Di dunia yang penuh intrik dan kekuasaan, Liora, seorang wanita penerjemah dan juru informasi negara yang terkenal karena ketegasan dan sikap dinginnya, harus bekerja sama dengan Darren, seorang komandan utama perang negara yang dikenal dengan kepemimpinan yang brutal dan ketakutan yang ditimbulkannya di seluruh negeri. Keduanya adalah sosok yang tampaknya tak terkalahkan dalam bidang mereka, tetapi takdir membawa mereka ke dalam situasi yang menguji batas emosi dan tekad mereka. Saat suatu misi penting yang melibatkan mereka berdua berjalan tidak sesuai rencana, keduanya terjebak dalam sebuah tragedi yang mengguncang segala hal yang mereka percayai. Sebuah insiden yang mengubah segalanya, membawa mereka pada kenyataan pahit yang sulit diterima. Seiring waktu, mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Namun, apakah mereka mampu melepaskan kebencian dan luka lama, ataukah tragedi ini akan menjadi titik balik yang memisahkan mereka selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Terlarang
"Darren!"
Lucian menatap seseorang yang dia kenal dengan sangat baik. Seseorang yang pernah seperjuangan dengannya untuk meraih cita-cita mereka bersama, alias teman masa sekolahnya. Sosok yang selalu ada dalam kenangannya, meskipun sudah lama tidak bertemu.
Seseorang yang tadinya hanya berniat melewati lorong ruangan itu akhirnya berhenti sejenak saat mendengar namanya dipanggil. Dia menatap arah suara yang memanggilnya dengan penuh rasa penasaran.
"Ehmmm," ucapannya sedikit tertahan karena dia berusaha mengingat nama seseorang yang dia lihat sekarang. Wajah pria itu terlihat familiar, dan dia menatap dirinya dengan senyuman lebar yang begitu khas. Pria itu tampak begitu percaya diri, seperti dulu saat mereka masih bersahabat.
"Lucian!" satu kata akhirnya lolos dari mulut pria itu. Seketika, semua kenangan masa sekolah mereka kembali hadir dalam ingatannya. Sekarang dia ingat, pria yang berada di depannya ini adalah salah satu teman masa sekolahnya, dan dulu mereka cukup terbilang akrab, sering menghabiskan waktu bersama.
Bruk...
Mereka berpelukan erat, seolah-olah ingin melepaskan semua rasa rindu yang selama ini terpendam. Tidak ada yang menyangka mereka bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Semenjak lulus sekolah menengah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya langsung melanjutkan pendidikan masing-masing di tempat yang berbeda, bahkan mereka sama sekali tidak pernah berkomunikasi setelah itu.
"Apa kabar?" tanya Lucian setelah mereka melepas pelukan.
"Aku baik, bagaimana denganmu?" tanya Darren balik, dengan senyum tipis yang mengembang di wajahnya. Senyuman itu memang tidak sebesar yang biasa dia tunjukkan di masa lalu, tetapi tetap terlihat hangat dan penuh makna. Darren memang tidak terbiasa tersenyum lebar seperti Lucian, namun senyumannya tetap memiliki daya tarik tersendiri.
"Aku selalu baik, seperti biasa. Tapi tunggu, bagaimana bisa kau berada di tempat ini?" Lucian menatap penampakan Darren dari ujung kaki sampai rambut. Meski sudah sekian lama tidak bertemu, Lucian bisa melihat bahwa Darren masih tampak tidak jauh berbeda. Bahkan semakin keren, dengan tubuh yang semakin tegap dan wajah yang semakin tampan. Dulu, masa sekolah Darren sudah memiliki tubuh atletis dan tegap, dia begitu tampan sehingga menjadi primadona di sekolah. Namun sekarang, dia terlihat tetap mempertahankan tubuhnya yang semakin tegap dan penampilannya yang semakin memikat. Lucian merasa sedikit minder. Dia sendiri, seorang pria yang cukup berisi, sebenarnya ingin sekali memiliki tubuh seperti Darren, tubuh yang atletis dan kekar. Ingatannya kembali terbayang pada mimpinya dulu yang pernah dia ceritakan pada Darren, namun mimpinya itu belum tercapai hingga saat ini.
"Ada apa?" tanya Darren, melihat Lucian yang begitu antusias menatap dirinya dengan begitu intens. Dia merasa sedikit heran dengan reaksi temannya itu.
"Kau semakin keren, semakin tampan!" puji Lucian dengan tulus. Tanpa ragu, dia memberikan tanda jempol menggunakan kedua tangannya. Pujian itu benar-benar datang dari hati, meskipun sedikit ada rasa canggung di antara mereka.
Darren hanya tersenyum kecil, sedikit menggelengkan kepalanya. "Kau juga semakin berisi, Lucian!" sahut Darren dengan nada setengah mengejek, seolah mengingatkan masa lalu mereka yang penuh candaan. Lucian pun memudarkan senyumannya, merasa sedikit terganggu.
"Kau masih suka mengejekku!" ujarnya dengan sedikit mendengus, mencoba menanggapi ejekan Darren dengan candaannya sendiri. Dia merasa sedikit tersinggung, namun tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang masih tersisa di wajahnya.
"Hahaha. Kau sendiri sedang apa di sini?" tanya Darren setelah sejenak tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian dari ejekannya yang baru saja dia lontarkan.
"Aku seorang juru bicara pilihan negara, dan kau sepertinya berhasil mencapai cita-citamu." Lucian menjawab dengan percaya diri, menyadari bahwa dia memang sudah berada di jalur yang dia impikan sejak dulu.
Darren menunduk sedikit, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Wah, kau hebat sekali, Luci. Aku bekerja sebagai komandan utama sekarang. Jadi, sebelumnya... kau akan ikut dalam masalah ini?" Darren bertanya dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi, namun Lucian tahu bahwa itu hanya cara Darren berbicara yang khas. Tanpa ragu, Lucian mengangguk. Darren pun membenarkan hal itu, merasa lega bahwa mereka masih memiliki tujuan yang sama. Setelah percakapan singkat itu, keduanya berpisah untuk mengurus sisa pekerjaan masing-masing, sebelum jam yang telah ditentukan untuk berkumpul tiba.
Di tempat lain, masih di negara yang sama, khususnya di sebuah apartemen pribadi yang terletak di tengah kota, seorang pria yang bertelanjang dada meraih ponselnya yang terletak di atas nakas meja. Pergerakannya yang sedikit terburu-buru membuat wanita yang berada di pelukannya sedikit ikut bergerak, meskipun matanya masih terpejam. Posisi mereka yang sedang terbaring tidur membuat pria itu sedikit kesulitan meraih ponselnya, tetapi pada akhirnya dia berhasil juga.
"Emm," suara lembut wanita itu terdengar, seolah baru saja terbangun dari tiduran yang nyenyak. Namun pria itu tahu bahwa kekasih simpanannya ini pasti masih berada di bawah pengaruh mimpinya.
Dengan hati-hati, pria itu membuka ponselnya dan mencari nomor yang dia simpan dengan nama MY LOVE. Saat dia membuka pesan, matanya langsung tertuju pada pesan yang belum mendapat balasan dari wanita yang sebenarnya dia cintai, pacar aslinya. Dia melihat bahwa sudah berhari-hari dia mengirim pesan dan mencoba menelepon pacarnya, namun tetap tidak ada jawaban. Dia semakin khawatir. Dia tahu hubungan mereka memang berbeda dengan hubungan pada umumnya, jauh dari kata biasa. Meskipun status mereka masih berpacaran, dan sebentar lagi hari anniversary hubungan mereka menginjak tahun kelima, dia merasa cemas jika tidak ada balasan sama sekali. Ya, mereka sudah lama menjalin hubungan, tetapi dia merasa bingung. Dia tidak tahu di mana letak momen terindah mereka, seakan hubungan mereka berjalan tanpa tujuan yang jelas.
"Kau sedang apa, sayang?" tanya wanita yang berada di pelukannya. Suaranya masih terdengar dengan nada tidur yang khas, namun tetap terdengar seksi dan menggoda.
Pria itu langsung mematikan ponselnya dengan cepat dan menyambut wajah wanita keduanya dengan senyuman manis. Dia mengeratkan pelukan mereka berdua dan kembali berciuman mesra, seolah ingin melupakan segala kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya. Wanita itu menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya yang tidak memakai apapun, sementara pria tadi juga tidak memakai apapun. Mungkin bisa dikatakan mereka baru saja melakukan hal terlarang, mengingat hubungan mereka belum sah menjadi suami istri. Namun, mereka tidak peduli. Semua itu tampak seperti sesuatu yang biasa bagi mereka.
"Aku hanya mengecek email pekerjaan, sayang," bohong pria itu, berusaha meyakinkan wanita itu agar tidak merasa curiga. Wanita itu hanya tersenyum, sebagai tanda bahwa dia mempercayai apa yang dikatakan oleh sosok pria kekasihnya.
"Kau akan pergi?" tanyanya dengan nada manja, mengharapkan agar pria itu tetap tinggal bersama dirinya.
Pria itu terdiam sejenak, seperti tengah berpikir. Lalu, akhirnya dia mengangguk dan tersenyum, menyembunyikan sedikit kebimbangannya. "Emm, tidak bisakah sehari saja kau tidak perlu bekerja? Aku ingin menghabiskan satu hari penuh bersamamu," kata wanita itu dengan nada sedikit kecewa. Raut wajahnya berubah, terlihat tidak senang.
Pria itu mencoba untuk meyakinkan lagi. "Tidak bisa, sayang. Ada banyak pekerjaan di kantor. Lagian, bukankah hari ini kau harus pulang?" jawabnya dengan nada lembut, mencoba menyakinkan.
Wanita itu mengangguk dengan pasrah, lalu kembali tersenyum meski masih ada kesedihan yang tersisa. "Yasudah jika begitu, mandilah!" katanya dengan nada ceria yang sedikit dipaksakan.
Pria itu adalah Sean, lebih tepatnya juga adalah pacar Liora. Dia sedang bersama seorang wanita yang memiliki hubungan juga dengan Liora, hubungan tiri. Dia adalah Jasmine, adik tiri Liora. Entah apa yang membuat mereka sampai melakukan hal setega itu kepada Liora, namun yang jelas hubungan mereka sepertinya tidak terpisahkan lagi.
Setelah meninggalkan Jasmine di apartemennya, Sean langsung melajukan mobilnya ke arah apartemen Liora. Dia harus menemui wanita itu langsung dan bertanya mengapa teleponnya tidak pernah diangkat, begitu pula dengan pesan-pesannya yang tidak juga dibalas. Bahkan pesan yang sudah dibaca saja tidak mendapatkan respons darinya.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya Sean sampai di depan gedung yang menjulang tinggi. Dia langsung memasukinya dengan langkah tegap dan menuju resepsionis apartemen. Dia tahu jika kamar Liora berada di lantai ketiga, namun selama hampir lima tahun mereka berhubungan, dia tidak pernah memasuki kamar Liora. Wanita itu memang tidak memperbolehkannya, dan meskipun Sean sudah beberapa kali merasa kesal dan ingin membantah, pada akhirnya dia selalu mengalah daripada harus kehilangan wanita itu. Dia mencintai Liora. Dia sangat mencintainya. Jika dirinya ingin menemui Liora di apartemennya, maka harus melalui resepsionis terlebih dahulu. Itulah yang sudah dia lakukan selama ini.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya resepsionis wanita itu dengan ramah, melayani kedatangan Sean.
Sean membuka kaca mata hitamnya dan menatap resepsionis itu dengan wajahnya yang tegas, hampir seperti orang yang sedang terburu-buru. "Apakah Flora ada di sini?" tanya Sean langsung dengan nada to the point, tidak ada basa-basi.