"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 02
“Maaf, maafkan aku ... aku nggak bisa membiarkanmu hidup atau hidupku yang akan hancur,” lirih Gladys sesak menggigit bibir kencang.
Gladys menangis tanpa suara, bermenit-menit kemudian setelah merasa lebih baik, ia bangkit dari kloset.
Gladys siram darah-darah kental di lantai dan badannya secara menyeluruh hingga bersih dan tidak lupa menyemprotkan parfum demi menyamarkan sisa bau anyir.
Ia pakai kembali celana dalam dan roknya merapikan penampilan serta membasuh wajahnya supaya terlihat lebih segar.
Gladys terlonjak kaget, lamunannya buyar karena tiba-tiba ada yang mengetuk pintu toilet.
“Ada orang di dalam? Kalau enggak saya buka ya?”
“Ada!” seru Gladys spontan.
Tiba-tiba dia panik, ia siram dan semprot parfum lebih banyak lagi begitu merasakan aroma darah masih bisa tercium.
Jantungnya berdetak cepat, siram, semprot, rapikan.
Gladys terburu-buru, ia raih tas berisi macbook yang di gantung dan meraih handle pintu tapi sebelum sempat memutar kunci perempuan itu melotot kaget melihat seonggok daging merah tergeletak di sudut.
“Oh shit!"
Ia lupa membereskan yang satu itu. Buru-buru Gladys mengambil janin kecil tersebut tanpa pikir panjang melemparnya ke dalam lubang kloset.
“Udah belum sih? Lama banget kebelet ini!” seru orang di luar.
“I—iya sebentar,” sahut Gladys gemetar menekan flush toilet berkali-kali tapi daging itu tak kunjung hanyut.
Sepertinya ukuran janin Gladys terlalu besar untuk di tampung oleh lubang toilet sekecil ini.
“Ayo, ayo masuk,” gumam Gladys setengah frustrasi karena usahanya tak kunjung berhasil.
“Cepetan woy!” si orang di balik pintu sudah tidak sabar.
Dengan nekat ia tekan daging merah itu ke bawah menggunakan kaki, flush dan barulah daging itu hilang tidak terlihat.
Gladys bernapas lega, cepat-cepat ia pakai kembali sepatunya lalu membuka pintu bilik toilet.
“Lama banget sih?” cetus seorang gadis berambut pendek di depan pintu kesal.
Toilet penuh semua, sehingga dia memilih menunggui Gladys karena dia yang terlama di sini.
“Maaf, gue sakit perut tadi,” ucap Gladys tersenyum tidak enak hati.
“Minggir.”
***
Gladys memutuskan untuk pulang, toh sudah tidak ada kelas yang harus ia ikuti lagi hari ini.
Perempuan muda itu menghembuskan nafas lelah bersandar pada dinding lift. Ia di dalam sendirian. Tidak ada orang lain sehingga Gladys secara leluasa bisa melihat pantulan wajahnya di kaca.
Pucat. Wajahnya pucat sekali setelah kehilangan banyak darah barusan. Rona pink yang biasa menghiasi wajahnya juga menghilang hanya tersisa kulit pucat yang sedikit kusam.
Lift berdenting, pintu terbuka. Gladys berjalan gontai melalui lorong lantai delapan di mana unit apartemennya berada.
Badannya pegal-pegal dan sakit. Gladys mandi, mengganti pakaian serta mencuci baju yang ia pakai barusan lalu berbaring di atas kasur.
Di saat-saat seperti ini perasaannya selalu memburuk seperti awan gelap yang berdatangan menutupi matahari.
Ia raba-raba perutnya yang telah rata kembali, meresapi rasa perih yang tersisa di sana.
“Ini salahku, seandainya aku tidak egois aku tidak akan kehilangan kalian,” ucap Gladys.
Salahnya. Dua kali menghilangkan janin dalam perut dengan cara paksa tapi mau bagaimana lagi, Gladys sendiri tidak punya pilihan.
“Maafkan, aku. Maafkan mama, Nak.” Air mata berjatuhan.
Gladys sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal bersamaan akibat insiden kecelakaan di tempat kerja. Saat itu Gladys hancur.
Gladys yang memiliki mimpi bersekolah tinggi dan menjadi seorang ekonom ternama seketika down.
Kecelakaan itu bukan hanya merenggut nyawa orang tuanya tapi juga menghancurkan mimpi-mimpinya.
“Ayah, Mama, bangun. Jangan tinggalin Gladys, Gladys takut sendirian. Kalau kalian tidak ada siapa yang akan melindungi dan menyayangi aku.” Hari itu ia meraung keras. Menangisi mayat orang tuanya, menangisi hidupnya.
Gladys hidup mandiri sejak saat itu, ia bekerja paruh waktu melanjutkan sekolahnya sendirian. Saudara ayahnya banyak tapi semua orang berpaling dari darinya.
Tidak ada yang sudi membantu anak yatim piatu itu bahkan sebutir besar sekalipun.
“Tante tidak bisa kasih kamu uang Gladys. Kamu kan tahu sendiri Tante juga hidup kesusahan,” ucap Tante Titi adik kandung ayahnya.
“Om juga tidak bisa bantu. Om single parents punya tanggungan banyak.”
Setelah pembicaraan itu mereka tidak pernah lagi menghubungi Gladys. Gadis muda itu luntang-lantung membiayai sekolahnya sendiri, ia belajar dengan giat dengan harapan mendapat beasiswa kuliah dari pemerintah.
Sayangnya Gladys gagal. Dia mengikuti tes dua kali tapi namanya tidak keluar.
Padahal Gladys miskin, ia layak mendapatkan bantuan pendidikan pemerintah tapi yang dapat malah anak orang kaya, anak-anak makmur yang memiliki gelang emas dan IPhone keluaran terbaru.
Temannya yang juga gagal juga berkata begitu, orang tua temannya akhirnya mengusahakan lewat jalur mandiri setelah anaknya gagal dua kali.
“Kok mereka bisa mendapat beasiswa dari pemerintah ya? Padahal outfit mereka keren-keren, cincin emas besar, IPhone terbaru, kalah sama aku, anak jalur mandiri yang bajunya itu-itu saja dan HP dua jutaan.”
Entahlah, entah apa yang salah. Namun, sejak itu Gladys berhenti berharap bisa kuliah lagi.
Tapi harapan itu muncul lagi ketika Gustav tiba-tiba saja datang padanya.
“Kamu anak yang baik dan cerdas, saya bersedia menjadi sponsor sekolahmu asalkan kamu menurut pada saya,” ucapnya hari itu.
Gladys yang polos dan naif menerima begitu saja uluran tangan orang asing bernama Gustav Elon itu.
Ia kembali ceria dan senang setelah masuk ke universitas swasta elite favoritnya tapi kesenangan sementara itu hancur pada hari di mana Gustav masuk ke kamar dan menelanjanginya.
Dan Gladys akhirnya paham arti dari kata ‘menurut’ yang terucap dari bibir Gustav.
Karena sudah terlanjur terikat, Gladys memasrahkan harga diri dan tubuhnya, ia juga menjadi terobsesi dengan nilai mulai hari itu.
Gladys belajar gila-gilaan agar lebih cepat lulus dan bisa melepaskan diri dari Gustav.
Lama merenung dan menangis ia akhirnya tertidur kelelahan.
***
“Eung?”
Gladys mengerjap-ngerjapkan matanya pelan merasakan usapan lembut di kepalanya, juga badannya terasa hangat dan nyaman.
“Tidur saja lagi, masih gelap,” ucap seseorang pelan lirih di telinga Gladys.
Perempuan itu mendongak ke atas menemukan wajah tampan Gustav yang berbaring di samping memeluknya.
Tubuh mereka menempel erat dengan ia yang tidur berbantalkan lengan pria itu dan wajahnya semula terbenam di dada telanjang Gustav.
“Kau tuli? Kubilang tidurlah lagi, hari masih gelap,” ujar Gustav kesal karena Gladys bukannya menjawab atau lanjut tidur malah melamun.
“Wajahku setampan itu ya sampai kau selalu terpana setiap kali menatapnya?” ejeknya tersenyum sombong.
“Aku lapar,” sahut Gladys. Ia bangun untuk duduk.
Gustav ikut bangun juga. “Kau mau makan apa malam-malam buta begini, angin? Kulkas kosong dan semua restoran sudah tutup.”
Gladys mengerjap. “Apa?” Refleks ia melihat jam dinding, pukul dua pagi.
Ternyata ia tertidur lama sekali setelah lelah menangis dari siang.
Gustav berdecih sinis, perempuan di sampingnya itu tidur dari siang seperti orang mati bahkan tidak ingat sama sekali saat dia datang dan tidak memberikan sambutan seperti biasa.
“Dasar tolol, seharusnya kau ingat untuk mengisi kulkas sebelum tidur seperti mayat!” sarkas Gustav.
Gladys menghela napas berat, pilihan terakhir adalah turun ke minimarket yang buka 24 jam di bawah dan makan makanan instan daripada kelaparan.
Tapi niat itu urung begitu ingat terakhir kali makan mie instan ia sakit perut hebat. Gustav tersenyum mengejek karena bisa menebak isi pikiran gadisnya. Ia berdiri dengan wajah pongah.
“Aku membeli makanan sebelum ke sini, makanlah itu dan berterima kasihlah padaku.”
Wajah Gladys seketika menjadi cerah. Ia menuju dapur untuk melihat makanan yang dimaksud Gustav dan benar saja ada beberapa jenis lauk di atas meja.
Gladys menghangatkan semuanya termasuk nasi setelah itu makan dengan lahap. Perutnya lapar sekali karena belum makan apapun sejak siang tadi.
“Terima kasih,” ucap Gladys begitu Gustav menghampirinya ke meja makan. Gustav mendengus, ikut duduk tapi tidak makan.
“Kamu tidak lapar? Mau ku suapi?” tanya Gladys menawarkan diri.
“Kau mau aku menjadi gemuk makan jam segini?” hardik Gustav menaikkan alisnya kesal.
Seketika perempuan itu terdiam menarik sendoknya dari hadapan Gustav.
“Maaf, aku hanya berpikir mungkin kamu lapar.”
Gustav mendengus lagi. “Makanan itu untukmu, makanlah yang banyak dan jadilah babi.”
Gladys menyuap kembali makanannya tanpa memedulikan ucapan-ucapan kasar Gustav, tidak sakit hati karena sudah terbiasa dia mendengar maki-makian itu.
Selesai makan, ia cuci piring dan gelasnya bersih.
Begitu berbalik ia melihat Gustav yang sudah rapi mengenakan bajunya kembali dan tangannya menyerahkan beberapa butir pil.
“Obat dan vitamin, agar kau cepat pulih.” Gladys tersenyum.
“Terima kasih,” ucapnya menenggak semua obat itu.
“Kau libur sementara, setelah pendarahan mu selesai kabari aku, ingat siapa pemilik tubuh ini!” perintahnya menekan bahu Gladys dengan telunjuk. Menegaskan kepemilikan.
Wajah Gladys meredup. “Baik.”
Gustav memakai jasnya dan keluar dari apartemen Gladys tanpa kata setelahnya.