukkan ponselnya ke saku jaket.
"Apaan sih mah! Pangkalan lagi sepi tau!" elak Yanto.
Padahal lelaki itu sudah mendapatkan uang ngojek hingga seratus ribu rupiah. Namun uang itu ia gunakan untuk membeli rokok dan makanan enak dirinya sendiri.
"Masa sih! Kata pak Rozik ngojek sekarang lagi rame, kok bisa papah ngeluh sepi? Jangan bohong kamu pah!" ketusnya.
"Terserah mamah deh kalau ngga percaya, papah juga pusing mah, jangan tekan papah dong, minta sana sama Nina, bilang apa ke," sarannya yang justru membuat Tyas naik pitam.
"Mau pake alasan apa hah! Bapak udah di bawa janda gatel itu tadi, makanya rumah rame!" jelas Tyas emosi.
.
.
.
Tbc