Zeyn Alfarez, arsitek jenius yang dingin, arogan, dan perfectionis, tak pernah menyangka hidupnya akan terusik oleh satu hal—istrinya sendiri. Sienna Valerisse, si junior ceroboh yang dijodohkan dengannya, adalah kekacauan dalam dunianya yang tertata rapi.
Awalnya, Zeyn hanya merasa terganggu. Namun, seiring waktu, ia justru ingin melindungi Sienna, bahkan dari kecerobohannya sendiri.
Ketika Steven—mantan Sienna—kembali dan mencoba merebutnya lagi, Zeyn tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi. Zeyn siap melakukan apa saja untuk mempertahankan pernikahan mereka.
Karena kali ini, Sienna adalah miliknya. Dan Zeyn Alfarez tidak pernah menyerah.
(Disarankan untuk membaca PERFECT MATCH lebih dulu, karena buku ini sequel dari buku tersebut.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Logika Tak Lagi Berbicara
Udara pagi musim semi terasa sejuk saat Zeyn melangkah keluar dari penginapan, membiarkan angin menerpa wajahnya. Langit mulai berubah warna, dari jingga ke biru muda, memberikan nuansa tenang pada desa kecil itu. Namun, tidak ada ketenangan di dalam dirinya.
Zeyn berjalan menyusuri jalanan berbatu, membiarkan langkah kakinya membawanya tanpa arah yang jelas. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran. Tentang apa yang baru saja terjadi. Tentang Sienna.
Tentang bagaimana ia kehilangan kendali.
Ia tidak menyesalinya. Tidak sama sekali.
Tapi ia juga tahu, ini akan mengubah banyak hal.
Sienna bukan gadis biasa dalam hidupnya. Ia adalah istrinya, seseorang yang seharusnya hanya menjadi bagian dari perjanjian yang disusun dengan matang. Tapi sekarang...
Sekarang semuanya menjadi berantakan.
Zeyn menghela napas panjang, mengusap tengkuknya. Ia harus memikirkan langkah berikutnya. Jika Sienna menganggap ini sebuah kesalahan, apakah ia seharusnya ikut berpikir demikian? Atau mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
***
Musim semi di Jepang seharusnya terasa indah. Udara masih sejuk, aroma bunga sakura memenuhi udara, dan matahari bersinar hangat tanpa terlalu menyengat. Namun, bagi Sienna, keindahan itu terasa kontras dengan ketegangan yang menyelimuti dirinya dan Zeyn setelah malam itu.
Ia masih bisa merasakan sakit yang samar di tubuhnya. Bukti dari apa yang terjadi semalam. Bukti yang membuatnya terus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi antara mereka?
Mereka kini duduk di restoran kecil di Tokyo, berhadapan dalam diam. Restoran itu memiliki suasana tradisional yang tenang, dengan lantai tatami dan meja kayu rendah. Beberapa pasangan terlihat menikmati makan siang mereka dengan senyum hangat, sementara ia dan Zeyn duduk dalam kebisuan yang nyaris menyiksa.
Sienna mengaduk teh hijaunya dengan malas. Ia tidak berani menatap Zeyn terlalu lama. Pria itu duduk dengan postur sempurna seperti biasa, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung rapi. Ekspresinya tetap dingin dan tak terbaca, seolah tidak ada yang berubah.
Tetapi Sienna tahu itu tidak benar.
Mereka telah melewati batas yang seharusnya tidak mereka lewati. Akhirnya, Sienna memberanikan diri berbicara. Suaranya pelan, tetapi cukup tajam untuk mengusik keheningan di antara mereka. "Jadi... kita tidak akan membicarakan ini sama sekali?"
Zeyn mengangkat pandangannya dari cangkir kopi hitamnya, lalu menatapnya dengan mata gelap yang selalu terlihat tajam. "Bicara soal apa?" tanyanya datar.
Sienna menahan napas. Astaga, benar-benar pria ini!
Sienna mengepalkan tangannya di bawah meja. Tentu saja, Zeyn pasti akan pura-pura tidak peduli. Tentu saja dia akan bersikap seolah-olah ini bukan masalah besar.
"Kau tahu maksudku, Zeyn," katanya, lebih tajam kali ini. "Apa yang terjadi semalam..."
Zeyn meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatapannya tetap tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa tajam, hampir seperti peringatan. "Kau ingin aku mengatakan apa, Sienna?" tanyanya. "Bahwa aku menyesal? Bahwa aku tidak seharusnya menyentuhmu?"
Sienna terdiam. Ia tidak tahu apakah ia ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Zeyn atau tidak.
Zeyn menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Kita sudah menikah, Sienna," katanya akhirnya, suaranya tenang tetapi tajam. "Apa yang terjadi semalam... wajar saja terjadi di antara suami-istri."
Sienna merasakan amarahnya naik. Wajar?
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya, tetapi percuma.
"Tidak ada hal yang wajar dari pernikahan kita, Zeyn!" bisiknya tajam, matanya berkilat marah. "Kita menikah karena perjodohan, bukan karena saling mencintai!"
Zeyn akhirnya menatapnya lagi. Kali ini, ada sesuatu yang berbahaya dalam sorot matanya.
"Dan kau pikir itu alasan untuk menyangkal kenyataan?" tanyanya pelan, tetapi ada nada tajam dalam suaranya. "Kau pikir dengan terus menghindar, semua ini akan hilang begitu saja?"
Sienna terdiam.
"Atau..." Zeyn melanjutkan, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Kau takut karena kau tidak bisa mengabaikan apa yang kau rasakan saat aku menyentuhmu?"
Jantung Sienna berhenti berdetak sejenak. Matanya melebar, dan ia bisa merasakan panas naik ke wajahnya.
Bajingan.
Zeyn pasti bisa melihat keterkejutannya, karena sudut bibirnya sedikit tertarik, nyaris seperti smirk.
Sienna buru-buru berdiri, kursinya bergeser dengan suara berdecit di lantai kayu. Ia tidak peduli jika orang lain menoleh ke arahnya. Ia hanya ingin menjauh. "Aku sudah selesai," katanya singkat, sebelum berbalik dan berjalan keluar dari restoran.
Zeyn tidak menghentikannya.
Tetapi ia tahu pria itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
***
Langit Jakarta mendung ketika pesawat mereka mendarat. Setelah dua minggu di Jepang—yang terasa lebih seperti perang dingin daripada bulan madu—Sienna menghela napas lega begitu melihat landasan bandara Soekarno-Hatta dari jendela pesawat. Ia tidak sabar untuk kembali ke kehidupannya, kembali ke apartemen kecilnya yang sederhana, jauh dari atmosfer canggung bersama Zeyn.
Selama perjalanan pulang, mereka hampir tidak berbicara. Sejak malam itu di hotel, segalanya berubah. Mereka tidur berjauhan setelahnya, hanya berbicara jika benar-benar perlu, dan menghindari kontak fisik sejauh mungkin. Tapi tetap saja, Sienna tidak bisa menghapus bayangan kejadian itu dari pikirannya.
Dan kini, di bandara, saat Sienna mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi menuju apartemennya, suara dingin Zeyn menghentikannya.
"Batalkan."
Sienna menoleh, menatap pria itu dengan alis bertaut. "Apa maksudmu?"
Zeyn memasukkan tangan ke saku celananya, ekspresinya tetap datar, matanya tajam seperti biasa. "Kau tidak akan kembali ke apartemenmu."
Sienna mengerutkan kening. "Tentu saja aku akan kembali ke apartemenku. Kau pikir aku mau tinggal di mana?"
Zeyn menghela napas panjang, seolah tidak punya kesabaran untuk mendebat ini. "Kita sudah menikah, Sienna. Setelah apa yang terjadi, kau pikir aku akan membiarkanmu tinggal sendiri di apartemen kecil itu?"
Nada suaranya membuat Sienna kesal. "Itu bukan apartemen kecil," sahutnya defensif.
Zeyn menatapnya dengan ekspresi ‘jangan-buang-waktuku’. "Sudah kubilang, batalkan pesanan taksimu. Kita akan tinggal bersama."
***