Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan dari Ibu
Malamnya...
Naysila menata makanan di atas meja, ada berbagai macam menu masakan yang dibuat olehnya dengan porsi lebih banyak, mengingat di rumah mereka bertambah satu orang yang tinggal bersama, Serena.
Walaupun hatinya sangat sedih atas kejadian tadi siang dan perlakuan buruk Alden padanya, namun Naysila tak mau melupakan kewajibannya dalam melayani kebutuhan sang suami. Naysila akan berusaha ikhlas, apapun yang terjadi saat ini dalam hidupnya adalah semata-mata karena takdir Tuhan.
"Wah, ternyata kamu pintar masak juga ya," suara itu tiba-tiba terdengar mendekat.
Naysila menoleh sejenak, Serena datang bersama Alden dengan bergandengan mesra.
Melihat itu, Naysila tidak berkata, hatinya sudah terlalu sakit untuk merasa cemburu pada suaminya itu. Ia tak mau berdebat lagi, dan sadar diri bahwa Alden sengaja menyakitinya.
"Aku sudah siapkan makan malamnya, silahkan dinikmati," ucap Naysila sambil melangkah pergi.
"Hei, kamu mau ke mana? Gak mau makan malam bareng?" tanya Serena.
Naysila menghentikan langkahnya dan menjawab, "Aku makan nanti saja setelah kalian, suamimu tidak suka makan denganku. Aku gak mau dia tidur kelaparan cuma karena gak mau makan bersamaku."
Setelah itu, Naysila pergi tanpa menoleh lagi. Serena menatap Alden yang sejak tadi diam, ia baru tahu kalau Alden tidak suka makan dengan istrinya.
"Yakin, kamu gak suka makan sama dia?" tanya Serena.
"Apa harus di perjelas? Sudah, makan saja jika kamu lapar dan jangan banyak bertanya," kata Alden sambil melepaskan tangan Serena dan duduk di salah satu kursi.
Serena ikut duduk, mereka mengambil nasi dan lauk pauk, kemudian makan bersama tanpa Naysila. Alden tak merasa khawatir sama sekali padanya, ia seakan tak peduli Naysila akan makan atau tidak.
Sementara itu, Naysila berada di kamarnya. Wanita berusia 24 tahun itu menatap foto pernikahan yang diabadikan di dalam album foto. Naysila tersenyum melihat potret momen-momen pernikahannya dua tahun lalu.
Ya, Naysila menikah muda setelah dijodohkan dengan Alden yang anak dari teman lama ibunya. Mereka hanya menjalani proses ta'aruf, kemudian khitbah dan menikah setelah 1 bulan pertunangan.
Naysila saat itu masih berusia 22 tahun, sedangkan Alden berusia 25 tahun. Perbedaan usai mereka tak begitu jauh, hanya saja Alden tak pernah cocok dengannya sejak awal.
Saat itu, keduanya menikah atas dasar keterpaksaan karena tuntunan orang tua. Alden dipaksa menikah cepat karena orang tuanya khawatir ia tak akan bertemu jodoh di usia yang sudah cukup matang. Padahal saat itu Alden masih ingin fokus pada karirnya sebagai seorang CEO. Sementara Naysila, ia dipaksa menikah karena tuntunan ekonomi, di mana kedua orang tuanya mengalami kebangkrutan dan harus berjuang keras agar bisa tetap hidup. Padahal, saat itu Naysila sudah memiliki tambatan hati, mereka sudah berencana untuk menikah setelah lulus kuliah.
Sayangnya, pernikahan Alden dan Naysila menghancurkan harapan mereka untuk masa depan masing-masing. Mereka pun tak bisa menolak, keduanya adalah anak yang patuh terhadap orang tua.
Naysila masih menatap satu per satu foto-foto pernikahan dengan Alden, bibirnya menyunggingkan senyum tatkala melihat foto di mana dirinya bersanding dengan Alden di pelaminan.
"Kalau dilihat-lihat, kita cocok ya?" ucapnya pelan. "Sayangnya, hati kita gak cocok."
Naysila menutup album foto itu perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengusap air mata yang nyaris jatuh, mencoba menahan perasaan yang terus menghantui. Ia tahu, menyesali semua ini tak akan mengubah apa pun. Pernikahannya dengan Alden sudah menjadi bagian dari hidupnya, seburuk apa pun itu.
Perutnya mulai keroncongan, tapi pikirannya masih berat untuk turun ke bawah dan menghadapi kenyataan. Ia tahu di meja makan sana, suaminya sedang menikmati masakan yang ia buat bersama Serena, wanita yang kini tinggal di rumah mereka, seolah-olah ia pemilik sah hati Alden.
Setelah beberapa saat termenung, Naysila akhirnya berdiri. Ia memutuskan untuk ke dapur mengambil sedikit makanan, berharap Alden dan Serena sudah selesai. Ia melangkah pelan keluar dari kamar, menuruni tangga dengan hati-hati agar tak menarik perhatian.
Namun, saat ia sampai di ruang makan, Alden dan Serena masih duduk di sana. Tawa kecil Serena terdengar jelas di telinga Naysila, menusuk seperti jarum. Ia mencoba mengabaikan dan berjalan menuju dapur, tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara Serena.
"Laper ya? Makanya, jangan pura-pura kuat, kalau lapar harusnya dari tadi ambil aja bagian kamu dan makan di tempat lain kalau gak mau mengganggu suamiku," kata Serena dengan nada mengejek.
Naysila menoleh dan menatap wanita itu, "Sepertinya, aku cukup tahu diri daripada kamu. Aku tahu diri karena suamiku tidak suka makan denganku sehingga aku mengalah dan menahan lapar. Sementara kamu, menikmati makanan dengannya tanpa perlu menyiapkannya terlebih dahulu. Bukankah kamu termasuk wanita yang tidak tahu diri? Karena kamu sama sekali nggak bisa memasak untuk suamimu sendiri."
Serena terdiam dengan mata melotot, tersinggung dengan kata-kata yang Naysila ucapkan padanya. Sementara Alden, hanya memalingkan muka ketika Sabrina bicara.
"Sayang, dia mengatakan aku gak tahu diri!" Serena mengadu pada Alden dengan suara manja.
"Berhenti bicara, Nay. Aku risih mendengar kamu bicara 'sok' seperti itu. Serena istriku, dia usianya jauh lebih tua daripada kamu dan sebaiknya kamu lebih menghormatinya!" kata Alden tegas.
Naysila menarik napas panjang, mencoba menahan tangis yang hampir pecah, perkataan Alden selalu menyakitkan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia masuk ke dapur, mengambil sedikit nasi dan lauk seadanya dengan sebotol air minum. Ia tak ingin berlama-lama di sana, cukup dengan makanan yang bisa mengganjal perutnya saja.
Saat Naysila berjalan keluar dari dapur, Serena kembali membuka suara.
"Kalau aku jadi kamu, aku udah pergi dari rumah ini. Gak tahan, tahu, lihat suami sendiri cuek begitu," ucap Serena dengan nada mengejek.
Naysila berhenti sejenak, tapi kali ini ia tak menoleh. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Aku di sini karena aku istri sah nya. Dan aku gak akan pergi cuma karena kamu."
Setelah itu, Naysila melangkah pergi menuju kamarnya, meninggalkan Alden dan Serena yang terdiam sejenak. Serena menatap Alden, berharap pria itu membela dirinya. Namun Alden hanya menghela napas, seolah tak ingin memperpanjang masalah.
Di dalam kamar, Naysila duduk di atas ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Dalam hati, ia bertanya-tanya, sampai kapan ia harus bertahan dalam pernikahan yang tak pernah memberinya kebahagiaan ini. Tapi ia tahu, selama masih ada harapan, sekecil apa pun itu, ia akan tetap bertahan.
"Kapan kamu bisa menerimaku, Mas? Apakah aku seburuk itu, hingga kamu tega selalu menyakiti aku?" bisiknya pelan, sebelum akhirnya air mata yang sejak tadi tertahan, jatuh membasahi pipinya.
*****
Malam kian larut, Serena sudah terlelap di kasurnya dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuh. Sementara itu, Alden berbaring dan sebuah kasur di ruang kerjanya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, Mengingat kembali perjalanan hidupnya yang terasa begitu rumit, Alden tahu bahwa pernikahannya dengan Naysila bukanlah sesuatu yang diinginkannya sejak awal. Namun, ada rasa bersalah yang diam-diam mulai merayap di hatinya, terutama setiap kali melihat tatapan mata Naysila yang penuh luka namun tetap berusaha tegar.
Alden menghela napas berat. Ia memejamkan mata, mencoba melupakan semua yang terjadi hari ini. Tapi bayangan wajah Naysila saat menahan air mata terus menghantui pikirannya. Entah kenapa, meski hatinya keras, ada sudut kecil di hatinya yang mulai merasa bersalah.
Ponselnya bergetar di atas meja, memecah keheningan malam. Alden meraihnya dengan malas, membuka pesan yang baru masuk.
[Al, jangan lupa besok datang ke rumah bersama Nay, ya. Ibu dan Ayah ingin kalian ikut merayakan hari jadi pernikahan kami. Jangan sampai lupa. Ibu kangen kalian berdua.] Bunyi pesan dari Bu Tamara, ibunya Alden.
Alden mengernyit membaca pesan itu. Ia menatap layar ponselnya cukup lama sebelum meletakkannya kembali di meja. Alden seolah tak berniat membalasnya sama sekali.
Ibunya tak tahu apa-apa tentang Serena. Orang tuanya mengira pernikahannya dengan Naysila berjalan baik-baik saja, dan Alden sengaja membiarkan mereka berpikir seperti itu. Ia tidak ingin menghadapi pertanyaan atau kekecewaan dari kedua orang tuanya, terutama ibunya yang selalu menyayangi Naysila seperti anak sendiri.
Pesan itu membuat Alden terdiam lebih lama malam ini. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bertanya pada dirinya sendiri, apa benar dia bahagia dengan semua ini? Atau justru dia sedang menipu dirinya sendiri?
Di kamar lain, Naysila sudah tertidur dengan mata bengkak. Meski tubuhnya lelah, pikirannya tak pernah berhenti memikirkan masa depannya. Ia tahu, bertahan dalam pernikahan ini bukan hal mudah. Tapi ia juga tak ingin menyerah begitu saja. Dalam hatinya, ada secercah harapan bahwa suatu hari, Alden akan melihat dirinya dengan cara yang berbeda.
Malam itu berlalu dalam keheningan yang penuh ketidakpastian. Besok, mereka harus menghadapi kenyataan yang berbeda, berpura-pura menjadi pasangan bahagia di hadapan orang tua Alden. Dan di tengah semua kepura-puraan itu, terselip pertanyaan yang menggantung di hati mereka masing-masing. Sampai kapan semua ini akan bertahan?
Dan siapa yang akhirnya akan menyerah lebih dulu. Alden, atau Naysila?