Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ramuan Elixir Lume
Matahari pagi mulai menyentuh dedaunan hutan yang rimbun. Rea, gadis muda yang tinggal di pinggir hutan, memulai harinya seperti biasa. Ia duduk di meja kecil di dapur rumah kayu sederhana miliknya bersama ibunya, Amelia.
Rea menyuapkan nasi ke mulutnya, lalu menatap ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan bahan makanan untuk hari itu. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi rasa penasaran yang terus menggelitik tak bisa ia abaikan.
"Ibu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Rea membuka percakapan dengan hati-hati.
Amelia menghentikan kegiatannya sejenak. "Tentu saja, Sayang. Apa yang ingin kau tanyakan?"
Rea menarik napas dalam-dalam. "Apa benar aku adalah... mayat hidup?"
Amelia terkejut. Sendok yang dipegangnya jatuh ke lantai. Ia menatap putrinya dengan mata yang penuh keterkejutan dan kesedihan. "Darimana kau mendengar itu, Rea?"
"Aku tahu dari pasar, Bu," kata Rea pelan. "Ada selebaran yang menyebutkan seorang wanita yang memelihara mayat hidup. Aku mendengar orang-orang berbicara. Mereka bilang aku seperti itu."
Amelia menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. "Rea... sebenarnya, itu benar. Kau memang meminum ramuan Elixir Lume saat kau masih kecil."
Rea terdiam, hatinya seakan berhenti berdetak. "Kenapa aku harus meminum itu, Bu?"
Amelia menghapus air matanya. "Kau terlahir prematur, Rea. Tubuhmu sangat lemah, dan dokter mengatakan kau mungkin tidak akan bertahan hidup lebih lama. Ibu tidak bisa kehilanganmu, jadi ibu mencari cara untuk menyelamatkanmu."
"Ramuan itu?"
Amelia mengangguk. "Ramuan Elixir Lume dibuat dari bahan-bahan yang mengerikan, termasuk mayat musuh pembuatnya, tetapi itu satu-satunya harapan ibu. Ramuan itu dapat menyembuhkan penyakit parah, bahkan membangkitkan yang sudah mati. Namun, ramuan itu juga membawa kutukan."
Rea terdiam, mencoba mencerna semuanya. "Jadi, aku ini sebenarnya apa, Bu? Apakah aku masih manusia?"
Amelia menggenggam tangan putrinya erat-erat. "Kau adalah anakku, Rea. Itu yang terpenting. Jangan biarkan kata-kata orang lain merusak hatimu. Kau adalah alasan ibu masih hidup sampai sekarang."
Rea menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. "Aku akan pergi ke pasar hari ini, Bu. Kau jangan keluar rumah. Wajah ibu ada di selebaran itu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Amelia ingin protes, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan putrinya yang keras kepala. "Baiklah, Rea. Tapi hati-hatilah di pasar. Jangan terlalu lama di sana."
Rea mengambil keranjang kecil berisi tanaman obat dan kayu bakar, lalu melangkah keluar rumah. Jalan setapak dari batu kecil mengarah ke hutan yang lebat. Udara pagi terasa segar, tetapi ada sesuatu yang membuat langkahnya terasa berat.
Di sepanjang perjalanan, ia melihat pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, dahan-dahannya membentuk kanopi yang menghalangi sinar matahari. Suara gemericik sungai kecil di kejauhan menemaninya, tetapi keindahan ini tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya.
Setelah hampir setengah jam berjalan, Rea mulai mendekati desa. Rumah-rumah dengan atap jerami mulai terlihat, dan suara aktivitas pasar mulai terdengar.
Pasar itu ramai seperti biasa. Para pedagang menjajakan dagangan mereka, dari sayuran segar hingga kain tenun. Aroma roti baru yang dipanggang bercampur dengan wangi rempah-rempah, menciptakan suasana yang hangat.
Rea langsung menuju toko obat langganannya, Apotek Lumina.
"Selamat pagi, Kak Jasmine," sapa Rea dengan senyum kecil.
"Oh, Rea! Apa yang kau bawa kali ini?" Jasmine menyambutnya dengan ramah.
"Ini ada nettle, lemon balm, dan hawthorn. Semuanya baru kupetik pagi ini."
Jasmine memeriksa tanaman itu dengan teliti. "Tanaman ini sangat bagus, seperti biasa. Totalnya satu perak lima puluh sen."
Rea tersenyum lega. "Terima kasih, Kak Jasmine."
Namun, sebelum pergi, Jasmine mendekatinya. "Rea, hati-hati ya. Ada rumor di pasar tentang seorang penyihir hitam dan mayat hidup yang dipeliharanya. Mereka bilang orang itu tinggal di dekat hutan."
Jantung Rea berdegup kencang. Ia hanya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan toko itu.
Setelah selesai berbelanja, Rea melangkahkan kakinya meninggalkan pasar. Keranjang kecil di tangannya terisi penuh dengan bahan makanan—roti gandum, mentega, daging asin, dan beberapa bumbu dapur. Namun, meskipun tangannya penuh, pikirannya kosong. Kata-kata Jasmine tentang penyihir hitam dan mayat hidup terus menghantui benaknya.
Rea melewati jalan tanah yang menghubungkan pasar dengan pinggiran hutan. Udara sore terasa hangat, tetapi angin yang bertiup membawa aroma tanah yang basah setelah embun pagi. Ladang-ladang kecil di pinggir jalan mulai sepi, para petani sudah kembali ke rumah masing-masing. Di kejauhan, burung-burung gereja terbang membentuk formasi, pulang menuju sarang mereka.
Langkah Rea membawa dirinya ke tepi hutan, tempat pohon-pohon besar menjulang tinggi membentuk bayangan yang panjang. Jalan setapak mulai terasa lebih sunyi. Sesekali, ia mendengar suara gemerisik dedaunan di atas kepalanya—mungkin hanya angin, mungkin juga tupai kecil yang sedang melompat di antara dahan-dahan.
Di sisi jalan, ia melihat bunga liar berwarna-warni bermekaran di sela-sela rumput. Bunga itu tampak begitu cerah di bawah cahaya senja, seolah mencoba memberikan kehangatan di tengah kesunyian yang mendalam.
Namun, semakin jauh ia melangkah ke dalam hutan, suasananya berubah. Udara yang hangat tadi mulai terasa dingin. Sinar matahari yang menyusup di antara celah-celah dedaunan semakin redup. Rea merasa ada sesuatu yang mengawasinya, meskipun ketika ia menoleh, tak ada apa pun selain pepohonan tua dan bayangan mereka yang memanjang.
Di tengah perjalanan, Rea berhenti sejenak di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu mengalir tenang, dengan air yang jernih hingga dasar berbatu-batunya terlihat jelas. Ia berjongkok untuk mencuci tangan yang lengket karena memegang keranjang terlalu lama. Saat air menyentuh kulitnya, rasa dinginnya membuatnya sedikit gemetar.
Ketika ia menatap bayangannya di permukaan air, tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyelusup ke dalam dirinya. Seolah-olah bayangan itu bukan dirinya, tetapi seseorang atau sesuatu yang lain. Ia buru-buru berdiri dan melanjutkan perjalanan, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman itu.
Saat jalan setapak mulai mendaki, pemandangan di depannya berubah. Dari ketinggian kecil itu, ia bisa melihat cakrawala yang mulai memerah, tanda bahwa matahari hampir tenggelam. Langit yang berwarna jingga berpadu dengan kabut tipis yang mulai turun di atas hutan. Jauh di kejauhan, terlihat desa kecil yang tadi ia tinggalkan, kini hanya tampak seperti titik-titik kecil dengan asap dari cerobong dapur yang mengepul ke udara.
Rea menarik napas panjang, mencoba menikmati ketenangan ini. Tetapi, semakin ia mendekati rumah, semakin kuat perasaan aneh itu. Seolah-olah langkahnya membawa dirinya menuju sesuatu yang tidak ia pahami—sesuatu yang telah menunggunya selama ini.
Setelah melewati pohon terakhir di tepi jalan, rumah kayu sederhana miliknya akhirnya terlihat di depan. Cahaya dari perapian yang menyala di dalam rumah memancar lembut melalui jendela kecil, memberikan rasa hangat di tengah suasana yang dingin dan sunyi.
Rea mempercepat langkahnya, rasa cemas menguasai pikirannya. Ia ingin segera tiba di rumah, merasakan kehangatan pelukan ibunya, dan menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghantui benaknya. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu bahwa keheningan malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Saat jarak dengan rumah semakin dekat, perasaan aneh mulai merayap di tubuhnya. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan udara terasa semakin berat untuk dihirup. Napasnya memburu, seperti ada yang mendesaknya untuk terus berlari, menjauh dari sesuatu yang tak kasat mata namun terasa begitu nyata.
"Apa ini?" gumam Rea, merasakan getaran samar di dalam dirinya. Ia menggenggam keranjang erat-erat, mencoba menenangkan hatinya, tetapi rasa asing itu tidak kunjung hilang.
Dengan napas terengah-engah, ia akhirnya tiba di depan pintu rumah. Rea berhenti sejenak, tubuhnya berkeringat meski udara malam semakin dingin. Ia memandang pintu kayu tua itu, berharap menemukan ketenangan di baliknya. Namun, perasaan aneh dalam dirinya justru semakin kuat, seolah ada sesuatu yang bergejolak di dalam darahnya, menunggu untuk dilepaskan.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih