Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita Buruk
"Papa ingin kamu menikahi Sindy", akhirnya kalimat yang terasa berat itu terucap dari bibir Papa Hadinata.
Ezra membelalakkan kedua matanya, "Maksud Papa apa?".
Papa Hadinata menatap Ezra dengan lekat, "Apa ucapan Papa belum jelas? Papa ingin kamu menikahi Sindy, putri Om Ardi", sekali lagi kalimat itu terucap.
Ezra menggelengkan kepalanya, "Papa jangan bercanda. Ini ada apa sebenarnya?".
"Ezra, dengar, saat ini Sindy sedang sakit keras. Papa tahu permintaan ini sangat tiba-tiba dan pasti berat buat kamu, tapi kamu harus tahu, keluarga kita berutang budi pada keluarga Wiratama", suara Papa Hadinata mulai meninggi.
"Utang jasa? utang budi apa, Pa? kalau pun ada, itu mungkin utang Papa, bukan aku", tegas Ezra.
"Ezra, tolong kamu mengerti posisi Papa. Papa tahu kamu pasti akan menolak hal ini, tapi Papa juga tidak bisa menolak permintaan Om Ardi karena itu adalah permintaan satu-satunya dari Sindy", lanjut Papa Hadinata.
"Enggak, Pa. Ezra gak bersedia. Apa Papa tidak memikirkan hubungan Ezra dan Raya? dia istri Ezra, Pa dan Ezra sangat mencintainya. Bagaimana mungkin Ezra menikahi wanita lain hanya karena alasan utang budi? itu tidak mungkin, Pa!", Ezra masih bersikukuh menolak permintaan sang Papa.
Papa Hadinata menarik nafas dalam, dia menatap putra lebih dekat. Dia sudah bisa membayangkan reaksi Ezra yang seperti ini.
"Papa tahu ini tidak tepat, tapi Papa yakin Raya bisa mengerti. Dia perempuan yang sangat baik, dulu saja dia menerima permintaan orang tuanya untuk menikah dengan kamu. Jadi dia pasti paham posisi Papa dan kamu saat ini", Papa Hadinata berusaha menjelaskan dengan tenang.
Ezra menggelengkan kepalanya, "Ezra sudah dewasa, Pa dan Ezra sudah menentukan pilihan. Ezra tidak akan menyakiti hati Raya dengan cara seperti itu".
"Ezra, Papa mohon, kali ini saja penuhi permintaan Papa. Kamu hanya harus menikahi Sindy dan tidak perlu bertindak lebih selain itu", Papa Hadinata masih mencoba membujuk putranya.
Ezra terdiam, hatinya yang semula bahagia dengan kepulangan kedua orang tuanya kini berubah menjadi kalut. Dia tidak menyangka kedatangan mereka justru membawa berita seburuk ini.
"Dokter yang selama ini merawat Sindy mengatakan kalau harapan hidupnya sudah tidak ada. Jadi kamu bisa kembali sepenuhnya pada Raya setelah ia tiada", lagi, Papa Hadinata berbicara dengan ekspresi yang tampak berat.
Ezra tersenyum sinis, "Papa memintaku mengkhianati istriku sendiri dengan menikahi wanita lain, lalu aku bisa kembali padanya setelah Si wanita lain itu mati, begitu? picik sekali, Pa".
"Ezra, dengarkan Papa. Papa sudah menolak permintaan Om Ardi berkali-kali, bahkan Papa pun sudah menjelaskan kondisi kamu saat ini yang sudah menikah. Tapi Om Ardi bersikeras memohon kepada Papa agar kamu mau menikahi putrinya. Om Ardi hanya ingin bisa memenuhi permintaan Sindy karena ia juga tidak tahu sampai kapan Sindy akan bertahan. Om Ardi tidak mempermasalahkan status kamu dan percayalah, setiap orang tua pasti akan sangat berusaha melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya", Papa Hadinata semakin menekan Ezra.
"Itu salah Pa. Itu bukan kebahagiaan dan bukan kasih sayang orang tua. Pokoknya apapun yang terjadi, aku tidak ingin mengkhianati istriku sendiri. Lagi pula selama ini aku tidak pernah tertarik sama Sindy. Aku hanya melihatnya sebagai adikku saja, tidak lebih, Pa. Tolong, jangan paksa aku lagi untuk hal-hal seperti ini. Cukup dulu Papa dan Mama memaksaku untuk menikahi dan menerima Raya dan sekarang aku sudah benar-benar mencintainya, Pa. Jangan ulangi lagi hal yang tidak aku inginkan!", lagi, Ezra berbicara tegas pada Sang Papa sambil beranjak untuk meninggalkan ruangan itu.
"Tunggu", Papa Hadinata masih mencoba menahan putranya.
Ezra masih berdiri di tempatnya, menunggu Papanya berbicara. Bagaimanapun, ia masih menghargai Sang Papa.
"Tolong pikirkan kembali semua ucapan dan permintaan Papa kali ini, Ezra. Tidak ada pengkhianatan pada istrimu jika kamu mau terbuka padanya. Jika itu sulit, biar Papa yang bicara pada Raya dan juga tolong kamu ingat, apa yang kamu dapat dan keluarga kita miliki hingga detik ini, semua karena bantuan dari Om Ardi".
Ezra enggan menanggapi ucapan Sang Papa. Ia segera berlalu dari ruangan itu dan kembali ke kamarnya.
"Sudah selesai Mas ngobrolnya sama Papa?", tanya Raya menyambut kedatangan suaminya.
"Sudah", jawab Ezra pendek. Ia segera merebahkan kepalanya di pangkuan Raya yang sedari tadi memang menunggunya di dalam kamar.
"Kenapa, Mas? apa ada masalah?", Raya melihat raut yang berbeda dari Ezra.
Ezra mencoba tersenyum dan menatap lekat wajah istrinya, "Aku baik-baik saja, sayang. Hanya sedikit lelah karena urusan pekerjaan", jawab Ezra berbohong.
"Sini Mas, biar aku pijat", Raya mulai memberikan pijatan lembut di kepala Ezra.
Ada rasa damai di hati Ezra dengan sikap Raya padanya. Tapi di sisi lain, pikirannya juga masih terpaut dengan ucapan Sang Papa.
Meski Ezra tidak sependapat dan tidak menerima apa yang Papanya sampaikan, tapi hati kecil Ezra pun merasa kasihan dengan posisi Papanya yang pasti serba salah. Dia tahu betul sedekat apa hubungan Sang Papa dengan Om Ardi, bahkan bisa dibilang selama Ezra kuliah di luar negeri, Om Ardi adalah orang yang selalu menjaga dan memastikan hidup Ezra berjalan dengan baik. Dari sana pula lah dia mengenal dan cukup dekat dengan Sindy, putrinya.
Memang urusan utang budi itu terkadang terasa berat dan rumit.
"Sayang, bolehkah aku tanya sesuatu?".
"Boleh, Mas, apa?".
Ezra terdiam sejenak, ia sedang memikirkan pertanyaan seperti apa yang harus ia sampaikan.
"Mas?".
"Ya?".
"Mas mau tanya apa?", Raya menunggu.
Ezra menarik nafas dalam, "Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terpaksa harus membagi orang yang kamu cintai dengan orang lain?".
Raya mengernyitkan dahinya, "Maksudnya membagi Mas Ezra?".
Deg
Jantung Ezra berdegup. Pertanyaan balik dari Raya tepat, tapi saat ini Ezra tidak ingin membuka semuanya. Dia ingin tahu dulu seperti apa respon Raya.
"Jawab saja", pinta Ezra.
Raya berpikir sejenak, "Ya kalau aku tergantung dengan siapa dan kenapa aku harus membaginya. Misal nih, kalau aku harus membagi perhatian Mas Ezra sama Mama, aku tidak ada masalah, Mas. Anak kan memang sudah seharusnya memperhatikan bahkan selalu menyayangi kedua orang tuanya".
"Jika membaginya dengan wanita lain, bagaimana?", tanya Ezra hati-hati.
Raya terdiam lagi, "Aku yakin Mas Ezra tidak memiliki wanita lain. Tapi jika semisal ada suatu kondisi yang memaksaku harus membagi perhatian, kasih sayang, dan cinta Mas Ezra dengan wanita lain, aku tidak punya pilihan, Mas. Meskipun rasanya pasti sangat sakit, tapi aku tidak akan memaksa Mas Ezra untuk memilih siapapun karena aku yakin hati nurani Mas Ezra pasti tahu dengan siapa seharusnya hidup. Kenapa Mas bertanya seperti itu?", Raya menatap wajah suaminya yang sedari tadi menatapnya dengan lekat dalam pangkuan.
Ezra tersenyum tipis, "Tak apa, aku hanya ingin bertanya saja. Kenapa kamu bisa menjawab seperti itu?".
"Karena kita hidup dengan takdir dari Tuhan, Mas. Kita tidak pernah tahu ujian macam apa yang Tuhan hadirkan dalam hidup kita. Jika hal seperti tadi sampai terjadi, mungkin itu salah satu ujian untuk kita. Jadi, sesakit dan seberat apapun, akan aku kembalikan pada Tuhan.", jawab Raya lugas.
Hati Ezra bergetar mendengar jawaban istrinya. Ia tak pernah mengira Raya akan memberikan jawaban sedalam itu.
Ezra bangun dari pangkuan, ia menatap istrinya lebih dekat, "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu dan kamu harus percaya itu", ucap Ezra penuh kesungguhan. Kedua matanya beradu dengan mata indah Raya dan Raya bisa melihat kejujuran di sana.
Kedua mata Raya berkaca-kaca, "Aku percaya, Mas. Aku pun mencintaimu, Mas", Raya memeluk erat suaminya.
Setelah sekian lama, ini menjadi kali pertama Ezra dan Raya saling mengungkapkan perasaannya secara jujur. Ezra sendiri tidak menyadari sejak kapan cinta itu hadir, tapi satu hal yang pasti, saat ini Ezra benar-benar mencintai Raya dan dia tidak ingin kehilangan istrinya karena hal bodoh yang mungkin saja dia lakukan.
Setelah mengungkapkan perasaannya dan berbincang dengan Raya, hati Ezra terasa lebih tenang, pikirannya pun mulai jernih. Malam ini kembali menjadi saksi seberapa besar cinta Ezra pada Raya dan cinta itu ia tunjukkan dengan penyatuan yang sempurna.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban