Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ranu Kumbolo dan ceritanya
Adegan romansa bak di film-film romantis itu akhirnya berakhir setelah Delvia berusaha keras mengembalikan kewarasannya. Tidak bisa, dia tidak boleh terpikat oleh seorang pria hanya karena paras yang rupawan. Lihat saja contohnya, sang ayah yang memiliki paras tampan bahkan hingga usia tua pun masih hobi gonta-ganti wanita alias tukang selingkuh. Terakhir kali sang ayah membawa seorang gadis yang seumuran dengannya ke rumah mereka, menimbulkan pertikaian hebat antara kedua orang tua Delvia. Karena hal tersebut Delvia memutuskan untuk menenangkan diri, menempuh jarak ratusan kilo meter demi menapaki puncak abadi para dewa, sang Mahameru. “Terima kasih,” ucap Delvia lagi, lalu dia mulai membenahi posisinya agar kejadian seperti sebelumnya tak terulang.
Dikta hanya mengulas senyum, wajah Delvia yang memerah cukup memberitahunya jika sang gadis tengah merasa gugup atau bahkan canggung sehingga Dikta memilih untuk diam.
Jarak tempuh menuju titik awal pendakian memakan waktu sekitar satu jam, namun perjalanan tersebut sama sekali tak terasa karena pemandangan alam yang begitu indah dan di dominasi warna hijau. Akhirnya mereka tiba di Ranu Pani, satu persatu dari mereka melompat turun dari Jeep, dan kini tersisa Delvia di atas sana yang tengah bersiap untuk melompat.
“Bisa?” tanya Dikta dengan tatapan meragukan.
“Bisa!” Delvia menjawab tegas, karena tak ingin merepotkan Dikta lagi, gadis itu segera melompat dari atas Jeep, beruntung dia melakukan pendaratan yang sempurna sehingga tidak terjadi cedera di kakinya.
“Perhatian teman-teman,” seru Tofa seraya menepuk tangannya. Kini semua orang berdiri di dekat Tofa dengan posisi melingkar. “Setelah saya menyerahkan berkas kalian, kita akan melakukan briefing bersama relawan Semeru lalu kita akan memulai pendakian menuju pos 1. Sebelum kita berangkat, saya ingin memastikan apa ada di antara kalian yang merasa kurang sehat?” Tofa bertanya untuk memastikan kondisi anggota kelompoknya sebelum pendakian di mulai.
“Kami semua sehat pak ketua,” jawab Eko lantang dan penuh semangat.
“Mbak Delvia, kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat?” Tofa menatap Delvia khawatir.
Delvia tersenyum seraya memegang wajahnya. “Saya baik-baik saja, wajah saya memang begini mas.”
“Delvia terlalu putih mas Tofa, bukan pucat,” celetuk Sari sambil tertawa.
Tofa turut tersenyum, apalagi setelah melihat hasil pemeriksaan milik Delvia yang disisipkan di antara berkas pribadi dan surat keterangan sehat. “Baguslah, sekarang kita mulai briefing.”
Relawan Semeru memberikan briefing singkat di antaranya pendaki harus mematuhi protokol kesehatan, menghargai dan menghormati alam serta menghindari tumbuhan dan hewan beracun.
Setelah berdoa bersama, Tofa dan anggota kelompoknya memulai pendakian mereka. Sebagai ketua, Tofa berada di barisan terdepan, di ikuti Bagas, Eko, Wayan, Sari, Delvia lalu Dikta sebagai sweeper.
Untuk tiba di pos 1 mereka melewati Jalur batu konblok dan belum menanjak. Hanya butuh waktu sekitar satu jam hingga mereka tiba di pos pertama. Perjalanan terus berlanjut, kini jalur batu berganti jalur tanah, namun perjalanan menuju pos 2 terhitung belum terlalu berat.
Ketika tiba di pos 3, Tofa menginstruksikan anggota kelompoknya untuk beristirahat selama 15 menit. Bukan tanpa alasan, sebab perjalanan menuju pos 4 akan mulai dengan tanjakan yang sangat curam,
Delvia memanfaatkan waktu istirahat untuk menikmati pemandangan yang semakin terlihat indah. Di pos 3 ini, dia merasa sudah berada di atas awan karena dia dapat melihat kumpulan awan yang bergerombol.
“Indah bukan? Kamu pasti tidak pernah melihatnya di Jakarta?” ucap Dikta yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah Delvia.
Delvia menoleh singkat, lalu atensinya kembali fokus pada awan. “Hem, di Jakarta hanya ada pemandangan gedung tinggi.”
“Ya benar, belum lagi polusi yang semakin parah,” sahut Dikta.
Hening, keduanya fokus pada pemandangan menakjubkan di depan mereka. Tanpa Delvia dan Dikta sadari, anggota kelompok lainnya tengah mengamati mereka dari jauh.
“Kayanya mas Dikta naksir sama anak kota itu deh,” terka Eko.
“Jangan ngawur deh,” sahut Wayan tak sependapat.
“Aku gak ngawur, dari awal saja aku lihat mas Dikta curi-curi pandang ke mbak Delvia,” Eko semakin yakin jika Dikta tertarik pada Delvia.
“Malah bagus to, tandane Dikta normal,” Bagas yang sejak awal diam akhirnya membuka suaranya.
“Emang sebelumnya mas Dikta belum pernah pacaran?” Sari tiba-tiba penasaran, dia tak yakin pria setampan Dikta melajang.
“Boro-boro pacaran, waktunya habis di ruang operasi. Katanya lebih baik membantu kehidupan baru terlahir ke dunia ini dari pada pacaran,” jawab Bagas lugas, pemuda itu memang mengenal baik Dikta karena mereka adalah teman seperjuangan.
“Sudah, jangan gosip lagi. Ayo lanjut, nanti keburu gelap,” sela Tofa di tengah asyiknya pergosipan mereka.
Matahari mulai tergelincir ke barat, tak ada candaan lagi, mereka fokus pada jalur menanjak yang semakin curam. Beberapa kali Sari terpeleset, untung saja Wayan sigap membantu sehingga tak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Setibanya di Pos 4, rasanya perjalanan sudah tidak berat lagi. Beban di pundak akibat mengangkut carrier pun seolah lenyap, rasa capek yang mengikuti sepanjang Pos Ranu Pani – Pos 4 pun seolah hilang begitu saja. Hal tersebut tidak lain karena keindahan Ranu Kumbolo yang memang benar-benar sudah nampak di depan mata. Daya magis yang ditimbulkan oleh keindahannya begitu luar biasa.
Perjalanan dari Pos 4 ke Ranu Kumbolo pun mulai berubah. Jalur tidak lagi menanjak. Langkah kaki yang tadinya diiringi deruan napas panjang dan berat kini berganti menjadi nyanyian. Kerutan di wajah perlahan berubah menjadi senyuman.
“Ranu Kumbolo,” teriak Wayan dan Eko bersamaan, keduanya berlari ke arah danau dengan penuh semangat.
“Dasar bocah,” celetuk Tofa seraya tersenyum. Di antara mereka, Wayan dan Eko memang yang termuda sehingga Tofa memaklumi tingkah mereka. “Sudah mainnya, cepat dirikan tenda kalian!”
“Yo mas!”
Ya, mereka mendirikan tenda di sana, malam ini mereka akan menginap di Ranu Kumbolo sebelum melanjutkan pendakian mereka menuju puncak Mahameru.
Sang surya telah kembali ke peraduannya, guratan warna jingga membentang luas, sebelum akhirnya langit benar-benar gelap.
Meski Delvia satu-satunya orang asing di kelompok tersebut, namun gadis itu merasa sangat di sambut, dia merasa telah menjadi bagian dari mereka, apalagi tingkah Wayan dan Eko yang kerap membuatnya tersenyum.
“Sudah malam, kita harus istirahat karena besok pendakian semakin berat,” ujar Tofa memerintah, sebagai ketua dia harus selalu mengingatkan anggotanya.
Lelah dan kekenyangan menjadi faktor mereka cepat tertidur. Hanya Delvia satu-satunya orang yang masih terjaga. Delvia meraih senter, gadis itu lalu keluar dari tendanya. Delvia membekap mulutnya, gadis itu takjub melihat pemandangan malam yang begitu indah. Langit di penuhi bintang-bintang dan sekelompok kunang-kunang beterbangan di sekitar danau.
Delvi melangkahkan kakinya meninggalkan tenda, dia sama sekali tak merasa takut karena di sekitarnya juga banyak tenda dari pada pendaki. Delvia lantas duduk di dekat danau, kepalanya mendongak, menatap bintang yang tak pernah di lihatnya di langit Jakarta. Sepertinya keputusannya untuk mendaki adalah pilihan yang sangat tepat. Sejenak dia bisa melupakan masalah yang sedang menimpa keluarganya.
Rupanya bukan hanya Delvia yang masih terjaga, Dikta yang mendengar langkah kaki seseorang pun akhirnya keluar dari tenda dan berjalan mengikuti si pemilik langkah kaki. Cukup lama Dikta diam di tempat sampai akhirnya dia memiliki keberanian untuk duduk di samping Delvia.
“Boleh saya bergabung?” tanya Dikta seraya menatap Delvia.
Delvia sempat terkejut, namun dia sudah mengenali suara Dikta sehingga keterkejutannya perlahan hilang. “Hem,” sahut Delvia tanpa menoleh sedikit pun, terlalu tidak rela dia mengalihkan atensinya, sebab bintang di atas sana seolah tengah menghibur dirinya.
“Apa kau tau asal-usul Danau Ranu Kumbolo?” tanya Dikta tiba-tiba. “Ranu Kumbolo berasal dari kisah sepasang suami istri yang hidup melarat. Suatu hari, sang suami memancing di sungai dan mendapatkan ikan mas ajaib yang dapat berbicara dan mengubah sisiknya menjadi emas. Sang suami membawa ikan itu ke rumah dan menyimpannya di gentong, tetapi ketika ia kembali, ikan itu sudah tidak ada. Setelah itu, sang istri melahirkan seorang anak laki-laki yang memiliki sisik ikan di tubuhnya. Sang ibu bermimpi bahwa sisik ikan itu bisa hilang jika anaknya mencari mutiara pelangi di puncak Gunung Mahameru. Anaknya berhasil menemukan mutiara pelangi, tetapi menjatuhkannya saat turun gunung. Tanah tempat mutiara itu jatuh amblas dan digenangi air, menenggelamkan Kumbolo. Namun, Kumbolo keluar dari danau dan berenang ke tepian dengan tubuh bersih dari sisik ikan,” jelas Dikta panjang lebar, padahal Delvia sama sekali tak menanyakannya.
“Bohong,” sahut Delvia. “Ranu Kumbolo terbentuk dari kawah Gunung Jambangan yang telah memadat dan menampung air,” sambungnya menginterupsi.
Dikta terkekeh karena gadis yang duduk di sampingnya rupanya memiliki pengetahuan tentang Ranu Kumbolo. “Itukan menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, yang saya ceritakan ini versi masyarakat Tengger.”
“Saya tidak tahu kalau mas Dikta lebih percaya cerita rakyat,” cetus Delvia seraya menoleh, menatap Dikta dari samping.
“Bukan percaya, saya hanya mencoba melestarikan cerita rakyat, saya juga tidak abai dari sisi ilmu geologi,” Dikta menyadari jika Delvia tengah menatapnya, oleh karena itu dia memalingkan wajah ke arah Delvia hingga keduanya saling menatap satu sama lain. “Apa kamu sudah punya pacar?”
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan