"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Luka dibangku sekolah"
Bab 2: Luka di Bangku Sekolah
Pagi itu, langit terlihat cerah setelah hujan deras yang mengguyur sepanjang malam. Rini telah menyiapkan sarapan sederhana untuk anak-anaknya: nasi putih dengan sedikit kecap. Meskipun sederhana, Aditya dan Nayla makan dengan lahap.
"Adik harus baik-baik di rumah, ya," ujar Rini sambil menyisir rambut Nayla yang halus. Kemudian, ia beralih pada Aditya, yang sudah memakai seragam SD yang sedikit memudar warnanya. "Jangan lupa belajar yang rajin, Nak."
Aditya mengangguk. “Iya, Bu. Tapi uang jajan aku cuma seribu lagi, lho. Teman-teman suka beli makanan enak di kantin, tapi aku cuma bisa beli permen.”
Hati Rini mencelos mendengar itu. Ia tahu Aditya tidak bermaksud mengeluh, tapi kata-katanya mengingatkan Rini betapa banyak yang kurang dari kehidupan mereka. Namun, Rini tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya.
“Nanti kalau Ibu sudah dapat uang, kita beli yang lebih enak, ya,” ucapnya sambil mengusap kepala Aditya.
Di sekolah, Aditya duduk sendirian di bangkunya. Ia adalah anak yang cerdas dan rajin, tetapi belakangan ini, ia merasa semakin sulit untuk merasa nyaman di lingkungan sekolah.
Saat jam istirahat tiba, teman-temannya berhamburan keluar kelas untuk bermain dan membeli makanan di kantin. Aditya hanya duduk di bangku, menggambar di buku tulisnya. Ia tahu uang seribu rupiah di sakunya hanya cukup untuk membeli permen kecil, jadi ia memilih untuk tidak pergi ke kantin.
Namun, ketenangannya segera terganggu ketika sekelompok anak laki-laki mendekatinya. Salah satunya adalah Rian, anak yang terkenal suka mengganggu teman-temannya.
“Eh, Aditya, kenapa nggak ke kantin? Oh, lupa... kamu kan nggak punya uang!” ejek Rian dengan tawa mengejek.
Aditya diam, berusaha tidak menanggapi. Tapi ejekan itu tidak berhenti. Teman-teman Rian ikut menertawakan Aditya, memanggilnya dengan sebutan “anak miskin.”
“Kamu bawa bekal nggak? Pasti cuma nasi sama kecap, kan?” sambung Rian sambil mencoba membuka tas Aditya.
Aditya mencoba menahan air matanya. “Jangan ganggu aku!” katanya, mencoba merebut tasnya kembali.
“Aduh, marah dia!” ejek salah satu anak lainnya. Mereka tertawa lebih keras.
Guru akhirnya masuk ke kelas, dan anak-anak itu berlarian kembali ke tempat duduk mereka. Namun, luka di hati Aditya sudah terlanjur menganga.
Sepulang sekolah, Aditya berjalan pelan ke rumah. Biasanya ia bersemangat untuk menceritakan apa yang ia pelajari di kelas kepada ibunya, tetapi hari ini berbeda. Langkahnya lesu, dan wajahnya tertunduk.
Saat ia tiba di rumah, Nayla menyambutnya dengan pelukan kecil.
“Kakak, ayo main sama aku!” seru Nayla dengan riang.
Aditya hanya mengangguk kecil dan meletakkan tasnya di lantai. Rini yang sedang merapikan pakaian bekas di ruang tamu memperhatikan perubahan sikap putranya. Ia tahu ada sesuatu yang salah.
“Aditya, kamu kenapa, Nak?” tanya Rini lembut sambil duduk di sampingnya.
Aditya diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Bu, aku nggak mau sekolah lagi.”
Rini terkejut. “Kenapa kamu bilang begitu? Kamu kan suka sekolah.”
Aditya menghela napas, lalu air mata yang sejak tadi ia tahan mulai mengalir. “Teman-teman aku ngejek aku, Bu. Mereka bilang aku miskin. Mereka bilang aku nggak punya uang buat beli makanan enak.”
Rini merasa seperti dihantam palu mendengar pengakuan anaknya. Ia memeluk Aditya erat-erat.
“Aditya, dengar Ibu,” ucapnya sambil menatap mata putranya yang basah. “Kamu itu anak yang pintar, dan Ibu bangga sama kamu. Jangan biarkan kata-kata orang lain membuat kamu berhenti bermimpi.”
“Tapi mereka terus ejek aku, Bu,” sahut Aditya dengan suara bergetar. “Aku malu...”
Rini menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan masalah kecil bagi seorang anak.
“Kadang, orang yang mengejek itu hanya ingin merasa lebih baik dari orang lain. Kamu tahu apa yang lebih penting? Belajar, jadi anak yang kuat, dan buktikan bahwa kamu bisa lebih hebat dari mereka.”
Aditya terdiam, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Dalam pelukan itu, ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya masih terasa perih.
Malam itu, setelah anak-anaknya tidur, Rini duduk sendiri di ruang tamu. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Ia tahu, dunia luar bisa kejam, terutama bagi anak-anak seperti Aditya yang harus menghadapi ejekan hanya karena keadaan mereka.
Ia memutuskan untuk mencari cara agar Aditya tidak merasa terlalu berbeda dari teman-temannya. Mungkin ia bisa bekerja lebih keras dan menyisihkan sedikit uang untuk memberikan sesuatu yang bisa membuat Aditya merasa lebih percaya diri.
“Hidup memang tidak mudah,” bisik Rini pada dirinya sendiri, “tapi aku tidak akan menyerah demi anak-anakku.”