Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membalas Lamaran
Ranti sudah mulai membuat daftar siapa saja yang akan diajak membalas lamaran. Mulai dari penatua keluarga, sepupu dan tetangga dekat. Beliau mengajak Inaya mendatangi mereka satu-persatu saat libur untuk mengabari secara langsung.
Masih ada waktu 2 minggu sebelum Minggu Wage yang dianjurkan Karno, jadi Inaya masih bekerja dengan biasa.
Weko yang bersemangat, menjemput Inaya di perhentian busnya dan mengantarkannya ke kantor. Setiap makan siang, ia akan datang untuk mengajak Inaya makan bersama. Terkadang ia akan mengirimkan makanan lewat pengantar makanan, saat dirinya tidak bisa datang.
Setelah resmi melamar, Weko dengan terang-terangan mengantar Inaya sampai rumah. Tetapi Inaya tetap membatasi Weko karena takut gossip miring menghinggapi mereka.
“Kemarin sudah mengantar sampai rumah, hari ini antar sampai pangkalan saja Mas.” Kata Inaya saat Weko menjemputnya.
“Kenapa? Bukannya kamu sudah resmi aku lamar?”
“Walaupun aku sudah kamu lamar, keluargaku belum membalas lamarannya, Mas. Orang masih berasumsi lamaran kamu antara ditolak atau diterima.”
“Tidak masalah, Dek!”
“Aku yang masalah, Mas. Aku tidak mau mereka berpikir yang tidak-tidak tentang hubungan kita. Gossip bisa sangat mengerikan di desa.”
“Baiklah, aku akan menurutimu. Jangan pasang wajah sedih seperti itu!” kata Weko sambil menyentuh pipi Inaya.
Inaya reflek memundurkan tubuhnya karena terkejut. Weko justru tertawa melihat Inaya seperti kelinci yang akan diterkam predator.
“Besok kamu libur, apa kamu mau jalan-jalan?”
“Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku harus menemani Ibu mengabari para keluarga.”
“Oh! Apa mereka rumahnya jauh?”
“Ada yang dekat, ada yang jauh.”
“Bagaimana kalau kamu bawa pulang motor Mbak Sintya. Aku saja yang memakainya sejak orangnya ikut suaminya.”
“Tidak perlu, Mas. Kalau perlu, aku akan meminjam milik sepupuku saja.”
“Lebih aman dari gossip.” Batin Inaya karena tidak mau mengatakannya secara langsung kepada Weko.
“Ya sudah. Kita ketemu lagi hari Senin!” Inaya menganggukkan kepalanya.
Hari Minggu, Inaya bangun pagi dan membersihkan rumah seperti biasa. Dan seperti biasa, ia akan mengomel saat melihat tatanan kamar Anif dan Yanti yang tidak rapi. Ia juga marah dengan Yanti yang tidak mencuci pakaiannya sendiri, padahal sudah direndam beberapa hari sampai bau busuk tercium.
Ranti yang melihat Inaya seperti itu hanya bisa menghela nafas. Tidak ada yang bisa beliau bela. Jika saja bukan hari libur Inaya, Ranti yang akan mencuci pakaian rendaman tersebut karena merasa muak. Selain memenuhi kamar mandi, baunya juga mengganggu.
“Pinjam motornya Rudi saja, Na!” kata Ranti saat Inaya sudah selesai sarapan.
“Mau berangkat sekarang, Bu?”
“Iya, mumpung tidak terlalu panas.” Inaya mengangguk dan menghubungi Rudi.
Rudi mengatakan jika motornya sedang dipakai dan menyarankannya untuk meminjam motor Fahri yang sama-sama masih sepupu. Inaya menghubungi Fahri dan tak lama kemudian, Fahri datang mengantarkan motornya.
“Tolong isikan bensinnya ya, Lek! Uang sakuku habis untuk ngopi kemarin.” Kata Fahri dengan cengiran.
“Jangan bilang kamu ngopi pangkon1!” sergah Inaya.
Fahri tidak menjawab, tetapi menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan tawa garing. Inaya bisa menyimpulkan jika tebakannya benar.
“Aku isi 2 liter cukup?”
“Cukup, Lek!” Inaya mengangguk dan pergi dengan Ranti.
Fahri yang sudah terbiasa makan di rumah Inaya, memutuskan untuk makan dan tidur di ruang tamu sambil menunggu Inaya pulang.
Budhe dan sepupu yang ada di dekat rumah sudah Ranti kabari sendiri sebelumnya, yang tersisa adalah beberapa keluarga pihak ayah yang ada di ujung desa dan desa sebelah yang jaraknya cukup jauh.
Semua yang ada di desa adalah keluarga dari pihak ayah, karena keluarga pihak ibu semuanya ada di Kota Tuak. Dan Inaya tidak terlalu dekat dengan keluarga pihak Ibu karena terakhir kali ia berkunjung adalah saat dirinya masih kecil bersama almarhum sang ayah.
Penyampaian kabar berjalan lancar dan beberapa dari mereka mengatakan akan mengusahakan untuk ikut membalas lamaran. Tetapi Ketika di rumah terakhir, yaitu adik bungsu sang ayah, Inaya harus mendengar pertanyaan yang menusuk di sana.
“Apa Inaya hamil duluan?”
“Tidak.” jawab Ranti singkat.
“Saya dengar orang-orang mengatakan kalau sebelumnya Inaya sering diantarkan pulang sore-sore sama laki-laki itu. Dan dengan waktu yang mepet ini, apa tidak mencurigakan?” tanya istri dari Paklek Inaya.
“Yang namanya gossip, belum tentu benar, Dek! Orang-orang suka melebih-lebihkan.”
“Jadi, Inaya masih perawan?”
“Masih!” jawab Inaya ketus.
Jika saja Ranti tidak memperingatkannya untuk merendah sebelum berangkat, mungkin Inaya sudah akan meluapkan kekesalannya saat ini. Mereka bertanya seperti itu tanpa mengaca pada diri mereka sendiri.
Mereka juga memiliki anak Perempuan yang juga sudah bertunangan. Bedanya Inaya langsung menikah dan mereka menunggu sampai anak Perempuan mereka selesai sekolah baru menikah. Dan yang sudah menjadi rahasia umum adalah anak perempuannya yang sering menginap di rumah pihak laki-laki dan begitu juga sebaliknya.
“Tapi kenapa buru-buru menikah?”
“Weko sudah hampir kepala 3, makanya mau cepat menikah dari pada ditunda lama-lama.” Jawab Ranti untuk menghentikan Inaya yang bisa saja lepas kendali.
“Berarti dengan Inaya bedanya 5 tahun lebih.”
“8 tahun.”
“Banyak juga.”
“Malah bagus, suaminya bisa ngemong2.” Kata Paklek Inaya, Sukri.
Setelah itu, Ranti berpamitan karena keperluan mereka telah disampaikan. Beliau juga tidak ingin berlama-lama mendengar omong kosong dari istri adik suaminya tersebut.
Sampai di rumah, Fahri yang sedang memainkan ponselnya di ruang tamu segera menegakkan tubuhnya dan berpamitan. Ia mengatakan jika dirinya ada janji dengan teman-temannya.
“Terima kasih, Lek!” kata Fahri saat melihat tangki bensinnya diisi full oleh Inaya.
“Iya, aku juga terima kasih.”
“Sering-sering pinjam tidak masalah, Lek!”
“Dasar!” Fahri tertawa dan pergi setelah mengucapkan salam.
Hari yang ditetapkan tiba, semua orang telah siap untuk berangkat setelah 2 hari sebelumnya mereka sempat membantu membuat jajanan yang perlu dibawa seperti tape ketan, wajik, jadah, mendhut, nagasari dan lain-lain. Beberapa dari mereka juga membawa parsel buah.
Dengan mengendarai 4 mobil, 25 orang termasuk Inaya berangkat ke rumah Weko. Di sana pihak keluarga Weko sudah menunggu kedatangan mereka.
Berbeda dengan penyambutan di rumah Inaya. Mereka di sambut di jalan menuju rumah karena jalan di depan rumah Weko digunakan untuk tempat duduk tamu dengan memasang tenda.
Para perwakilan keluarga segera berbalas percakapan untuk menyampaikan dan menerima balasan lamaran. Setelah itu, makanan dihidangkan dengan cara piring terbang. Pertama makanan berat nasi rames, disusul bakso, dan es podeng.
“Apa semuanya sudah sepakat dengan tanggal pernikahan yang ditetapkan, Pak?” tanya Alex basa-basi.
“Sudah, Pak. Hari itu bagus.”
“Alhamdulillah, siapa tahu mau di rubah.”
“Tidak perlu. Mempelai laki-laki sudah cukup puas.” Weko menganggukkan kepalanya.
Pandangannya sedari tadi tidak terlepas dari Inaya yang menurutnya terlihat berbeda. Sementara Inaya yang merasa diperhatikan hanya bisa menunduk. Ia merasa tidak percaya diri dengan makeupnya.
Sebelum berangkat, sepupunya menyempatkan memoles wajahnya agar terlihat lebih baik daripada hanya menggunakan CC cream dan lipbalm yang selama ini digunakannya.
Pihak keluarga Inaya berpamitan dengan keluarga Weko. Mereka saling mendoakan, semoga acara mereka 3 bulan mendatang lancar tanpa halangan apapun. Semua orang mengaminkan dan mengantarkan keluarga Inaya sampai di parkiran.
.
.
.
.
.
Kopi pangkon1: pangkon/pangku/mangku. Julukan untuk warung kopi yang tidak hanya menyediakan kopi, tetapi juga menyediakan pelayan kopi Perempuan (biasanya berpakaian seksi) yang bisa melayani pelanggannya. Dikatakan kopi pangkon karena saat minum kopi sambil memangku pelayan kopi (beda daerah, beda penyebutannya).
Ngemong2: dalam Bahasa Jawa berarti proses mengamati, merawat, dan menjaga seseorang, terutama anak-anak, agar mampu mengembangkan diri, memiliki karakter tanggung jawab yang tinggi, disiplin, dan nilai-nilai lain yang positif. Dalam konteks pernikahan, dimaksudkan bisa mengajari dan menjaga istri sebagaimana tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.