Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Agenda Rihlah kemana?
...❤Aku ucapin banyak terima kasih buat Pembaca yang masih setia mengikuti kisah ini. Semoga kebaikan kalian membawa keberkahan❤...
Pagi ini, hari ini, dan siang ini, ada kabar yang membuat suasana di TK Alam 'Anak Bangsa' terasa berbeda. Kepala sekolah mulai bicara di depan 15 guru yang berada di ruang guru dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Ia memandang satu per satu wajah para guru yang duduk di meja kerja maupun yang sedang lesehan bersantai di lantai dengan keringat tipis setelah seharian mendampingi anak-anak.
"Alhamdulillah, dengan bangga saya umumkan bahwa hasil akreditasi TK Alam 'Anak Bangsa' telah keluar, dan kita mendapatkan nilai Akreditasi A!"
Seketika semua guru tersentak kaget. Ruangan itu dipenuhi tepuk tangan dan sorakan kecil penuh syukur. "Alhamdulillaah... Alhamdulillaah..."
Bahkan sampai tak sadar saling berpelukan bersama dan nyaris menitikkan air mata haru. Perjuangan panjang 1 bulan mereka -revisi dokumen yang tak terhitung, mendekorasi kelas, dan menjalankan program pembelajaran dengan penuh totalitas- akhirnya berbuah manis.
Sistem akreditasi memang tak seketat beberapa tahun lalu, tapi itu tak mengurangi nilai kerja keras mereka. Setiap guru telah mencurahkan waktu, tenaga, dan hati untuk membuat TK ini menjadi tempat yang layak dan bermakna bagi tumbuh kembang anak-anak. "Sekolah Ramah Anak" 🤗
Sebagai bentuk apresiasi, kepala sekolah mengumumkan bahwa akan ada agenda rihlah atau rekreasi bersama. Tempat dan waktu bisa segera dirapatkan sekarang. Ini akan menjadi waktu untuk merayakan, melepaskan penat, dan mempererat kekompakan.
Bunda Anita tampak sumringah. Wajahnya berseri-seri sambil asyik menatap layar ponselnya, jemarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali ia tersenyum-senyum sendiri seperti sedang merancang sesuatu. Yang?
Di sudut ruangan, Aira menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melirik ke arah Bunda Melly di sebelahnya. “Bund, enaknya rihlah kita kemana ya?” bisiknya penuh antusias.
Bunda Melly mengangguk-angguk kecil, “Hmm... ke pantai seru sih. Atau villa di pegunungan juga oke. Bayangin deh, udara sejuk, banyak pohon pinus...”
“Wah, iya, bisa barbeque-an juga tuh!” timpal Aira, matanya berbinar membayangkan suasana hangat dan penuh tawa.
Tiba-tiba, Bunda Anita nyeletuk tanpa menoleh dari ponselnya. “Sekalian aja ke pantai yang ada villanya, bund. Biar dua-duanya dapet.”
Aira dan Bunda Melly serempak melirik ke arahnya. "Wah! Ide bagus tuh." Aira menyipitkan mata, “Ih, tapi kamu ini sibuk ngapain sih? Senyum-senyum sendiri kayak lagi punya pacar."
Bunda Anita terkekeh pelan, tapi tetap tak lepas dari ponselnya. “Haish, jangan kepo deh. Rahasia negara ini.”
“Curiga nih. Pasti kamu lagi--"
Kepala sekolah menyela tanpa sengaja, "Ayo, apa ada usul kita mau Rihlah kemana?"
Bunda Anita tersenyum miring. Seakan menyembunyikan sesuatu dari Aira. "Aku harus bisa main cantik dengannya. Soalnya, Aira itu instingnya tajam banget. Sekali dia curiga, dia bisa meledak dan nyari tahu segalanya. Aku nggak boleh gegabah." Batinnya.
Di tangannya, layar ponsel menampilkan percakapan dengan seseorang. Ada foto-foto dan sebuah catatan kecil yang bertuliskan: "Langkah pertama, bikin Aira nyaman. Lalu jebak dia pelan-pelan."
“Bunda Kepsek, boleh nggak ya kalau rihlahnya itu bawa keluarga?” tanya Bunda Melly tiba-tiba, mengangkat tangan pelan. “Soalnya anak saya masih tiga tahun, saya agak nggak tega ninggalin lama-lama. Kalau bisa, saya pengin ajak suami juga.”
Bu Kepala Sekolah tersenyum hangat. “Tentu saja boleh, Bunda Melly. Asal tetap jaga kekompakan dan tanggung jawab, ya. Kalian yang udah punya pasangan halal boleh juga diajak, biar Bus nya ramai." sahutnya ramah.
Mendengar itu, wajah Bunda Melly langsung sumringah. “Wah, alhamdulillah... Makasih, Bunda Kepsek!” Ia menoleh ke Aira dengan senyum penuh arti. “Kamu juga ajak suami kamu, dong. Sekalian honeymoon part dua! Atau malah belum honeymoon, ya?” godanya sambil mengedip jahil.
Aira langsung menepuk pelan lengan Bunda Melly dengan pipi bersemu. “Bunda nih! Kita tuh mau rihlah, bukan bulan madu.”
“Alaaah, bisa aja diselipin dikit-dikit. Kan sekalian refreshing,” sahut Bunda Melly sambil tertawa.
Aira menerima panggilan masuk di ponselnya dan melirik nama yang tertera. “Bentar ya, Bund. Papa aku nelpon.” Ia beranjak dari kerumunan, berjalan ke halaman tempat ayunan taman berada, lalu duduk perlahan. Ayunan bergoyang pelan ketika ia mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum, Papa,” sapa Aira lembut.
“Wa’alaikumussalam, Aira. Papa udah senggang nih. Gimana? Jadi nggak kamu minta diantar ke rumah Bapak Dikromo?” suara papanya terdengar santai. Sebagai Kasi Pendidikan di Kementerian, momen seperti ini terbilang langka.
Aira mengerucutkan bibir. “Tapi Papa, meski senggang, kan Papa tetap harus kerja sesuai jadwal. Nanti kalau ketahuan keluyuran, gimana?” Sikap disiplinnya muncul.
Papanya terkekeh. “Lho, yang ngajak siapa kemarin? Katanya mau ke rumah Dikromo setelah ngajar.”
Aira meringis, merasa tertangkap basah.
“Kalau kamu nunggu Papa pulang jam kantor, bisa-bisa kita sampai ke sana tengah malam, Aira. Papa ini sudah curi waktu, loh.”
Aira menghela napas kecil. “Trus... enaknya gimana dong, Papa?”
“Gampang. Papa jemput sekarang aja, ya. Kebetulan Mas Sukimo juga mau sekalian pulang ke kampung. Jadi kita barengan.”
Aira membelalakkan mata dan menepuk jidatnya sendiri sambil tertawa kecil. “Astaga… para PNS ini ya. Dikit-dikit ngaku kerja, tapi aslinya udah standby buat liburan. Makan gaji buta!”
Terdengar suara tawa di ujung telepon. “Hei! Itu namanya efisiensi waktu. Kan demi anak tersayang.”
Aira tertawa geli. “Yaudah deh, aku siap-siap ya, Papa. Tapi jangan lupa mampir beli rujak jambu kristal. Aku ngidam banget.”
Papanya tertawa makin keras. “Siap, bos kecil!”
Bunda Anita sengaja mencuri dengar percakapan Aira di ayunan. Tatapannya tajam dan tak lepas dari gerak-gerik gadis itu, seolah setiap potongan informasi adalah potongan emas.
“Klunting!”
Suara notifikasi dari ponselnya memecah konsentrasinya. Ia membuka layar dan matanya langsung membelalak.
Rp2.000.000 telah masuk ke rekening Anda.
“Ya ampun…” bisiknya pelan, nyaris tak percaya. Senyumnya melebar, mata berbinar. “Baru ngirimin info keadaan Aira di sekolah, langsung dapet transfer segede ini? Itu cowok bener-bener udah hilang akal!” pikirnya dalam hati. “Tapi ya sudahlah. Toh gue juga nggak bohong. Gue cuma kirim fakta.”
Ia cepat-cepat mengunci ponsel dan kembali menyamarkan wajahnya dengan senyum ramah. Saat Aira melangkah kembali dari taman, Bunda Anita sudah duduk santai seperti tak terjadi apa-apa.
Jam di dinding menunjukkan pukul 13.00. Hari itu terasa lebih lengang karena seluruh tugas guru telah selesai, dan beberapa guru mulai bersiap pulang.
“Aku duluan ya, Bunda Aira,” pamit Bunda Melly sambil menyampirkan tas ke bahunya.
Aira mengangguk lembut. Ia sudah hafal kebiasaan Bunda Melly yang selalu buru-buru pulang. Wanita itu selalu was-was pada putranya yang dititipkan di rumah mertuanya. Setelah mengajar selalu dicariin dan disuruh pulang kalau kelamaan.
Tak lama berselang, suara klakson dari luar gerbang sekolah terdengar.
“Tin. Tin.”
Aira langsung tahu siapa itu. Ia segera mengambil tasnya dan ikut berpamitan. “Aku juga pulang duluan, ya, Bunda-Bunda.”
Sementara itu, dari balik tikungan tak jauh dari sekolah, dua motor terparkir diam. Salah seorang pria berjaket kulit sedang mengawasi dengan penuh perhatian.
“Puh, sepertinya nduk Aira mau ke kampungnya Dikromo,” lapor mereka.
semangat aku kasih 🌹🌹🌹
Kapan filmnya keluar?
Gue butuh liat Azelique ini jalan slow-mo sambil pasar keuangan runtuh di belakangnya. 👍👍