Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJW 2 Diinterogasi
Hasan kembali menjadi imam shalat magrib di pesantrennya. Dia memang sudah dipersiapkan sejak beberapa tahun terakhir untuk menggantikan abinya, menjadi pimpinan di pesantren ini.
Setelah selesai Hasan segera bangkit dan meninggalkan masjid megah yang ada di tengah lingkungan pesantrennnya.
"Pak Hasan."
Hasan menoleh dan melihat beberapa orang santriwati menatapnya malu malu. Salah seorang santriwati itu mendekat sambil mengulurkan beberapa buah amplop coklat seukuran kertas kuarto.
Setelah Hasan menerimanya, gadis gadis muda itu tersenyum dan bergegas pergi.
Adiknya Faris tersenyum ke arahnya.
"Banyak, bang, dapatnya. Lebih banyak dari aku," tawanya sambil menunjukkan banyaknya amplop coklat yang dia dapat. Amplop yang mengajak mereka ta'aruf
Hasan tersenyum miring.
Mesjid di pesantren mereka juga menerima jama'ah dari luar lingkungan santri untuk ikut shalat berjama'ah. Mereka juga punya asrama untuk mahasiswa dan mahasiswi maupun karyawan yang disewakan dengan harga yang sangat murah.
Sejak dulu pesantren hanya berniat membantu untuk mereka bisa mendapatkan ilmu agama. Santri santri yang bersekolah di sini juga tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya.
Tapi fasilitas yang diberikan pada para santri tidak main main. Para santri yang dididik sejak SD hingga SMA diajarkan dengan standar pendidikan internasional. Bahkan santri santri yang duduk di kelas tiga SMA dibiarkan magang di perusahaan perusahaan pemilik pesantren.
Sudah sejak dari jaman kakek dan nenek buyutnya dulu aturan ini dilakukan. Karena itu pesantren ini cukup terkenal di daerah pinggiran ibu kota.
"Tadi keluarga Laila Latifa ke sini, bang. Tapi kamu belum pulang," lapor adiknya.
Hasan pura pura tidak mendengar. Dia terus melangkah sambil menggenggam amplop amplop coklat itu. Dia akan menyimpan amplop amplop yang berisi harapan mereka di dalam lemari. Satu pun tidak pernah dibuka. Sejak SMA dia sudah mendapatkannya.
"Dia menjadi dosen, bang," lapor Faris lagi.
Hasan masih tidak menanggapi. Sekarang mereka sudah masuk ke dalam rumah.
"Masih digantung, bang?" canda Faris lagi.
Kali ini Hasan menoleh, menatapnya sebentar.
"Dia bebas menikah dengan siapa saja." Setelah itu melanjutkan langkahnya memasuki kamarnya.
Adiknya tidak mengikuti langkahnya lagi. Dia menatap punggung Hasan yang menjauh.
Sebenarnya, seperti apa, sih, perempuan yang kamu inginkan, bang, batinnya tidak mengerti.
Dia dan keluarganya sudah menganggap Laila Latifa sangat sempurna. Menutup aurat bahkan bercadar. Faris yakin, gadis itu pasti sangat cantik. Selain itu dia juga sangat pintar. Tidak ada kekurangannya lagi untuk abangnya. Tapi abangnya tidak pernah merespon perjodohan mereka.
Hasan dengan cepat meneguk minumnya, kerongkongannya sudah terasa sangat kering. Hasan mengambil obat yang diresepkan Luna. Dia segera menelannya. Obat hipertensi.
Dia kemudian mengambil laptopnya dan mulai bekerja lagi.
Sesekali dia mulai terbatuk batuk. Kemudian dia meneguk minumannya lagi.
TOK TOK TOK
Hasan mengangkat wajahnya ketika mendengar suara pintu yang dibuka.
Uminya.
"Makan dulu," ajak uminya sambil menunggunya.
"Iya, umi." Hasan segera menutup laptopnya.
Keduanya berjalan beriringan ke arah ruang makan. Sudah ada abi dan adiknya Faris yang menunggu di sana.
Mereka makan dalam suasana yang tenang.
"Kamu sakit, San?" tanya uminya-Siti Azizah ketika melihat putranya hanya makan sedikit saja.
"Mungkin radang tenggorokan, Umi." Hasan meneguk air putihnya lebih banyak. Sekarang cuaca di siang hari sangat terik. Beberapa hari ini Hasan bekerja di luar ruangannya. Meninjau tempat tempat yang membuatnya berada di bawah teriknya matahari.
"Makan buah." Uminya mengulurkan potongan semangka dan melon yang sudah ditaroh ke dalam piring kecil.
"Terimakasih, Umi."
"Sama sama, nak. Cepat sembuh, San."
Hasan tersenyum.
"Tadi sore kamu kemana?" tanya Abinya-Ali Wahab.
"Bukannya di staf kementrian tiidak ada rapat? Kamu juga tidak ada di perusahaan." Abinya mulai menginterogasi.
Faris hampir tersedak. Tidak biasanya abinya menanyai abangnya sampai begitu. Mungkin karena abinya kecewa karena tadi abangnya tidak menemui keluarga Laila Latifa. Hatinya sibuk menduga duga.
"Aku ke rumah sakit, bi. Ada yang harus aku urus," ucapnya tenang setelah menelan kunyahan buah buahannya.
"Abi dengar kamu mengirim ustazah Runiati ke rumah sakit jiwa."
"Iya, bi."
"Ada yang butuh konsultasi?" Ali Wahab menatap putranya tenang.
"Anak guruku waktu SMA, bi. Sudah yatim piatu."
"Kenapa tidak bawa saja ke pesantren? Siapa tau dapat lebih cepat disembuhkan." Siti Azizah menyela.
"Belum saatnya, Umi." Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
Kedua orang tuanya saling menatap. Faris tambah serius menyimak. Dia yakin, pembicaraan ini akan menuju klimaks.
"Tadi Laila datang bersama orang tuanya."
Hasan menunggu abinya melanjutkan ucapannya yang terjeda karena beliau sedang meneguk minumannya. Umi dan Faris sepertinya sedang menahan nafas.
"Kyai Yahya dan istrinya ingin sekali bertemu kamu. Sayangnya kamu tidak bisa dihubungi."
Faris menghembuskan nafasnya perlahan. Begitu juga uminya.
"Maaf, abi." Hasan bahkan belum membuka ponselnya sampai sekarang, setelah dia ketemu Luna tadi.
"Mereka menyukaimu dan ingin kamu jadi menantunya. Abi dan umi ngga ada masalah. Laila gadis yang baik, pendidikan dan akhlaknya bagus."
Hasan memegang garpu buahnya dengan kuat.
"Keluarga kita juga sudah saling mengenal," tambah abinya lagi.
"Aku sudah punya calon sendiri, abi."
Abinya mematung sedangkan Uminya menutup mulutnya, ngga percaya putranya seterus terang ini.
Faris menjatuhkan sendok yang dia pegang. Dengan gugup dia segera mengambilnya.
Abangnya sudah punya calon? Dia punya kekasih? Tapi siapa? Sejak kapan? Pertanyaan pertanyaan itu bergantian mengisi kepalanya.
Dia terkejut. Selama ini tidak ada tanda tanda ke arah sana. Faris yakin abi dan uminya pasti juga tidak menyangka mendengar jawaban ini dari mulut abangnya.
"Siapa? Abi mengenalnya?" Ali Wahab akhirnya bisa menenangkan keterkejutannya.
"Mungkin."
Jawaban Hasan membuat mata Faris agak melotot menatapnya.
Abi ngga kenal? Dia tambah penasaran. Gadis mana yang membuat abangnya bisa menolak Laila.....!
" Umi tau?" Abinya beralih menatap istrinya.
Siti Azizah menghela nafas panjang.
"Teman SMAnya dulu. Umi juga sudah lupa orangnya, karena sudah lama sekali."
Haa? Umi tau? Sejak kapan? Faris benar benar speechless.
"Sejak kapan umi tau," tanya suaminya tenang.
"Baru baru ini juga."
Sekarang Ali Wahab mengerti kenapa istrinya tampak tidak nyaman ketika mereka tadi membahas masalah perjodohan.
"Jadi kamu dan dia sudah menjalin hubungan sejak SMA?" Suara abinya terdengar kecewa. Dia tidak ingin Hasan mengambil jalan yang keliru.
"Tidak, bi. Sampai sekarang juga tidak."
Faris ingin mengetok kepalanya. Pusing dia mendengarkan penjelasan abangnya yang berbelit belit.
Hening dan senyap beberapa detik.
"Kamu mau abi melamarnya?"
Hasan kali ini yang terkejut mendengarnya.
Abinya segampang itu mengabulkan pilihannya?
"Aku maunya begitu, bi. Tapi dia belum siap."
Haa? Faris kali ini sampai melongo.
Sebentar, sebentar. Abangnya ditolak? Faris makin penasaran dengan gadis pilihan abangnya.
"Anak kyai siapa? Nanti akan abi bicarakan dengan keluarganya." Ali Wahab juga penasaran dengan jawaban putranya yang terkesan sangat hati hati.
"Dia bukan dari kalangan pesantren."
Ali Wahab menatap istrinya yang tampak resah. Dia yakin istrinya sudah tau tapi merahasiakannya.
Jantung Faris makin cepat berdetak. Abangnya yang diinterogasi, tapi dia merasa dirinyalah tersangkanya.
"Anak siapa? Kamu tau abi tidak mempermasalahkan status sosial."
Uminya-Siti Azizah menggelengkan kepalanya saat Hasan menatapnya.
"Nanti kalo sudah saatnya akan aku kasih tau, Abi. Maaf, aku mau zoom meeting sebentar lagi." Hasan segera berdiri, tadi matanya tidak sengaja melihat jam dinding di belakang uminya saat melihat isyarat beliau.
Faris hampir saja berteriak saking jengkelnya. Padahal dia sudah ngga sabar ingin tau. Malah jadi kentang begini.
jujur aku penasaran kenapa hasan menolak laila??
ataukah dulu kasus luna dilabrak laila,, hasan tau??
udah ditolak hasan kok malahan mendukung tindakan laila??
Laila nya aja yg gak tahu diri, 2x ditolak msh aja ngejar²😡