NovelToon NovelToon
Di Bawah Aturan Suami Baruku

Di Bawah Aturan Suami Baruku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dokter / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Konflik etika
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ziafan01

Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ANCAMAN SKORSING

Ia pergi dijemput oleh sesuatu yang belum mereka ketahui.

Laura meremas tasnya.

“Kenapa aku merasa… kita terlambat menyadari sesuatu?”

Arya mengepalkan tangan.

Untuk pertama kalinya,

senyum arogannya tidak kembali.

***

Ruang kerja itu terasa lebih sempit dari biasanya.

Shima duduk di balik meja, berkas-berkas pasien tersusun rapi di depannya namun tak satupun benar-benar ia lihat. Pulpen di tangannya berhenti di tengah catatan.

Pikirannya kacau.

Bayangan Arya dan Laura masih melekat, terlalu jelas untuk diusir. Cara mereka berdiri berdekatan. Tawa kecil itu. Sentuhan yang tidak lagi disembunyikan.

Dadanya terasa perih bukan karena cemburu, tapi karena pengkhianatan yang akhirnya nyata.

Ia menutup mata sejenak.

Apa aku kurang?

Apa aku terlalu sibuk?

Pertanyaan-pertanyaan lama kembali menghantam, meski jawabannya sudah mulai ia pahami. Bukan ia yang kurang mereka yang memilih berkhianat.

Shima membuka mata, menarik napas panjang.

Di sudut tasnya, ponsel bergetar pelan.

Nama Arru Vance muncul di layar.

Ia tidak mengangkatnya. Hanya menatap lama seperti menatap pintu yang belum ia berani buka.

Tawaran itu terlintas kembali.

Perlindungan. Status. Kendali.

Bukan cinta. Bukan pelarian.

Sebuah perjanjian.

Shima menunduk, menatap jemarinya sendiri. Tangannya kosong.

Tidak ada rumah.

Tidak ada aset.

Tidak ada posisi aman.

Bahkan martabatnya pun sedang dipertaruhkan.

Ia menelan ludah.

Jika aku jatuh sekarang, pikirnya,

tidak ada apa pun yang akan menahanku.

Dan untuk pertama kalinya, Shima mengakui pada dirinya sendiri

ia tidak takut kehilangan Arya.

Yang ia takuti adalah hilang sepenuhnya.

Shima meraih ponselnya, menggenggamnya erat.

Belum menekan apa pun.

Tapi kali ini, ia tidak lagi menyingkirkan kemungkinan itu.

Di luar ruangannya, langkah kaki terdengar kehidupan rumah sakit terus berjalan, seolah dunia tidak peduli pada kehancuran kecil yang sedang terjadi.

Namun di balik pintu tertutup itu, Shima berada di titik nol.

Dan dari titik nol

segala sesuatu bisa runtuh…

atau dibangun ulang.

***

Shima berdiri di depan wastafel ruang ganti, mencuci tangannya dengan gerakan yang terlatih. Air mengalir, dingin, berulang seperti ritual yang menenangkan.

Hari ini ia harus bekerja.

Bukan sebagai istri.

Bukan sebagai perempuan yang dikhianati.

Tapi sebagai dokter.

Ia mengenakan jas operasi, menarik napas panjang sebelum masuk ke ruang bedah. Saat pintu tertutup, dunia lain tertinggal di luar. Tidak ada Arya. Tidak ada Laura. Tidak ada tawaran Arru.

Hanya monitor.

Hanya instruksi.

Hanya nyawa manusia.

“Scalpel.”

Suaranya tenang. Fokus. Tidak bergetar.

Jam demi jam berlalu. Operasi berjalan lancar. Setiap keputusan diambil dengan kepala dingin seolah Shima memaksa pikirannya patuh, mengunci semua luka di sudut terdalam.

Ketika akhirnya ia keluar dari ruang operasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Masker dilepas perlahan. Langkahnya menuju lorong terasa ringan hingga ia berhenti.

Di ujung koridor itu

Arya dan Laura.

Terlalu dekat untuk sekadar kolega.

Terlalu nyaman untuk sekadar rekan kerja.

Laura tertawa kecil, jarinya mencengkeram lengan jas Arya. Arya menunduk, berbisik sesuatu di telinganya. Senyum itu yang dulu milik Shima kini jatuh pada perempuan lain.

Dan yang paling menyakitkan

Tatapan Laura sempat terangkat.

Menangkap keberadaan Shima.

Lalu… tidak menjauh.

Justru semakin mendekat.

Semakin mesra.

Semakin terang-terangan.

Seperti ingin memastikan Shima melihat. Seperti ingin berkata: Ini nyata. Terimalah.

Langkah Shima terhenti sesaat.

Dadanya sesak tapi wajahnya tetap datar.

Ia tidak menangis.

Tidak bereaksi.

Hanya menunduk sedikit, merapikan map di tangannya, lalu melangkah pergi melewati mereka tanpa sepatah kata.

Namun di balik langkah yang tampak tenang itu, sesuatu di dalam dirinya retak lebih jauh.

Bukan karena cinta yang tersisa.

Tapi karena rasa dihancurkan dengan sengaja.

Di ruang kerjanya nanti, Shima akan duduk sendiri lagi.

Dan kali ini, pikirannya tidak hanya tentang kehilangan Tapi tentang bagaimana ia akan bertahan.

***

Isu itu menyebar pelan, nyaris tak terdengar tapi mematikan.

Berawal dari bisik-bisik di ruang perawat.

Lalu menjadi obrolan di lorong dokter.

Hingga akhirnya sampai ke meja komite etik.

“Dokter Shima menerima pemberian dari keluarga pasien.”

“Katanya sebagai ucapan terima kasih.”

“Tapi itu melanggar kode etik.”

Nama Shima disebut tanpa suara tinggi. Tanpa emosi. Seolah hanya laporan administratif biasa.

Pagi itu, Shima dipanggil.

Di ruang komite, suasana kaku. Beberapa wajah yang dulu ramah kini netral bahkan dingin. Di atas meja ada sebuah kotak kecil berisi jam tangan mahal, lengkap dengan foto dokumentasi penyerahan.

“Ini ditemukan di loker Anda, Dokter Shima,” ujar salah satu anggota komite. “Kami perlu klarifikasi.”

Shima menatap benda itu lama.

Ia tidak pernah meminta.

Tidak pernah menerima.

Dan yang paling ia ingat ia pernah menolak secara halus pemberian dari keluarga pasien itu.

“Jam itu bukan milik saya,” ucapnya akhirnya, suaranya tenang. “Saya tidak pernah menerima barang dari pasien.”

Namun bukti visual berbicara lebih lantang daripada penjelasan.

Ada foto sudutnya diambil dengan cermat.

Ada saksiperawat magang yang melihat “penyerahan”.

Ada laporan tertulis ditandatangani rapi.

Semuanya… terlalu rapi.

“Untuk sementara,” kata ketua komite, “kami mempertimbangkan skorsing sambil investigasi berlangsung.”

Kata skorsing jatuh seperti palu.

Reputasi yang ia bangun bertahun-tahun retak hanya oleh satu tuduhan.

Saat keluar ruangan, langkah Shima tetap tegak. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya bergerak cepat. Polanya terlalu jelas. Waktunya terlalu tepat.

Dan satu nama muncul tanpa ragu.

Laura.

Shima tahu ini bukan kebetulan.

Ini jebakan.

Dan ia tahu Laura paham betul celah kode etik cukup satu kesan buruk untuk menghancurkan segalanya.

***

Di tempat lain, jauh dari rumah sakit

Ruang rapat perusahaan Arru dipenuhi layar dan data. Suasana formal, serius.

Seorang staf menyampaikan laporan terbaru.

“Dokter Shima terancam skorsing akibat dugaan pelanggaran kode etik,” katanya. “Jika terbukti, reputasinya akan terdampak besar. Media internal sudah mulai membicarakan.”

Ruangan sunyi sejenak.

Arru yang sejak tadi membaca berkas, menghentikan gerakannya. Ia menutup map perlahan.

Matanya terangkat tajam, dingin.

“Siapa yang melaporkan?” tanyanya singkat.

“Ada indikasi internal. Rekan sejawat.”

Arru tidak bertanya lagi. Ia hanya menoleh ke layar, membaca nama-nama, waktu, dan kronologi.

Sudut bibirnya terangkat tipis bukan senyum.

“Menarik,” gumamnya.

Ia menoleh ke Ethan.

Nada suaranya datar, tapi penuh arti.

“Percepat,” katanya. “Kalau mereka bermain kotor di wilayah profesional… kita jawab dengan cara yang sah.”

Rapat berlanjut, tapi bagi Arru, satu keputusan sudah diambil.

Sementara Shima berjuang mempertahankan nama baiknya,

di tempat lain seseorang sedang menyiapkan papan catur yang lebih besar.

***

Lorong utama rumah sakit siang itu lebih ramai dari biasanya. Dokter, perawat, hingga keluarga pasien berlalu-lalang. Shima baru saja keluar dari ruangannya ketika langkah dua orang menghadangnya.

Arya.

Dan Laura.

Mereka berdiri berdampingan terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja.

Tatapan Arya tidak lagi menyimpan sisa empati. Wajahnya keras, dingin, seolah perempuan yang berdiri di depannya bukan istrinya, melainkan beban.

“Jadi benar ya,” ujar Arya lantang, tanpa menurunkan suara. “Sampai segitunya kamu sekarang?”

1
Sweet Girl
Tunggu tanggal mainnya duo penghianat.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
Sweet Girl
Nah Lu... kapok Lu... sekalian aja seluruh Penghuni rumah sakit denger...
Sweet Girl
Kelihatan sekali yaaaa klo kalian itu bersalah.
Sweet Girl
Ada Gondoruwo🤪
Sweet Girl
Kamu pikir, setelah kau rampas semua nya, Shima bakal gulung tikar...
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
Sweet Girl
Masuklah sang Penguasa 🤣
Sweet Girl
Dan pilihan mu akan menghancurkan mu... ojok seneng disek...
Sweet Girl
Kamu yang berubah nya ugal ugalan Brooo
Sweet Girl
Ndak bahaya ta... pulang sendiri dengan nyetir mobil sendiri?
Sweet Girl
Kok ngulang Tor...???
Sweet Girl
Wes ora perlu ngomong, Ndak onok paedaheee.
Sweet Girl
Naaah gitu dong... semangat membongkar perselingkuhan Suami dan sahabat mu.
Sweet Girl
Musuh dalam selimut, iya.
Sweet Girl
Gayamu Ra... Ra... sok bener.
Sweet Girl
Kamu jangan kebanyakan mikir tho Syma...
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.
Iqlima Al Jazira
di tunggu kelanjutan nya thor
Sweet Girl
Kayak main Game.
Sweet Girl
Cocok... yang berkobar kobar mesti dipadamkan.
Sweet Girl
Sesuai kebutuhan Sekretaris Ethan.
Sweet Girl
Semoga aja muncul juga gambar Arya dan Laura di lorong rumah sakit.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!