Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Dua Bayangan Masa lalu dan Masa Depan.
.
.
“Ehhh... Er?” Dia mengangkat wajahnya yang sendari tadi berjalan menunduk kini mengangkat wajahnya. Iris mata hitam menangkap sosok tak asing yang sudah lama tidak dia lihat.
Sekitar enam bulan mungkin?
“Litly...!” Sang gadis berambut hitam itu pun berjalan mendekat ke arah sosok gadis lainnya berambut hitam kemerahan yang mengenakan kemeja kerja berwarna merah.
“Benaran kamu Er... Ya ampun!” pekik perempuan yang lebih tinggi dari dirinya itu sambil memeluknya dengan kuat, hingga sedikit sesak nafas.
“Li—Li! Sesak Li!” balas Revander yang terangkat akibat pelukan sahabat lamanya itu.
“Aku....aku senang banget bisa lihat kamu lagi Er...! Ya ampun!” kini Litly menurunkan gadis bermata hitam itu sambil tersenyum semeringah. “Aku kira... kamu... menarik diri dan menghilang entah kenapa.” Ada kilas sedih dari suara Litly saat mengatakan kalimat terakhir.
Dan mendengar hal itu sang gadis hanya mengedipkan matanya beberapa kali.
Ah...
Apakah dirinya terlihat seperti menarik diri dari kehidupan sosial selama beberapa bulan belakang ini?
Mungkin...
Tapi dia sungguh tidak menyadarinya.
“Kamu...kamu bekerja di sini juga Er? Jadi apa kok gak kasih kabar denganku sih!” kali ini ekspresi wajah Litly berubah dari sedih menjadi sedikit kesal kepadanya.
Bukan kesal yang membuat dia takut.
Namun itu tetap membuat dia tidak enak hati.
“Itu... aku sedikit sibuk dengan urusan rumah, maaf ya tidak beri kabar selama ini.” Dengan hati-hati dan juga pelan. Walau bagaimanapun, mereka berdua masih berada di depan umum.
Tepatnya di salah satu lorong lantai sepuluh, di mana tempat beberapa divisi sumber daya manusia berada.
Eh...?
“Li kamu bekerja di sini?” tanya gadis itu dengan alisnya terangkat ke atas.
“yup...” balas Litly dengan senyuman lebar. “Jadi salah satu HRD di sini~”
Uhh...
Beruntungnya!
“K-kamu! Sejak kapan!”
Litly tersenyum lembut melihat ke arahnya itu. “Setahun yang lalu, aku berhasil lolos di perusahaan ini.” Terlihat dengan jelas raut ke bangganya terukir pada wajah cantik temannya itu. “seperti yang kamu bilang terdahulu Er, jurusanku ini gak bakalan jadi hal yang sia-sia. Dan aku selalu berterima kasih sekali kepadamu yang selalu dorong aku dengan kuat untuk tetap di jalan yang sama.”
Dan Litly kembali memeluk Revander.
“Uhh.. Li...~ itu kan memang ke inginanmu, makanya aku bilang kamu memang bagus di sana! Lagi pula kamu dari dulu selalu baca buku-buku seperti Sosiologi, Psikologi dan semacamnya. Jadi sayang saja kalau gak di seriusin.” Jelas Revander dengan tenang yang masih dalam pelukannya.
“Ya... dan itu membuatku bahagia sekali....”
“Dan aku senang melihatmu bahagia juga...” mereka berdua tertawa kecil.
“Eh... jadi, Er kerja di bagian apa kamu di sini? Kenapa kamu gak kabar-kabarin aku?”
Uhhh....
Pertanyaan ini kembali lagi.
Dia mengira dia berhasil mengalihkan pertanyaan Litly, namun nampannya gagal.
Sial!
Apa yang harus mengatakan apa kepada temanya itu?
Tidak mungkin dia mengatakan jika dia adalah seorang yang menjadi ‘wanita panggilan’ dari boss besar mereka bukan?
Hah.... seperti kamu bisa menyembunyikan bau bangkai selamanya~
Aku tahu itu....
Aku tahu itu...
“Aku... bekerja di bawah perintah langsung dari Tuan Flauza...” bisiknya begitu pelan, begitu kecil.
Namun Litly masih dapat mendengarnya.
“Ehh..? perintah langsung dari Tuan Evangrandene, seperti asisten?” Revander menggelengkan kepalanya pelan.
“J-Jadi...?”
Gadis menarik nafasnya dalam sebelum menghembuskan ya. Sejenak dia melihat ke sekeliling mereka, sebelum mata hitamnya itu kembali fokus kepada gadis yang ada di depannya itu.
Sebaiknya kamu mengatakannya secara langsung dan perlahan, maka bau itu tidak akan terlalu menyengat kemana-mana~
Ya.... itu ada benarnya juga.
Setidaknya dia harus berkata pada Litly.
Setidaknya kepada Litly.... mungkin...mungkin dia bisa sedikit terbuka?
“Li.... apa kamu punya waktu luang?” dia mengubah arah pembicaraan mereka berdua.
“Er.... ada apa? Kamu benar-benar buat aku khawatir Er!” gadis itu sedikit membuang mukanya, menghindari tatapan mata dari sahabat lama yang baru saja kembali bertemu itu.
Apa ini tidak apa?
Tapi ini semua terasa terlalu cepat!
Lalu sampai kapan kamu akan menunggu dan menunggu hmm...?
“A-ayo... kita berbicara sedikit, d-di tempat yang lebih sepi”
.
.
.
Di sana, sebuah kantin karyawan yang sepi pengunjungnya karena memang belum jam makan siang. Dua perempuan duduk saling berhadapan di salah satu meja pada sudut ruangan itu.
“Jadi...?”
“Seperti yang ku katakan.... aku bekerja di bawah perintah Tuan Flauza...” ulang Revander dengan pelan. “Aku tak tahu sebenarnya siapa dan apa, namun...”
“Kamu adalah ‘seorang tamu spesial’ Tuan Evangrandene yang sudah dua minggu itu gosipkan?”
Emmm.....
Ternyata memang sudah menjadi bahan gosip di gedung ini ya...
Memang kamu berharap orang-orang tidak akan membicarakanmu di belakang, hanya karena kamu diam?
Tentu saja tidak.
Maksudku....
Haahhh....
“Ya Litly.... akulah yang di maksud dari mereka Li...” sang gadis bersurai bak gelapnya malam itu sedikit menundukkan kepalanya. Keduanya pun terdiam dalam dengan salah satu menatap lama kepada satu lainnya.
Sampai Revander mendengar sedikit dengusan dari sahabat lama yang masih terduduk di hadapannya itu.
“Kenapa Er...? dan bagaimana pula kamu sampai berakhir seperti ini?” kali ini perempuan di hadapannya itu berkata lirih, penuh amarah, kekecewaan dan juga sedih?
Ya...
Kenapa dan bagaimana pula dia bisa berakhir sepeti ini.
Awalnyakan...
Hanya rasa penasaran....
Dan rasa putus asa yang berlebihan yang dirasakan....
Jadi...
Revander menggeleng pelan dan lemah. “aku juga tidak mengerti kenapa bisa berakhir seperti ini....” bisiknya lebih lirih lagi.
Rasa dingin itu terasa begitu kuat di antara mereka berdua.
Jujur saja.
Dia begitu malu dengan semua keadaan yang dia hadapi.
Namun...
“Hhhhhaaa....” Litly menghela nafas panjang dengan memperbaiki posisi duduknya. Masih tidak tahu harus berkomentar apa kepada gadis berambut hitam di hadapannya itu.
“Enam bulan tidak ada kabar Er.... Enam bulan dan kamu berakhir seperti ini...” lanjut Litly. “Aku.... aku tidak tahu harus berkata apa...”
“maaf... sepertinya aku membuatmu marah ya... Li..”
“Marah? Tentu saja aku marah Er!” kali ini gadis berpakaian kemeja merah itu sedikit memekik kesal yang sudah tidak tertahan. “Kamu itu selalu saja seperti ini... selalu saja diam dan diam!” lanjutnya lagi. “Tapi.... di bandingkan marah kepadamu, aku lebih merasa kecewa dan khawatir Er....!”
Pada akhirnya semua orang akan melakukan hal ini kepadanya bukan?
“Haaaahh.....” Litly memijit lembut pangkal hidungnya berusaha menenangkan dirinya sendiri. “apakah.... apakah Tuan Evangrandene memaksamu atau melakukan sesuatu kepadamu Er..?”
Ehh...
“T-tidak... tidak dia tidak pernah melakukan hal tak senonoh seperti itu.... setidaknya untuk saat ini....” Revander mengangkat kedua tangannya dengan badan yang sedikit mundur karena terkejut dengan pertanyaan sang sahabat. “Itu.... selama ini sih.... yang ku lakukan hanya.... kamu tahu, duduk diam di ruangan pribadinya saat dia sedang tidak ada keperluan di luar.” Revander mengelus tengkuknya pelan. “terkadang dia juga membawaku untuk duduk diam di beberapa meeting dengan pengusaha lainnya di luar...”
Mereka kembali terdiam di sana.
“apakah orang tuamu tahu Er?” gadis itu menggeleng pelan, sebagai jawaban untuk pertanyaan Litly. “jadi kamu diam-diam juga dengan orang tuamu?”
“Aku mengatakan jika aku sedang sering bertemu dengan teman sana di luar. Errr... tidak bisa bilang jika mereka percaya dengan omonganku, namun setidaknya mereka tidak bertanya lebih jauh....”
“jadi baru hanya aku yang kamu kasih tahu?”
Kali ini Revander mengangguk pelan. “A-aku....” dia kembali berusaha menjawab. “aku hanya perlu seseorang untuk membicarakan ini.........
.........
........
Apakah aku salah untuk memberi tahu kepadamu?”
Ekspresi wajah Litly sedikit melemas melihat sosok di hadapannya, yang selama ini selalu diam terlihat takut dan bingung.
“Apakah......apakah.... kita masih berteman Li?” tanya Revander dengan pelan lagi. Tidak yakin dengan jawaban yang akan di dengarnya nanti.
Kembali gadis berpakaian kemeja merah itu menghembuskan nafasnya dengan sekuat mungkin. “kamu yang kamu pikirkan Er? Aku baru berkenalan denganmu kemarin malam? Dengan hanya kamu menjadi....--- seperti ini bukan berarti aku akan mencampakkanmu begitu saja. Kita sudah kenal hampir dua belas tahun!”
Mendengarkan hal itu, sedikit banyak membuatnya merasa lega.
Namun dia tidak yakin dengan sebuah hal manis yang ada di hadapannya.
Apa benar?
Litly menyadari hal itu dan menghela nafas, dengan kini perempuan itu tersenyum lebih lembut.
“Kamu tidak mempercayaiku, benar bukan...?” tebak Litly begitu jelas. “Er... aku sungguh tidak akan meninggalkan pertemanan kita hanya karena dirimu dan apa dirimu....” Gadis itu meraih tangan sang sahabat bermata hitamnya dengan pelan. “sejujurnya.... aku merasa bersalah mendengar hal itu Er, tidak membantumu, tidak ada di sampingmu...dan aku tahu jelas kondisimu.”
Dia sedikit menaik turunkan tangan mereka.
“Namun aku mengerti dengan jelas Er.... kamu telah masuk ke tempat yang sangat berbahaya.” Raut itu berubah kembali sedih. “aku mungkin tidak bisa membantumu banyak seperti yang kamu lakukan kepadaku.... tapi, aku bersumpah jika kamu memerlukan seseorang untuk mendengar. Aku akan mendengarkan mu Er.... aku bersumpah!!!”
Dan kini iris hitam tak berdasar milik sang gadis hanya menatap terpaku.
Terpaku akan pernyataan sahabat lamanya.
Apa mungkin?
Dengan cepat dia menegakkan tubuhnya, menatap jauh kearah pintu kantin karyawan yang terbuka lebar.
“Er..?
Langkah kaki yang terbalut dengan sepatu kulit yang mahal.
Perlahan namun pasti mendekat ke arah tempat ini.
Dia segera memberikan sebuah gerakan kode kepada Litly, dan dengan cepat pula sahabatnya itu mengerti.
Tak lama seorang pria berambut pirang yang mereka kenal sebagai tangan kanan kepercayaan dari orang terpenting di gedung ini datang menggunakan jas hitam rapi. Kemeja putih, dan celana kain yang senada dengan jasnya.
Tobito Svadive.
Melangkah dengan elegan memasuki kantin karyawan yang sepi dengan ekspresi wajah tenangnya, tepat menuju ke arah mereka yang juga menatap pria pirang itu kebingungan.
“Nona Revander...” pria itu membungkukkan tubuhnya memberikan hormat lebih tepatnya kepada Revander. “Tuan Flauza menginginkan Anda untuk kembali ke ruangan pribadinya. Tolong, ikuti saya.” Ucap Tobito dengan formal seperti biasa.
Sejenak Revander melirik kearah Litly, yang kini juga melirik kepada dirinya.
“S-Sepertinya aku harus pergi sekarang Li....” Revander mulai bangkit dari posisinya. Litly mengangguk pelan sebagai jawabnya
“sampai ketemu lagi Er...”
.
.
.
Dia melirik Flauza yang kini tengah terduduk santai di sofa pada ruangan bernuansa kecokelatan itu. Dengan kaki yang saling bersilang dan salah satu tangannya terjulur pada sandaran sofa itu.
Pria itu langsung tersenyum lebar saat dirinya memasuki ruangan itu, namun dia juga tampak tidak bergerak sedikit pun.
“Oh.... kamu sudah datang Reva....” terdengar suara beratnya sedikit menggema pada ruangan hening yang di terang dengan cahaya mentari masuk dari dinding\=dinding kaca itu.
“ya... aku sudah datang...” dengan perlahan aku mendekat ke arah dirinya.
“Duduklah.... ada sesuatu yang ingin ku berikan kepadamu” Revander pun melakukan apa yang di katakan pria itu dalam diam, iris hitamnya tetap menatap lurus kepada pria bersurai cokelat yang semakin tersenyum melihat tingkah lakunya.
Segera salah satu tangan Flauza yang terjulur pada sandaran sofa itu turun memeluk pinggang sang gadis agar dia lebih mendekat pada tubuh kekar terbalut jas raven dengan kancing terbuka itu.
Ya....
Selama dua minggu ini pula....
Pria itu semakin sering menyentuh tubuhnya, tanpa perduli dirinya yang merasa sedikit tidak nyaman akan kedekatan ini.
Namun kamu menikmatinya bukan?
Bersentuhan dengan badan pria sebagus seperti Flauza~
Oh.... dasar otak sialan!
Benarkan?
“Aku mendengar kamu bertemu dengan teman lama, yang kebetulan juga bekerja di sini...” ucap Flauza dengan tenang. Iris cokelatnya berkilat aneh saat mengatakan pertemuannya dengan Litly.
Di titik ini dia bahkan tidak terlalu terkejut lagi jika Flauza mengetahui semua tindak-tanduknya bergerak di gedung mewah ini ataupun di luar sana.
tapi kenapa dia membicarakan hal ini?
Apa mungkin dia marah dengan membicarakan ini kepada orang lain?
“Apa kamu.... tidak suka dengan aku membicarakan tentang kita.... kepada orang lain?” tanya Revander pelan, berusaha menebak-nebak arah pembicaraan mereka.
Namun tentu saja...
Flauza hanya tertawa.
,
“Tidak... aku tidak keberatan jika kamu memberi tahukan tentang kita kepada siapapun.” Dia menghentikan tawanya, dan senyuman pria itu kini berubah.
Seperti sebuah seringai aneh, dan mata cokelatnya mengilat-ngilat berbahaya.
Atau sebuah ketidak senangan akan sesuatu.
Tapi apa?
“Kamu memberi tahukan kepada wanita itu tentang kita bahkan di hari pertama saat kamu baru saja kembali bertemu dengannya...” suara pria itu semakin memberat. Dan itu berhasil membuat membelalakkan matanya merasakan panik yang tiba-tiba saja menyerang. “Namun kenapa Reva?..... kenapa kamu tidak mengatakan apapun kepada keluargamu tentang kita hmmm?”
Eh....
Ini....
Dia....
Dia ingin aku mengatakan tentang dia kepada orang tuanya?
Itu adalah ide yang buruk...
Dia tahu! Tentu saja dia tahu itu adalah hal yang buruk.
Apa yang harus aku katakan untuk membalas perkataannya?
Tuhan!
Berpikirlah Revander....
Berpikirlah sesuatu untuk menjawab perkataannya itu!
Apa saja!
Tiba-tiba saja Flauza memberikan sebuah kartu berwarna hitam keemasan dengan lambang seperti burung kepadanya.
Ini....
“gaji kamu...” dia berkata lembut dengan wajahnya yang mendekat kearah wajah Revander.
Sangat dekat....
Sampai dia dapat merasakan nafas hangat dengan harum mint itu.
Sampai dia bisa melihat iris cokelat yang begitu indah dan memesona itu.
“Ambillah.... bukankah aku elah mengatakan, jika aku akan membayarmu?” lanjutnya lagi setengah berbisik.
“I-ini.... benarkah ini..... gajiku?” dengan enggan dia menerima kartu itu.
“Ya.... itu milikmu Rev.....” Flauza terkekeh kecil, mengeratkan pelukannya pada pinggangnya dan juga dia semakin mendekatkan tubuhnya kepada sang gadis itu. “Itu semua milikmu Rev, dan tidak akan ada yang melarang mu untuk memiliknya.”
Iris hitam itu terfokus kepada kartu itu.
Ini....
Miliknya?
Milikmu... bukankah ini akan menyelesaikan semua masalah yang ada di sana?
Benarkah?
Dia kembali menoleh kepada Flauza, lalu kembali kepada kartu hitam itu.
Benarkah ini menjadi miliknya?
“Itu milikmu Reva...” bisik ulang Flauza, tanpa dia sadari kini ujung hidung milik pria itu telah menyentuh pipi kiri miliknya dengan lembut. “Dan kamu..... adalah milikku Revander Syahril...”
Ucap pria bersuara berat itu dengan geraman yang lirih, namun itu seperti hal yang telah di tetapkan dan tidak dapat di ganggu gugat lagi.
.
.
.
Apa benar ini menjadi milikku?
Tapi kenapa terasa seperti ada yang janggal dengan menerima ini?
.
.
.