Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
petunjuk dari bayangan
Diana merasa semakin dalam terlibat dalam teka-teki rahasia yang melingkupi sahabatnya. Pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui, sementara perasaan cemas terhadap keselamatan Nanda semakin besar. Meski Nanda terus menolak untuk berbagi, Diana tidak menyerah. Dia mulai mencari cara untuk menemukan jawaban.
Di kelas, Diana berusaha tetap memperhatikan pelajaran, namun matanya sesekali melirik ke arah Nanda yang duduk di sudut ruangan. Nanda semakin sering melamun dan terlihat tegang. Ketika jam istirahat tiba, Diana mencoba mengikuti Nanda secara diam-diam, berharap menemukan petunjuk yang dapat membantunya memahami situasi yang dihadapi sahabatnya.
Ketika mereka sampai di koridor belakang sekolah, Diana melihat Nanda berhenti dan menelpon seseorang dengan ekspresi cemas. Diana mencoba mendekat dan bersembunyi di balik tembok, mendengarkan percakapan Nanda dengan hati-hati.
"Ini yang terakhir kali, aku janji," kata Nanda dengan suara bergetar. "Tolong jangan libatkan orang lain."
Diana merasakan jantungnya berdegup kencang. Siapa yang Nanda bicarakan? Dan mengapa dia terdengar begitu putus asa? Nanda menutup telepon dan terlihat menghela napas panjang, seolah sedang menanggung beban berat di pundaknya. Diana hampir saja ingin menghampirinya, tapi ia memilih untuk tetap bersembunyi, agar Nanda tidak tahu bahwa ia sedang diikuti.
Beberapa hari kemudian, situasi semakin mencekam. Diana mulai menerima pesan misterius dari seseorang yang tidak dikenal, berisi peringatan agar ia tidak mencampuri urusan Nanda. "Jangan ikut campur kalau kamu tidak ingin ikut dalam masalah ini," bunyi salah satu pesan itu. Diana merasa kaget, namun ia tidak berniat untuk mundur.
Di malam hari, saat suasana rumahnya sepi, Diana memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia membuka akun media sosial Nanda, berharap bisa menemukan petunjuk dari aktivitas sahabatnya. Dia menggulir halaman akun Nanda, mencoba mencari komentar atau postingan yang mungkin mencurigakan. Namun, tidak ada yang aneh hingga Diana melihat sebuah komentar dari akun tak dikenal di salah satu foto lama Nanda: "Ingat kesepakatan kita. Jangan macam-macam."
Perasaan Diana semakin gelisah. Dia mencoba membuka akun itu, namun akun tersebut sudah dikunci. Diana yakin bahwa komentar itu berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi Nanda.
Keesokan harinya, Diana bertekad untuk mengkonfrontasi Nanda sekali lagi. Dia menunggu kesempatan di taman sekolah, tempat mereka biasa berbicara dengan tenang. Ketika Nanda tiba, Diana segera menghampirinya.
"Nanda, aku udah nggak bisa diam lagi. Tolong, ceritain semua sama aku," kata Diana penuh harap.
Nanda tampak kebingungan dan menunduk, menghindari tatapan Diana. "Diana, aku nggak mau kamu ikut campur. Ini masalahku sendiri."
"Masalahmu juga masalahku, Nanda," jawab Diana dengan suara bergetar. "Aku bahkan dapat pesan ancaman karena aku terlalu peduli sama kamu. Kamu nggak bisa lagi menutup-nutupi ini dariku."
Ekspresi Nanda berubah, seakan kaget dan takut mendengar bahwa Diana juga mulai diancam. Nanda menghela napas panjang, lalu akhirnya berkata pelan, "Baiklah, aku akan cerita. Tapi janji, kamu nggak akan bilang siapa-siapa, ya?"
Diana mengangguk cepat. "Aku janji, Nanda."
Nanda mulai bercerita dengan suara pelan dan berat. "Aku terlibat dalam utang yang besar. Aku nggak punya pilihan selain meminjam uang dari orang yang salah. Awalnya cuma untuk membantu keluargaku, karena ada masalah mendadak. Tapi sekarang aku terjebak."
Diana merasa dadanya sesak mendengar penjelasan Nanda. Ia tidak menyangka sahabatnya mengalami masalah yang sebesar ini. "Kenapa kamu nggak bilang sama aku dari awal? Aku bisa bantu, kita bisa cari jalan keluar sama-sama."
Nanda menggeleng. "Aku nggak mau kamu ikut dalam masalah ini. Mereka… mereka adalah orang-orang yang berbahaya, Diana. Bahkan kalau aku nggak bisa bayar, mereka mengancam akan melakukan sesuatu yang lebih buruk."
"Apa yang mereka minta dari kamu, Nanda?" tanya Diana khawatir.
Nanda menelan ludah, tampak ragu untuk melanjutkan. "Mereka memintaku untuk membawa sesuatu ke sekolah ini. Semacam paket yang aku nggak tahu isinya. Dan mereka bilang, kalau aku nggak nurut, mereka akan melibatkan orang-orang yang aku sayang."
Diana terkejut. "Jadi itu sebabnya kamu terlihat begitu tegang belakangan ini?"
Nanda mengangguk lemah. "Aku merasa bersalah, Di. Aku nggak ingin ini terjadi, tapi aku nggak tahu cara lain untuk melindungi orang-orang yang penting buatku."
Diana merasakan campuran rasa marah, takut, dan kasihan pada sahabatnya. "Nanda, kita bisa lapor pada pihak berwenang. Kita bisa cari bantuan."
"Tapi aku takut, Di. Mereka bilang, kalau aku lapor, mereka akan tahu dan… mungkin orang-orang terdekatku akan terluka."
Malam itu, Diana tidak bisa tidur. Ia merenungkan kata-kata Nanda dan menyadari betapa rumit masalah yang dihadapi sahabatnya. Satu hal yang pasti, ia tidak bisa lagi hanya diam melihat Nanda berjuang sendirian. Diana memutuskan untuk mencari bantuan dari pihak yang lebih tahu soal situasi ini. Namun, ia harus berhati-hati, karena orang-orang yang mengejar Nanda tampaknya mengawasi setiap langkah mereka.
Diana semakin yakin bahwa satu-satunya cara untuk membantu Nanda adalah dengan menemukan pria misterius yang pernah ditemuinya di taman belakang sekolah. Pria itu sepertinya tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi Nanda, dan Diana berharap ia bisa memberikan petunjuk atau bahkan solusi.
Setelah sekolah selesai, Diana menunggu di taman belakang, tempat pertama kali ia bertemu pria misterius tersebut. Ia merasa cemas dan tidak yakin apakah pria itu akan muncul, tapi dorongan untuk membantu Nanda membuatnya tetap bertahan.
Satu jam berlalu, dan Diana mulai kehilangan harapan. Namun, tiba-tiba ia merasakan seseorang menyentuh bahunya dari belakang. Ia terlonjak kaget dan berbalik. Pria misterius itu berdiri di depannya, wajahnya tetap tersembunyi di balik hoodie yang gelap.
"Kamu ingin tahu tentang Nanda, kan?" tanya pria itu dengan suara pelan namun tegas.
Diana mengangguk cepat. "Tolong, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Nanda sahabatku, dan aku nggak bisa diam saja sementara dia menderita."
Pria itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus memberikan informasi atau tidak. Akhirnya, ia mulai bicara. "Nanda terlibat dengan kelompok yang berbahaya. Mereka bukan sekadar pemberi pinjaman biasa. Mereka adalah bagian dari organisasi yang lebih besar, yang biasa memanfaatkan siswa untuk tujuan yang tidak baik."
Diana merasakan dadanya sesak. "Apa yang mereka inginkan dari Nanda?"
"Mereka menggunakannya sebagai kurir untuk mengirim barang-barang yang… ilegal," jawab pria itu dengan nada yang semakin tegang. "Mereka tahu bahwa siswa SMA lebih sulit dicurigai oleh pihak berwajib, jadi mereka sering memanfaatkan anak-anak muda yang terjebak dalam kesulitan seperti Nanda."
Diana merasa ngeri membayangkan sahabatnya menjadi bagian dari kegiatan kriminal seperti ini. "Tapi… Nanda nggak ingin melakukan itu. Dia terjebak dan nggak tahu cara keluar."
Pria itu mengangguk pelan. "Aku tahu. Itulah mengapa aku mencoba mengawasinya dari jauh. Aku juga pernah terlibat dalam masalah ini, tapi berhasil keluar dengan susah payah."
Diana merasakan ada harapan kecil. "Kalau kamu bisa keluar, mungkin kamu bisa bantu Nanda juga?"
Pria itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku akan coba. Tapi Nanda harus hati-hati, dan kamu juga. Kalau mereka tahu kita berusaha keluar dari kendali mereka, akibatnya bisa berbahaya."
"Aku nggak peduli. Aku rela ambil risiko apa pun demi Nanda," jawab Diana dengan penuh keteguhan.
Pria itu akhirnya memberikan Diana selembar kertas kecil berisi nomor telepon. "Ini nomor seseorang yang bisa dipercaya. Katakan bahwa kamu teman Nanda, dan mereka mungkin bisa bantu mengeluarkan Nanda dari situasi ini."
Diana menerima kertas itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana cara membalas bantuanmu."
Pria itu hanya mengangguk dan pergi, meninggalkan Diana yang merasa cemas sekaligus lega. Sekarang, ia punya jalan untuk menyelamatkan sahabatnya, meskipun ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar.
Malam itu, Diana menelepon nomor yang diberikan pria misterius itu. Di seberang telepon, seorang wanita menjawab dengan suara tenang.
"Ini siapa?" tanya wanita tersebut.
Diana menjelaskan situasi yang dialami Nanda, tanpa menyebut nama pria misterius yang memberikan nomornya. Wanita itu mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Baiklah, kami akan melihat apa yang bisa dilakukan. Tapi kamu dan Nanda harus sangat berhati-hati. Kelompok ini punya jaringan luas, dan mereka selalu memantau."
Diana mengangguk, meskipun wanita itu tidak bisa melihatnya. "Aku mengerti. Tolong, bantu Nanda keluar dari masalah ini."
Wanita itu menyanggupi dan menutup telepon. Setelah itu, Diana merasa sedikit lega. Setidaknya sekarang ada pihak yang bisa diandalkan untuk membantu Nanda.
Namun, meskipun bantuan sudah diupayakan, situasi di sekolah semakin memburuk. Beberapa hari kemudian, Nanda menerima pesan ancaman yang lebih serius dari kelompok tersebut. Mereka mengetahui bahwa Nanda berusaha mencari jalan keluar, dan mereka tidak senang dengan itu.
"Kalau kamu nggak nurut, kami akan membuat hidupmu jadi mimpi buruk," bunyi pesan yang diterima Nanda di ponselnya.
Nanda sangat ketakutan dan merasa putus asa. Ia bahkan mulai menjauhi Diana lebih jauh, khawatir persahabatannya bisa membahayakan sahabatnya.
Namun, Diana tidak menyerah. Di sela-sela jam sekolah, Diana selalu mendekati Nanda dan mencoba memberinya semangat. Ia berjanji akan selalu ada di sisi Nanda, apapun yang terjadi.
Ketika hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan, akhirnya orang-orang yang dihubungi oleh Diana memberikan kabar baik. Mereka berhasil mengatur sebuah rencana untuk melepaskan Nanda dari kendali kelompok tersebut. Namun, rencana ini membutuhkan keberanian dari Nanda untuk bekerja sama.
Malam sebelum rencana itu dilakukan, Diana bertemu dengan Nanda di rumahnya. Ia menggenggam tangan sahabatnya dan berbisik, "Aku ada di sini untuk kamu, Nad. Apapun yang terjadi besok, kita akan lewati ini bersama."
Nanda menatap Diana dengan mata yang penuh rasa terima kasih dan ketakutan. "Diana, aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku sangat bersyukur punya sahabat seperti kamu."
Esok harinya, rencana itu dijalankan dengan penuh ketelitian. Tim yang membantu mereka sudah menyiapkan berbagai cara untuk memastikan Nanda tidak akan terlibat lagi dengan kelompok tersebut. Dengan bantuan dari pihak berwenang yang bekerja di balik layar, mereka berhasil mengeluarkan Nanda dari situasi berbahaya tersebut.
Namun, meskipun mereka berhasil keluar, Nanda dan Diana tahu bahwa hidup mereka tidak akan sama lagi. Nanda harus pindah sekolah untuk menghindari kemungkinan pengawasan lebih lanjut, dan Diana merasa kehilangan sahabat terbaiknya.
Di hari terakhir Nanda di sekolah, mereka berdua berpelukan dengan air mata yang mengalir. Persahabatan mereka yang telah diuji begitu berat kini meninggalkan bekas yang dalam di hati masing-masing.
"Nanda, janji sama aku. Tetaplah jadi orang yang kuat dan jangan biarkan siapa pun membuatmu terjatuh lagi," bisik Diana dengan air mata berlinang.
Nanda tersenyum lemah. "Aku janji, Diana. Dan aku nggak akan pernah lupa bahwa kamu menyelamatkanku."
Mereka berdua berpisah dengan hati yang berat, tapi penuh harapan. Meskipun jalan mereka berbeda, persahabatan mereka tetap terjalin kuat, membawa kenangan dan pelajaran berharga yang tidak akan pernah hilang.