Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Janji Setia di Atas Makam
"Mau ke mana, anakku? Bukankah kamu sudah berjanji untuk menemani ibu di sini selamanya?" suara itu mengalun lembut, namun sanggup membekukan aliran darah di sekujur tubuh Aris. Wanita itu berdiri mematung di atas gundukan tanah yang masih basah, mengenakan kebaya putih yang dipenuhi jahitan benang emas yang menyala redup.
Wajahnya cantik namun pucat pasi, dengan mata yang terus mengalirkan cairan merah kental hingga membasahi kain jarik yang ia kenakan.
"Ibu? Tidak, kamu bukan ibuku! Ibuku sudah tenang di alam sana, bukan menjadi penunggu makam terkutuk ini!" teriak Aris sambil mendekap lengannya yang kian berdenyut hebat.
"Aris, jangan dengarkan dia! Itu adalah perwujudan dari janji setia yang gagal dipenuhi oleh ayahmu!" sahut Sekar Wangi sambil mencoba berdiri tegak di samping Aris.
Aris Mardian menatap nisan tanpa nama di bawah kaki wanita itu, menyadari bahwa struktur makam tersebut sengaja dibuat tidak sejajar dengan arah kiblat. Sebagai seorang perancang bangunan, ia melihat ada pola geometris yang sengaja dirancang untuk mengunci sukma penghuninya agar tetap terikat pada tanah desa.
Tanah di sekeliling makam itu bergetar pelan, mengeluarkan uap panas yang beraroma melati busuk dan kemenyan yang sangat tajam.
"Lihatlah ke dalam liang ini, Aris! Ada tempat kosong yang sengaja disiapkan untukmu dan gadismu itu," ucap wanita itu sambil menunjuk ke tanah yang mulai merekah.
"Siapa yang memerintahkanmu untuk menjerat kami? Apakah ini bagian dari rencana besar kakek Sekar dan ayahku?" tanya Aris dengan nada penuh kemarahan.
Wanita itu tertawa, sebuah suara yang terdengar seperti gesekan antara dua bilah pisau berkarat yang dipaksakan bertemu. Ia mengangkat tangannya yang kurus, memperlihatkan jemari yang telah berubah menjadi jarum-jarum perak yang sangat panjang dan berkilau tajam.
Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan tangannya, melepaskan ratusan benang merah yang langsung melilit leher Aris dan Sekar secara bersamaan.
"Janji setia di atas makam tidak boleh dikhianati, atau seluruh keturunan akan dijahit menjadi satu dalam kafan yang sama!" raung wanita itu.
"Gunakan pisau bedahmu, Sekar! Potong benang ini sebelum napas kita terhenti!" perintah Aris sambil berusaha menarik jeratan di lehernya.
Sekar Wangi meraba kantongnya, mengeluarkan sebuah botol berisi ramuan getah pohon kamboja yang telah ia beri mantra penolak bala. Ia menyiramkan cairan pekat itu ke arah benang merah yang melilit mereka, memicu reaksi ledakan api biru yang menghanguskan serat-serat gaib tersebut.
Napas mereka kembali lega, namun wanita berbaju putih itu tampak semakin murka melihat perlawanan dari mangsanya.
"Aris, pola nisan ini adalah kunci pengikatnya! Hancurkan batu nisan itu agar kekuatannya menghilang!" teriak Sekar sambil melemparkan tas herbalnya ke arah wanita itu.
"Aku butuh waktu untuk menghitung titik tumpu energinya, Sekar! Tahan dia sebentar lagi dengan ramuanmu!" balas Aris sambil mengamati retakan di permukaan makam.
Aris menyentuh permukaan nisan dengan telapak tangannya yang memiliki pola jahitan gaib, mencoba menyelaraskan frekuensi energinya dengan struktur makam tersebut. Ia merasakan denyut jantung bumi yang sangat liar di bawah sana, sebuah kekuatan purba yang menuntut pengakuan atas darah yang telah ditumpahkan.
Ia menyadari bahwa untuk menghancurkan nisan ini, ia harus memasukkan sebagian dari jiwanya ke dalam rongga batu yang dingin itu.
"Jangan lakukan itu, Aris! Kamu bisa terjebak selamanya di dalam memori makam ini!" seru Sekar saat melihat tangan Aris mulai menyatu dengan batu nisan.
"Ini satu-satunya cara, Sekar! Jika tidak, kita akan menjadi tumbal agung sebelum fajar menyingsing!" jawab Aris dengan wajah yang mulai membiru.
Tiba-tiba, dari dalam lubang makam yang merekah, muncul ratusan tangan bayi yang mungil namun memiliki kuku yang sangat tajam dan kuat. Tangan-tangan itu mencengkeram kaki Sekar, mencoba menarik bidan muda itu untuk masuk ke dalam liang lahat yang gelap gulita.
Sekar menjerit, ia mencoba menusukkan jarum herbalnya ke arah tangan-tangan tersebut, namun jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan sendirian.
"Lepaskan Sekar! Ambil saja aku sebagai pengganti janji setia itu!" teriak Aris sambil menghantamkan linggisnya ke tengah batu nisan.
"Aris, jangan menyerah! Ingatlah pesan di balik serat mori yang diberikan ibu sebelum ia pergi!" sahut Sekar di tengah perjuangannya.
Benturan antara linggis dan nisan itu menciptakan gelombang kejut yang merobek kabut merah di sekitar mereka, menyingkap wajah asli dari hutan jati tersebut. Nisan-nisan kayu di sekeliling mereka mendadak berubah menjadi sosok manusia yang berdiri mematung dengan mulut yang dijahit menggunakan kawat berduri.
Mereka adalah arwah-arwah korban janji setia di masa lalu yang kini bangkit untuk menyaksikan kelahiran tumbal yang baru.
"Lihatlah mereka, Aris! Mereka adalah saksi dari setiap kebohongan yang dirajut oleh keluargamu!" suara wanita berbaju putih itu kini terdengar dari segala arah.
"Cukup! Aku akan memutus benang ini sekarang juga, meskipun harus menghancurkan jantung desa ini!" raung Aris dengan sisa tenaga terakhirnya.
Aris memutar linggisnya di dalam celah batu nisan, menggunakan prinsip pengungkit konstruksi untuk membelah struktur pengunci makam tersebut secara paksa. Suara retakan batu yang sangat keras bergema, diikuti oleh semburan cairan hitam yang sangat amis dari dalam liang lahat yang terbuka lebar.
Wanita berbaju putih itu menjerit melengking, tubuhnya perlahan melayu dan berubah menjadi tumpukan kain kafan yang sudah lapuk dimakan usia.
"Sekar, pegang tanganku! Kita harus melompat keluar dari lingkaran nisan ini sekarang juga!" perintah Aris sambil menarik Sekar dari cengkeraman tangan bayi.
"Tapi Aris, lihat ke arah langit! Mengapa bulannya berubah menjadi warna hijau pekat?" tanya Sekar dengan nada penuh kecemasan.
Cahaya hijau dari langit menerangi permukaan tanah yang kini mulai bergerak menyerupai aliran air, menciptakan ilusi bahwa hutan jati itu sedang berjalan. Aris dan Sekar berlari sekuat tenaga, namun setiap kali mereka melangkah, posisi nisan-nisan itu selalu kembali berada di depan mereka.
Mereka terjebak dalam labirin makam yang tidak memiliki ujung, di mana setiap arah mata angin hanya menuju pada kematian yang sama.
"Ini bukan lagi hutan, Sekar... ini adalah isi dari perut bumi yang sedang memuntahkan isinya!" desah Aris sambil menatap pepohonan yang mulai tumbang.
"Suara itu... apakah kamu mendengarnya, Aris? Ada bunyi mesin jahit dari balik pohon jati yang besar itu!" bisik Sekar sambil menunjuk ke arah kegelapan.
Bunyi mesin jahit kuno itu terdengar sangat cepat dan bising, seolah-olah sedang menjahit kembali langit dan bumi yang sempat retak karena tindakan Aris tadi. Dari balik pohon jati, muncul sosok raksasa yang tidak memiliki kaki, tubuhnya mengambang dengan ribuan benang yang menghubungkannya ke setiap pohon di hutan itu.
Aris menyadari bahwa pelarian mereka baru saja memasuki babak yang paling mengerikan dalam sejarah Desa Sukomati.
"Itu adalah Sang Penjahit Takdir... dia datang untuk menyatukan kembali janji yang telah kita putus!" seru Aris sambil bersiap dengan senjatanya.
"Aris, lihat lenganku! Simbol lingkaran di belikatku mulai muncul dan terasa sangat panas!" teriak Sekar sambil memegang bahunya yang terbakar.
Aris melihat sebuah tanda lingkaran merah yang bersinar di belikat Sekar, sebuah simbol yang menandakan bahwa Sekar telah terpilih sebagai pengantin bagi Sang Penjahit Takdir. Tanpa peringatan, ribuan benang perak meluncur dari jemari raksasa itu, mengincar belikat Sekar untuk ditarik menuju ke arah mesin jahit gaib tersebut.
Aris mencoba memotong benang itu, namun senjatanya justru patah menjadi dua saat bersentuhan dengan serat perak yang sangat kuat tersebut.
"Jangan biarkan dia membawaku, Aris! Aku lebih baik mati di sini daripada menjadi bagian dari jahitannya!" tangis Sekar yang mulai terseret di atas tanah.
"Aku akan mengejarmu, Sekar! Aku akan meruntuhkan seluruh struktur hutan ini untuk membawamu kembali!" janji Aris sambil terus berlari mengikuti arah tarikan benang.
Namun, hutan jati itu mendadak bergerak menutup jalan, barisan pohon besar bergeser merapat membentuk dinding kayu yang sangat tebal dan tidak bisa dilewati. Aris memukul-mukul dinding kayu itu dengan tangan kosong hingga berdarah, namun ia hanya bisa mendengar suara teriakan Sekar yang semakin menjauh di balik rimbunnya dedaunan.
Ia berdiri sendirian di tengah kegelapan, dikelilingi oleh ribuan nisan yang kini mulai tertawa mengejek nasibnya yang malang.
Hutan jati itu mulai bergerak menjauh, meninggalkan Aris yang terpaku menatap jejak rambut yang tertinggal di atas tanah gersang.