Perfectly Imperfect

Perfectly Imperfect

Kesalahan atau Takdir?

Matahari musim semi mengintip melalui jendela kayu penginapan, cahayanya yang lembut menerobos masuk, menari di atas lantai tatami. Di luar, udara masih dingin, embun pagi menggantung di ranting-ranting pohon sakura yang mulai bermekaran. Burung-burung kecil berkicau pelan, menyambut pagi dengan nada yang damai.

Namun, di dalam kamar sederhana itu, dua insan masih tertidur lelap, terbungkus dalam kehangatan satu sama lain.

Zeyn merasakan sesuatu bergerak dalam pelukannya. Sienna menggeliat pelan, menggosokkan kepalanya ke dada Zeyn, tubuhnya yang mungil mencari posisi lebih nyaman. Dalam tidurnya, bibirnya sedikit mengerucut seperti anak kecil yang malas bangun.

Zeyn, yang awalnya juga masih terlelap, tersadar saat merasakan kehangatan kulit Sienna yang terlalu dekat, terlalu nyata.

Tunggu.

Kelopak matanya terbuka, dan kesadarannya langsung menyerang begitu cepat hingga ia merasa kaget sendiri. Napasnya tertahan di tenggorokan saat ia menunduk dan melihat pemandangan di depannya.

Sienna—telanjang—terselimuti dengan kain tipis yang melorot hingga ke punggungnya. Lengannya masih melingkar di pinggang Zeyn, wajahnya terlihat begitu damai, tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Zeyn membeku.

Pikirannya bekerja cepat, mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Potongan-potongan ingatan itu menyerbu masuk: bibir mereka yang saling bertaut, napas yang memburu, jemari yang menelusuri setiap inci tubuh, desahan tertahan, hingga bagaimana mereka tenggelam dalam panasnya malam yang seharusnya tidak terjadi.

Sial.

Zeyn mengatupkan rahangnya rapat. Apa yang sudah ia lakukan?

Ia tahu mereka terjebak dalam suasana, tapi bagaimana mungkin ia kehilangan kendali sejauh itu? Ini bukan dirinya. Zeyn Alfarez tidak pernah membiarkan emosinya menguasai logikanya. Tapi malam itu...

Malam itu, dia memang menginginkan Sienna. Dan sekarang, mereka harus menghadapi konsekuensinya. Zeyn menarik napas dalam dan mencoba membangunkan Sienna dengan mengguncang bahunya pelan. "Sienna." Suaranya terdengar lebih serak dari biasanya.

Sienna hanya bergumam pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Zeyn.

Zeyn mendesah pelan, mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ia mencoba sekali lagi, kali ini lebih tegas. "Sienna, bangun."

Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, tubuhnya masih enggan bergerak. Kemudian, saat kesadarannya perlahan kembali, Sienna menegakkan kepalanya, melihat langsung ke mata Zeyn yang mengawasinya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Sejenak, mereka hanya bertatapan dalam diam. Lalu, ekspresi Sienna berubah dari bingung menjadi kaget.

Ia menunduk, melihat dirinya yang tidak mengenakan pakaian, lalu melihat ke arah Zeyn yang juga tidak memakai apa pun di balik selimut.

Wajahnya langsung pucat.

Zeyn bisa melihat napasnya tertahan, dan dalam satu detik berikutnya, Sienna menarik udara dalam-dalam, hendak berteriak.

Sial.

Dengan refleks cepat, Zeyn menutup mulut Sienna dengan tangannya, menatapnya tajam. "Jangan berteriak," bisiknya dengan suara rendah, nyaris mendesak. "Kau mau semua orang di penginapan tahu?"

Sienna mengerjap beberapa kali, ekspresinya panik. Namun, ia akhirnya mengangguk cepat. Zeyn perlahan melepaskan tangannya dari bibir Sienna, tapi tetap mengawasinya dengan tatapan waspada, seolah gadis itu bisa meledak kapan saja.

Sienna menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, wajahnya merah padam. "K-kita... semalam..." suaranya bergetar.

Zeyn merasakan sesuatu di dadanya mencelos, seakan masih berharap kalau mungkin saja mereka hanya tertidur begitu saja tanpa melewati batas. Ia ingin menjelaskan sesuatu, tapi sebelum ia sempat berbicara, Sienna sudah meringis kecil, tangannya turun ke bagian bawah tubuhnya.

Dan saat itulah Zeyn tahu, tidak ada lagi yang bisa ia sangkal.Kare na ekspresi Sienna yang merasakan nyeri di tubuhnya cukup menjadi bukti. Mereka benar-benar melakukannya. Mereka telah melewati batas yang seharusnya tidak mereka langgar.

Dan sekarang, tidak ada jalan untuk kembali.

***

Sienna tetap diam. Napasnya tersendat, jari-jarinya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, seakan otaknya masih mencoba mencerna kenyataan yang baru saja ia sadari.

Zeyn mengamati ekspresinya dengan saksama. Ia bisa melihat ketakutan, kebingungan, dan syok yang jelas terpampang di mata Sienna. Gadis itu masih mencerna fakta bahwa mereka benar-benar telah melewati batas semalam.

Udara di kamar terasa berat. Hening yang menyesakkan menggantung di antara mereka, hanya diiringi suara desir angin musim semi yang masuk melalui celah jendela kayu.

Zeyn mengusap wajahnya, mencoba mencari cara untuk mengendalikan situasi. Ini tidak bisa dibiarkan menjadi semakin buruk.

Sienna akhirnya membuka mulut, suaranya nyaris berbisik, "K-kenapa... bisa sampai begini?"

Zeyn tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam sebelum berkata dengan suara rendah, nyaris datar, "Karena kita sama-sama menginginkannya."

Sienna menoleh, menatapnya dengan mata melebar. "Apa?"

Zeyn menahan keinginannya untuk menghela napas berat. Ia tahu gadis ini akan menyangkal. "Kau pikir aku memaksamu?" tanyanya dingin, tatapannya tajam.

Sienna tampak goyah sejenak. Ia membuka mulut, hendak membantah, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena ia tahu Zeyn benar. Ia mengingat bagaimana dirinya membalas ciuman Zeyn, bagaimana ia menyerah pada sentuhan pria itu.

Tapi tetap saja...

"Kita seharusnya tidak melakukan ini," gumam Sienna lebih pada dirinya sendiri, suaranya bergetar. "Ini... bukan bagian dari kesepakatan."

Zeyn menegang. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada yang ia kira. Kesepakatan.

Benar. Pernikahan mereka bukanlah tentang cinta atau gairah. Ini adalah sesuatu yang diatur, sesuatu yang seharusnya hanya menjadi formalitas. Dan dia, yang selalu rasional, yang selalu mengendalikan segalanya, telah melanggar aturan yang ia buat sendiri.

"Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi," kata Zeyn akhirnya, suaranya tetap datar, tapi matanya tajam menusuk ke arah Sienna.

Gadis itu menggeleng pelan, ekspresinya masih kacau. "Tapi... aku butuh waktu."

Zeyn mengatupkan rahangnya. "Untuk apa?"

"Untuk memahami semua ini," jawab Sienna, menundukkan kepalanya. "Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana setelah ini."

Zeyn diam. Ia bisa merasakan tembok di antara mereka semakin tinggi. Sienna kembali mencoba menjaga jarak, seakan ingin menghapus malam tadi dari pikirannya. Dan anehnya, hal itu mengganggunya lebih dari yang ia kira.

Akhirnya, Zeyn bangkit dari futon, tubuh telanjangnya hanya tertutup selimut yang melorot dari pundaknya. Ia meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai, mengenakannya tanpa tergesa-gesa, lalu berbalik menatap Sienna yang masih duduk memeluk lututnya.

"Aku akan keluar sebentar," ucapnya akhirnya, suaranya tetap tenang tapi tegas. "Kita akan bicara lagi nanti."

Sienna mengangkat kepalanya, menatap Zeyn dengan kebingungan. "Kau mau pergi kemana?"

Zeyn tidak menjawab langsung. Ia hanya merapikan pakaiannya, lalu mengambil jaketnya. "Aku butuh udara segar."

Sienna menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin meminta Zeyn untuk tidak pergi karena ada sesuatu dalam dirinya yang merasa takut jika ditinggalkan sendirian dalam situasi seperti ini.

Tapi bibirnya tetap terkatup rapat.

Zeyn menatapnya sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Sienna dengan pikirannya yang berkecamuk.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!