Di dunia yang dikuasai oleh dua bulan.
Araksha dan Luminya.
Sihir dan pedang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kedua bulan tersebut mewakili dua kekuatan yang bertentangan, Araksha adalah sumber sihir hitam yang kuat, sedangkan Luminya menjadi sumber sihir putih yang penuh berkah.
Namun, keseimbangan dunia mulai terganggu ketika sebuah gerhana yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terbentuk, yang dikenal sebagai "Gerhana Bulan Kembar".
Saat gerhana ini mendekat, kekuatan sihir dari kedua bulan mulai menyatu dan menciptakan kekacauan. Menyebabkan kehancuran diberbagai kerajaan.
"Aku adalah penguasa, diam dan patuhi ucapanku!"
[NOVEL ORISINIL BY SETSUNA ERNESTA KAGAMI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Setsuna Ernesta Kagami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seluruh Bawahan Araksha.
Aula singgasana masih diselimuti keheningan yang sakral, hanya terdengar gema suara Jellal yang terus terpatri di dalam benak setiap bawahannya. Namun, setelah pernyataan mutlak itu, ada pertanyaan yang tak bisa dihindari. Apa langkah selanjutnya?
Jellal menghela napas, pikirannya berputar cepat. Ia memang telah bangkit, tetapi masih banyak hal yang belum diketahui. Berapa lama waktu telah berlalu? Siapa yang telah menyegel mereka? Dan di mana posisi mereka sekarang?
Ia menatap Selene. "Katakan padaku, apa yang kau rasakan sejak kebangkitanmu?"
Selene mengangkat kepalanya, matanya bersinar dalam bayangan. "Yang Mulia... Aku merasakan kehadiran dunia luar yang asing, seperti segel yang telah hancur baru-baru ini. Namun, rasanya... ada sesuatu yang hilang."
"Sesuatunya hilang?" gumam Jellal.
Velka, yang sedari tadi diam, menambahkan dengan suara parau. "Energi Araksha di sekitar kita jauh lebih lemah dibanding saat terakhir aku mengingatnya. Seakan dunia ini telah ditelan oleh kekuatan lain..."
Eira menatap tajam ke arah Velka. "Itu berarti musuh kita telah menang selama kita tersegel."
Ucapan itu membuat suasana aula semakin berat. Jika dunia telah berubah, maka kebangkitan mereka tidak akan disambut dengan tangan terbuka.
Jellal menyandarkan dirinya ke singgasana, matanya menyipit. Ia menatap ke arah Selvhia yang berdiri diam di sisi kirinya. "Selvhia."
"Ya, Yang Mulia," jawab kepala maid dengan suara lembut, tetapi penuh ketundukan.
"Apa kau bisa merasakan keberadaan manusia di sekitar wilayah ini?"
Selvhia memejamkan matanya sesaat, lalu udara di sekelilingnya bergetar. Blood Dominion. Kekuatan yang memungkinkan Selvhia untuk merasakan keberadaan makhluk hidup melalui darah mereka.
Beberapa detik berlalu sebelum ia membuka matanya kembali. "Hanya ada jejak kehidupan kecil... sisa-sisa serangga, beberapa makhluk liar... tetapi tidak ada manusia dalam radius lima kilometer."
Jellal menyandarkan dagunya di tangannya. Itu berarti tempat ini telah lama ditinggalkan.
"Jika tak ada manusia di sekitar sini, maka ini kabar baik," gumamnya. "Kita bisa bergerak tanpa ketahuan."
Darius mendengus, matanya menyipit. "Tapi itu juga berarti dunia telah benar-benar melupakan kita."
"Itu hanya sementara," Jellal menyeringai tipis. "Kita akan mengingatkan mereka siapa yang sebenarnya berkuasa."
Mereka semua menunduk dalam penghormatan mutlak.
Namun, ada satu pertanyaan yang belum terjawab, bagaimana mereka bisa bangkit kembali?
Jellal sendiri tidak mengerti. Sihir cahaya tingkat tinggi telah mengubah mereka menjadi patung. Bahkan, ia sendiri masih samar-samar mengingat cahaya menyilaukan yang menelannya sebelum segalanya berubah menjadi kegelapan.
Tetapi sesuatu telah membebaskan mereka.
Dan ia harus mencari tahu siapa atau apa yang telah menghancurkan segel itu.
"Aku ingin kalian mulai bergerak," perintahnya akhirnya. "Kita tidak bisa bertindak tanpa mengetahui situasi dunia luar."
"Perintah Anda adalah mutlak, Yang Mulia," ujar Selene dengan penuh semangat.
Jellal menatap mereka satu per satu. "Selene, Darius, dan Eira, kalian akan menyebar ke wilayah sekitar dan mencari tahu apa yang telah terjadi selama kita tersegel. Jangan terlalu menarik perhatian, tetapi jika ada yang mencoba menghalangi kalian..." Ia menyeringai dingin. "Hancurkan mereka."
"Tentu saja," jawab Selene, senyumnya semakin melebar.
"Selvhia, kau akan tetap bersamaku," lanjutnya. "Aku ingin seseorang yang bisa bertindak cepat jika situasi tidak terduga terjadi."
Selvhia menundukkan kepala dalam, senyum tipis terukir di wajahnya. "Kehormatan bagi saya, Yang Mulia."
"Velka, kau akan menyelidiki apakah ada sisa-sisa energi segel yang masih bertahan di tempat ini. Aku ingin tahu siapa yang cukup berani untuk melakukan ini padaku."
Velka mengangguk dalam keheningan.
"Dan Marionette, Claris, serta Elise, kalian bertiga akan bertugas menjaga tempat ini. Aku tidak ingin ada makhluk bodoh yang secara tidak sengaja menemukan kerajaan kita sebelum waktunya."
Maid-maid itu serempak membungkuk, menunjukkan ketaatan penuh.
Setelah semua perintah diberikan, Jellal menatap langit-langit aula yang retak. Jellal membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan sesaat sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Selvhia. Mata hitamnya menyipit, memancarkan kilatan yang sulit diartikan.
"Selvhia," panggilnya dengan nada tenang, tetapi berisi perintah mutlak.
"Ya, Yang Mulia?" Kepala maid itu segera menunduk dalam penghormatan.
"Aku belum melihat keberadaan Nyx dan Noa. Apa kau bisa merasakan mereka?"
Selvhia tak langsung menjawab. Sebagai dhampir, indra perasanya terhadap keberadaan makhluk hidup lebih tajam dari kebanyakan iblis lain. Namun, bahkan setelah mengerahkan Blood Dominion barusan, ia tak merasakan tanda-tanda kehidupan dari dua kembar Nephilim itu.
Namun, Selvhia bukan tipe yang meragukan keberadaan bawahannya. Jika Jellal bertanya, itu berarti mereka pasti masih ada di suatu tempat.
Selvhia mengangkat wajahnya, ekspresi dingin dan penuh keyakinan. "Nyx dan Noa masih ada, Yang Mulia. Saya bisa merasakan jejak energi mereka... di lantai atas."
Jellal mengangkat alis tipisnya. "Lantai atas?"
"Aula ini mungkin telah rusak, tetapi istana ini tetap mempertahankan beberapa lapisan ruang tersembunyi. Lantai dua seharusnya masih ada," jelas Selvhia.
Jellal mengangguk ringan. "Bawa aku ke sana."
Tanpa ragu, Selvhia berbalik dan mulai melangkah, diikuti oleh langkah tenang Jellal. Mereka menyusuri aula yang luas, di mana retakan-retakan gelap menghiasi dinding batu yang dulunya megah. Sisa-sisa kehancuran menjadi bukti dari pertempuran yang terjadi sebelum mereka tersegel.
Sampai akhirnya mereka mencapai tangga spiral yang mengarah ke lantai dua. Tangga itu dipenuhi debu dan bayangan pekat, tetapi Jellal tetap melangkah tanpa rasa ragu.
Saat mereka tiba di atas, atmosfer di tempat itu terasa berbeda. Udara di sana terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan keberadaan mereka.
Selvhia melangkah lebih dulu, matanya bersinar merah, mengamati lorong panjang yang berisi pintu-pintu besar.
"Di sini," katanya, berhenti di depan pintu ganda yang terlihat lebih megah dibanding pintu lainnya.
Jellal menatapnya sejenak sebelum mengulurkan tangannya. Dengan satu dorongan ringan, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan isi ruangan di dalamnya.
Ruangan itu dipenuhi cahaya redup yang berpendar dari kristal hitam di langit-langitnya. Namun, yang paling menarik perhatian Jellal adalah dua sosok kecil yang terbaring di atas altar batu di tengah ruangan.
Nyx dan Noa.
Duo kembar Nephilim itu tampak seperti sedang tidur, dengan tubuh mungil mereka yang dikelilingi oleh lingkaran sihir bercahaya samar. Nyx, dengan rambut putih pendeknya, tampak tenang, sementara Noa, dengan rambut peraknya yang panjang, berbaring di sampingnya, bibirnya sedikit terbuka seakan ia hanya tertidur lelap.
Namun, Jellal tahu ini bukan sekadar tidur biasa.
Ia berjalan mendekat, mengamati pola sihir yang mengikat mereka. Matanya menyipit saat samar-samar mengenali susunan rune yang terukir di altar.
Sihir pelestarian?
Jellal menyentuh salah satu rune itu, merasakan sedikit aliran energi yang masih tersisa.
"Ini... semacam perlindungan?" gumamnya pelan.
Selvhia menunduk, mencoba memahami situasi. "Mungkin setelah kita tersegel, ada seseorang yang berhasil mengamankan mereka di dalam perlindungan ini. Tapi siapa?"
Jellal tidak menjawab. Ia menatap lebih lama ke arah Nyx dan Noa. Tidak ada tanda-tanda mereka mengalami luka atau kehilangan energi. Jika benar ini sihir pelestarian, maka itu berarti mereka tetap 'hidup', tetapi dalam keadaan tidak aktif selama ini.
Jellal mengangkat tangannya, mengalirkan energi Araksha di telapak tangannya, lalu menyentuh lingkaran sihir itu.
BRRRZZTTT!
Seketika, lingkaran sihir itu bereaksi. Cahaya ungu berkilat, lalu retakan mulai muncul di permukaannya sebelum akhirnya pecah berkeping-keping.
Dan dalam sekejap—
Nyx membuka matanya.
Mata emasnya bersinar dalam kegelapan, dan tubuh kecilnya berkedut saat napas pertamanya setelah sekian lama memenuhi paru-parunya.
Di sisi lain, Noa juga terbangun. Matanya yang merah terang berkilau, dan ia langsung mengangkat tubuhnya dengan gerakan ringan seperti boneka yang baru dihidupkan.
Hening.
Lalu—
"Jellal...?" suara Noa terdengar lebih lembut dari bisikan angin, tetapi di ruangan sunyi ini, itu terdengar begitu jelas.
Jellal menatapnya, lalu menatap Nyx yang juga tengah menatapnya dalam diam.
Selama beberapa detik, mereka hanya saling menatap, sampai akhirnya Noa melompat dari altar dan langsung menerjang Jellal.
"Jeeellal!!"
Jellal tidak bergerak saat gadis kecil itu menabraknya, melingkarkan tangan mungilnya di pinggangnya dengan erat, wajahnya tenggelam dalam jubah hitamnya.
Nyx, meski lebih tenang, turun dari altar dengan langkah ringan, kemudian berlutut di hadapan Jellal.
"Kami... kembali," katanya dengan suara yang sedikit serak, tetapi penuh penghormatan.
Jellal meletakkan tangannya di kepala Noa, mengacak rambut peraknya yang lembut.
"Kalian tidak pernah pergi," jawabnya dengan nada tenang.
Noa tertawa kecil, masih menempel di tubuhnya, sementara Nyx hanya menundukkan kepalanya lebih dalam, matanya berkilat penuh loyalitas.
Di belakang mereka, Selvhia tetap diam, tetapi tatapannya memancarkan rasa puas. Kembalinya Nyx dan Noa berarti mereka semakin lengkap.