Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 24
Arumi yang sedang termangu, seketika terlonjak kaget pada saat suara bariton itu terdengar dari belakang tubuhnya.
"Mas. Alhamdulillah," ucap Arumi seraya menghela napas sambil mengusap dadanya.
"Jangan banyak melamun. Kau bisa mati karenanya!" tukas Max, seraya berlalu melewati Arumi. Kemudian, Max mendudukkan dirinya di salah satu sofa single yang terdapat di dalam ruangan tersebut. Dia menatap Arumi yang masih berdiri tak bergeming.
"Kenapa diam saja. Lakukan apapun. Ini kamar kita, kau bebas menggunakan fasilitas apapun di dalam kamar ini dan juga di ruangan lainnya. Hanya satu tempat yang tidak bisa kau kunjungi. Dan, jangan pernah berpikir untuk penasaran atau kau akan melihat matahari terbit terakhir dalam hidupmu!" kecam Max, dengan nada bicara yang santai tetapi penuh penekanan.
Hal itu membuat Arumi tersentak. Mengingat luasnya bangunan ini, Arumi tidak memiliki niat sedikit pun untuk berkeliaran nanti. Apalagi, kamar ini saja sudah cukup luas dan memiliki fasilitas yang komplit. Mungkin selama beberapa hari ke depan, Arumi tidak akan keluar kamar selain untuk makan.
Bangunan super luas dan mewah ini justru terlihat menyeramkan bagi Arumi. Bisa saja dia tersesat dan tidak ada yang bisa menemukannya. Mengerikan bukan? Alih-alih hidup enak, malah hilang di telan kemewahan. Apalagi, halaman di kediaman Max ini seperti hutan lindung. Arumi, sampai merinding pada saat melewati pohon-pohon besar tadi.
Apalagi, Arumi memiliki aura sensitif yang bisa mengetahui keberadaan makhluk-makhluk astral yang memang berada di sekeliling bangunan itu. Karena itulah, sejak tadi Arumi tidak berhenti mengerakkan lidahnya untuk melafadzkan bacaan Al Quran yang dia hafal.
"Apa yang harus Arumi lakukan? Arumi bingung, Mas. Kamar ini sangat besar dan luas serta memiliki banyak ruangan," jelas Arumi pada Max, dengan raut wajahnya yang polos. Membuat, suaminya itu seketika menarik salah satu sudut bibirnya.
"Memangnya kau mau apa?" tanya balik Max. Entah kenapa, lama-lama dia terbiasa dengan kehadiran Arumi di sisinya. Padahal, selama ini Max tidak pernah suka ada wanita yang mendekatinya. Apalagi masuk ke dalam wilayah teritorialnya.
"Mau ke kamar mandi. Sudah nahan pipis dari tadi," jawab Arumi jujur. Ucapannya yang polos itu, sontak membuat Max tergelak.
Max langsung berdiri dari duduknya. Kemudian berjalan sambil tertawa mendekati istrinya yang masih tak bergerak dari tempatnya berdiri.
"Kau ini. Kenapa tidak mencoba buka salah satu pintu itu. Di sana kamar mandi, dan yang itu walk in closed," jelas Max seraya menunjuk satu-persatu ruangan yang memiliki pintu dengan warna yang sama.
"Maaf, Mas. Arumi takut salah. Ini kan kamar kamu. Maka itu, Arumi memilih untuk menunggu hingga, Mas kembali," jelas Arumi.
Ucapan Arumi barusan, lantas membuat Max merasa bersalah karena telah mengira bahwa Arumi sedikit bodoh dan polos karena mau buang air saja kebingungan. Ternyata, wanita itu menghormati pemilik ruangan ini. Yaitu dirinya. Sehingga, Arumi rela menahan keinginannya.
Entah bagaimana kalau dia menunda waktunya untuk mendatangi Arini di kamar ini. Apakah istrinya itu akan terus memilih menyiksa dirinya sendiri?
"Sini!" Max menarik pelan tangan Arumi lalu membawanya mendekat ke salah satu pintu.
"Ini kamar mandi. Sana pipis!" titah Max. Hanya dengan Arumi, dia bisa berbicara pelan tanpa mengeratkan urat lehernya. Tanpa emosi dan tanpa sinar mata yang biasa menakuti lawannya. Walaupun, bagi Arumi aura Max tetap saja masih menyeramkan. Tetapi bagi, Max ia merasa santai ketika berhadapan dengan Arumi.
Hanya Arumi satu-satunya wanita yang polos tanpa niat busuk dan licik untuk memanfaatkannya. Satu hal yang Max suka, adalah Arumi tidak terlalu banyak bertanya. Wanita itu selalu bisa memakai cara yang halus ketika memberi tahu hal baru tentang agamanya. Agama yang terpaksa Max anut, demi bisa menikahi Arumi daripada di rajam sampai mati.
Ah, Max jadi ingat kelakuan para warga kala itu. "Sebaiknya aku berikan pelajaran pada mereka suatu hari nanti. Tunggu urusan besarku beres satu-persatu dulu," batin Max, dengan seringai liciknya.
Arumi, yang sudah berada di dalam kamar mandi kembali kaku tak bergerak. Mau tak mau, dia memanggil Max kembali. "Mas! Boleh tolong Arumi!"
Max, yang baru saja mendudukkan bokongnya di atas tempat tidur, terlihat berdecak kala mendengar panggilan bernada lembut tapi nyaring dari istrinya itu.
"Kenapa lagi!" ketus Max, yang heran kenapa Arumi masih saja berdiri dengan wajah bingung. Bahkan kini terlihat sedikit pucat.
"Arumi mau pipis, tapi dimana? Toiletnya lebih rumit ketimbang yang di rumah sakit tadi," adu Arumi dengan wajah yang semakin frustrasi.
Max sontak memijat pelipisnya. " Kamu ini norak sekali! Toilet di sini tidak menggunakan air selang. Karena air hanya akan keluar dari pipa kecil yang mengarah langsung ke alat vital kita," jelas Max.
"Mana bersih. Mana bisa istinjak kalau begini, Mas," rengekan Arumi, pada akhirnya keluar juga. Sepertinya, dia sudah tidak bisa menahan lagi keinginannya.
"Itu kan ada tissue!" kesal Max. Pasal mau pipis saja bikin pusing dan ribet.
"Tidak bersih dong, Mas. Menurut ilmu fiqih itu, yang membersihkan haruslah air. Karena air adalah sebagai alat pertama yang berguna untuk membuang segala najis dan juga kotoran yang melekat pada tubuh kita," jelas Arumi setengah meringis.
"Kau ini!" Max menahan geram dengan mengeratkan rahangnya. Arumi benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling hanya karena wanita itu mau kencing.
"Terserah kamu saja. Kalau mau air banyak itu kan ada bath up. Isi sana!" Setelah mengatakan hal itu, Max langsung pergi kemudian menutup pintu kamar mandi dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi kencang.
"Hufft!" Arumi menghela napas panjang. Dia pun melakukan cara yang di ajarkan oleh suaminya. Mengisi bath up dengan air hingga setengah, lalu Arumi mencari lubang air dan membuang hajat yang sejak tadi di tahannya. Arumi mulai berpikir, bagaimana kalau dia mau pup nanti.
Karena merasa badannya lengket. Arumi memutuskan untuk sekalian mandi saja. "Malam ini kan, malam pertama puasa romadhon. Arumi harus mandi besar," ucapnya pada diri sendiri.
Max, yang berada di dalam kamar sendirian lama-kelamaan merasa kesepian. Dia sudah terbiasa dengan kehadiran orang lain di sisinya. Tetapi, cukup lama juga Arumi tidak keluar dari kamar mandi. Max, sempat melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya.
"Apa saja yang dia lakukan di dalam sana?" gumam Max. Sehingga, rasa penasarannya itu membuatnya bangun untuk menghampiri. Tanpa mengetuk pintu, Max masuk begitu saja.
"Astaghfirullah, Mas!" Arumi yang belum mengenakan pakaiannya secara sempurna, tentu saja kaget setengah mati. Arumi, buru-buru meraih gamisnya untuk menutupi bagian tubuhnya yang terpampang nyata. Untung saja bagian pribadinya sudah tertutup.
Max, yang mendapati hal tersebut langsung terpaku macam patung. Jakunnya turun naik dengan dada yang kembang kempis. Kedua matanya enggan untuk sekedar berkedip. Inikah, keindahan yang selama ini di sembunyikan oleh pakaian besar istrinya?