"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khawatir
Dan Nadia semakin kalut ketika hujan turun dengan derasnya. Tidak. Dia tidak bisa hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Sepertinya Nadia tidak punya pilihan lain, dia harus mencari Sean sekarang.
Nadia sudah siap dengan payung serta senternya dan saat dia membuka pintu, dia mendapati Sean tengah berdiri di sana dalam keadaan basah kuyup. Mereka saling menatap di sana untuk beberapa saat. Sepertinya Sean baru akan mengetuk pintu namun Nadia sudah lebih dulu membukanya.
"Kamu akan berdiri terus di situ? Aku mulai kedinginan di sini," ujar Sean tampak kesal membuat Nadia langsung sadar. Astaga! Dia sudah terlalu lama berdiri di sana. Padahal dia sangat tahu Sean benci kedinginan. Wanita itu segera menyingkir dan Sean bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya sementara Nadia menyiapkan baju serta minuman hangat untuk sang suami.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit sampai Sean keluar dari kamar lengkap dengan pakaian yang cukup tebal. Dia melihat Nadia yang tengah menunggunya di ruang makan. Mendengar suara langkah Sean membuat Nadia menoleh.
"Kamu udah selesai?" tanyanya yang dijawab anggukan kepala oleh Sean. "Yuk, minum dulu," ajak Nadia kemudian sembari menyodorkan segelas minuman hangat ke arah sang suami.
Sean mengambil minuman itu dengan tangan kanannya lalu dioper ke tangan kiri karena tangan kanannya digunakan untuk menarik tangan Nadia.
"Aku minum ini sambil kamu bantuin aku ya," kata Sean membawa Nadia ke dalam kamar. Meski bingung dan kaget Nadia tetap mengikuti langkah Sean yang kini menggenggam pergelangan tangannya.
Ya ampun! Nadia sudah berpikir yang tidak-tidak padahal Sean hanya meminta tolong padanya untuk mengeringkan rambut.
Dengan telaten dan penuh kehati-hatian Nadia mengusap lembut rambut Sean yang terasa begitu lembut. Nadia duduk di tepi tempat tidur sementara Sean duduk di lantai di depan Nadia sembari menikmati minuman hangat yang dibuatkan sang istri.
"Tadi kamu kemana? Kok pulangnya malam banget?" tanya Nadia memecah keheningan. Tidak sepenuhnya hening karena masih ada suara hujan deras diluar sana ditambah suara hairdryer yang sedang bekerja mengerikan rambut Sean.
Sean tak langsung menjawab. Dia tampak berpikir terlebih dahulu sebelum membuka suara.
"Aku singgah di salah satu rumah warga," jawab Sean. Karena tak langsung menjawab membuat Nadia jadi kurang percaya. "Dijamu makanan. Makanya telat pulang," lanjut Sean.
"Terus kenapa gak sekalian nunggu hujan reda aja baru kamu pulang?" tanya Nadia kemudian. Dia tidak habis pikir kenapa Sean harus menerobos hujan dan akhirnya pulang dalam keadaan basah kuyup jika dia memang sedang berada di rumah warga? Kan dia bisa mengabari Nadia dengan menelponnya. Oh iya, Nadia lupa jika di sana jaringan telpon sangat sulit. Bahkan dia yang heboh sendiri tadi menelpon Sean tapi tidak bisa.
"Soalnya kata warga, di sini kalo hujan biasanya lama," jawab Sean menaruh gelasnya di atas meja nakas lalu berbalik menatap Nadia. Karena posisi duduk mereka membuat Sean harus sedikit mendongak dengan tangan yang terlipat di atas paha Nadia.
Pria itu tersenyum sedikit salah tingkah membuat Nadia bingung. "Aku juga udah feeling kamu bakalan khawatir kalo aku gak segera pulang. Dan ternyata bener. Kamu pasti tadi mau nyariin aku kan?" tanyanya dengan nada menggoda seakan tengah memojokkan Nadia. Ingin mengelak juga tidak mungkin sebab Sean memergoki dirinya tadi di depan pintu bersama payung dan senter.
"Iya." Pada akhirnya Nadia tidak punya pilihan lain kecuali jujur. Sean langsung tersenyum puas di sana. "Soalnya kita 'kan lagi berada di tempat asing. Ditambah hari sudah malam dan hujan juga. Kayaknya semua orang pasti akan ngelakuin hal yang sama kalo ada di posisiku," katanya memberikan alibi paling masuk akal.
"Kamu kan bisa nelpon aku." Dan Sean juga tidak akan mudah menyerah sampai Nadia mengakui sendiri jika dirinya khawatir.
Nadia memutar bola matanya malas. "Coba deh kamu cek hape kamu. Apa ada sinyal?"
Sean mengambil ponselnya yang sedang dia isi daya. Dan benar saja tidak ada sinyal di sana. Sean lupa akan hal itu padahal dia sudah pernah ke sana. Pantas saja tidak ada telpon atau pesan yang masuk. Biasanya disaat dirinya sedang tidak ada dikantor maka Dominic akan memenuhi panggilan atau pun kontak pesannya.
Baiklah. Sean jadi khawatir sekarang. Bagaimana dia akan menghubungi Dominic jika ada sesuatu yang penting.
Ah, sial! Batin Sean menaruh kembali ponselnya di atas meja.
"Gak ada sinyal kan?" Nadia bertanya lalu menyimpan hairdryer di dalam tas.
"Iya," jawab Sean mengangguk pelan.
Jedeeerrrr!!!
Tiba-tiba suara petir dan guntur menggelegar dengan kuatnya di luar sana. Bahkan saking kuatnya membuat listrik seketika padam. Keadaan rumah pun menjadi gelap gulita di sana.
"Astaga!" Nadia juga ikut kaget. Wanita itu segera mencari ponselnya yang untung saja berada di saku bajunya. Dia merogoh benda pipih itu lalu menyalahkan flash. Nadia mengarahkan cahaya temaram itu ke seluruh ruangan.
'Loh, bukannya tadi Sean ada di sana?' Batin Nadia dengan kening berkerut. Dia tidak salah lihat kok tadi Sean masih berdiri di sebelah meja sembari mengecek ponselnya lalu sekarang pria itu sudah tidak ada di sana.
"Sean!" panggil Nadia melangkah ke arah meja tadi. Cahaya petir serta suara guntur masih terus menggelar meski sudah tak sebesar tadi. Justru suara hujan yang semakin deras seperti tidak ada tanda-tanda akan berhenti.
"Sean, kamu di mana?" Sekali lagi Nadia harus berteriak kuat hingga akhirnya dia melihat Sean yang sedang duduk meringkuk di sebelah tempat tidur sembari menutup mata dan telinganya.
"Hei, Sean! Kamu gak apa-apa?" tanya Nadia menghampiri Sean lalu menepuk pundak pria yang tengah membelakanginya. Tanpa Nadia duga Sean langsung berbalik dan memeluk wanita itu dengan sangat erat.
"A-aku takut," lirih Sean dengan tubuh gemetar. Nadia bergeming. Wanita itu masing mencerna apa yang sedang terjadi. Hingga akhirnya dia mengerti. Tangannya pun terulur untuk membalas pelukan Sean sedikit menepuk punggungnya. Berharap hal itu bisa membuatnya tenang. Ya, benar sekali. Sean takut pada suara petir dan guntur.
Tak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiran Nadia jika seorang Sean yang gagah dan berwibawa ternyata takut pada suara petir dan guntur. Namun apapun itu kita tidak boleh menganggap sepele rasa takut orang lain. Mungkin bagi kita biasa saja namun bagi mereka yang punya rasa takut berlebih itu adalah teror paling mengerikan.
"Kita pindah ke kasur ya," ajak Nadia karena jujur saja kakinya mulai keram. Untung saja Sean tidak banyak protes. Nadia jadi merasa kasihan karena Sean sama sekali tidak mau membuka matanya saat dia memapah tubuh besar itu untuk berbaring di atas kasur. Ditambah Sean juga terus memeluk Nadia hal yang membuat Nadia jadi sulit bergerak.
"Aku takut, Nad. Takut banget," kata Sean lagi menyembunyikan kepalanya di dada Nadia.
"Tenang ya," kata Nadia mengusap lembut kepala sang suami. Dia menoleh ke arah luar. Sepertinya hujan, petir dan guntur masih akan lama dan itu berarti Nadia dan Sean akan dalam posisi itu hingga hujan reda. Tidak apa-apa yang penting Sean bisa tenang. Nadia pun ikut memejamkan matanya di sana.
****