Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Sok Jual Mahal
"Non Ella, non!"
"Non!" teriak wanita yang memanggilku.
"Astagfirullah, mbok! Ngagetin aja," ucapku sambil mengelus dada.
"Lagian si non dipanggil-panggil dari tadi sama mbok ngga denger. Ya udah, mbok teriak aja," jelas mbok Maryam sambil tersenyum simpul.
Aku menghela napas kasar. Salahku juga yang tidak mendengar panggilan mbok Maryam.
"Non ngapain berdiri di sini?" tanya mbok Maryam penasaran.
"Ngga ngapa-ngapain kok mbok," jawabku sekenanya.
"Hmm, pasti penasaran sama tamu yang datang kan. Udah, ikut mbok turun aja. Lagian mbok ke sini juga atas perintah nyonya. Nyuruh non segera turun. Tamunya udah nungguin di ruang tamu," jelas mbok Maryam sambil memegang sebelah tanganku.
"Eits, tunggu dulu mbok!" aku balas menarik tangan mbok Maryam.
"Tamunya rame?" tanyaku penasaran.
"Iya non," jawab mbok Maryam sambil mengangguk.
"Ada yang ganteng ngga?" tanyaku lagi.
"Sebentar, mbok ingat-ingat dulu," jawab mbok Maryam sambil memainkan bola matanya.
"Ih, kelamaan mbok mikirnya," aku mulai tidak sabaran.
"Mbok tadi tidak begitu memperhatikan non. Orang mbok cuman nyajiin minuman terus disuruh nyonya manggilin non. Tapi, ya non. Mbok rasa-rasa tadi ada yang ganteng."
Aku semakin penasaran dan antusias. "Masih muda atau udah berumur mbok?"
"Aduh si non. Kita turun aja deh! Biar ngga penasaran. Lagian kata nyonya di suruh cepet," jawab mbok Maryam sambil menarik tanganku lagi.
"Ih, mbok! Sabar dong!" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman mbok Maryam agar terseret hingga ke bawah.
Tenaga yang aku kerahkan ternyata masih kurang dari setengah tenaga mbok Maryam. Wanita paruh baya itu memiliki tenaga yang super duper kuat. Kata mama, mbok Maryam itu dulunya pernah menjadi atlet karate. Karena mengalami kecelakaan, akhirnya mbok Maryam harus mengubur mimpinya.
Jadi, meski sudah berumur tenaganya masih luar biasa kuat. Mama sangat pandai memilih orang untuk mengeluarkan aku dari kandang. Hampir saja aku terjungkal saat menapaki anak tangga yang menurun.
"Nah, ini dia Ella," ucap mama saat melihatku sedang diseret oleh mbok Maryam.
Aku salut dengan tenaga mbok Maryam. Tanpa aku sadari kami sudah berada di ruang tamu. Jika sudah begini, aku harus mengulas senyum palsu sambil mengedarkan pandangan.
"Ya tuhan, benaran dia!" pekikku dalam hati saat kedua netraku berhenti pada sosok yang aku dambakan.
"Salim dulu sana!" bisik mama yang entah kapan sudah berdiri di sampingku.
"Eh iya," jawabku sambil menyalami kedua calon mertuaku.
"Caela, calon mertua. Pede banget gue," pekikku lagi dalam hati.
"Dingin banget tangannya?" tanya Tante Melani saat aku menyalaminya.
"Eh iya Tante. Tadi habis cuci buah," jawabku sekenanya.
"Cuci buah di atas?" tanya Tante Melani lagi.
Aku tidak tahu jika saat itu aku sedang digoda habis-habisan.
"Sudah ma. Jangan digoda terus! Namanya juga calon menantu baru ketemu sama calon mertua," jelas om Dirga yang tak lain adalah suami Tante Melani.
Blush
Ucapan om Dirga berhasil membuat wajahku merona seperti kulit udang rebus. Mereka tidak tahu saja jika aku bersorak riang dan ingin salto di dalam hati dari tadi.
"Jadi, gimana Dave?" tanya Melani pada putra semata wayangnya.
"Dave nurut aja ma. Pilihan mama dan papa pasti terbaik buat Dave," jawab Dave dengan nada datar.
Gelombang suaranya membuat hatiku terbang tanpa arah. Mungkin sekarang warna hatiku berubah menjadi merah jambu.
"Eits, tunggu dulu! Baru aja gue duduk kok udah maen mutusin aja," ucapku dalam hati.
Aku mengamati keadaan. Mungkin mereka sudah membicarakan hal ini lebih dulu sebelum aku tiba. Tapi aku bukan gadis sembarangan. Meski tiba-tiba dilamar oleh pria yang aku dambakan bukan berarti aku langsung menyetujuinya. Jual mahal. Yups, aku harus jual mahal sedikit.
"Mama. Aku dan Dave kan belum mengenal lebih dalam," kalimat pertama yang keluar dari mulutku sangat lancar.
"Nanti juga bisa mengenal lebih dalam," jawab mama cepat tanpa menatapku.
"Tapi ma, ini kan untuk jangka panjang," timpalku lagi. Padahal di dalam hati aku menginginkan sebaliknya.
"Apa nak Ella keberatan dengan perjodohan ini?" tanya Tante Melani yang ternyata mendengar percakapan aku dan mama.
"Begini Tante. Ella dan Dave kan belum saling mengenal. Maksud Ella, apa sebaiknya kita saling mengenal dulu setelah itu baru ke jenjang berikutnya," jelasku tanpa ragu-ragu.
Suasana hening sejenak hingga Tante Melani kembali buka suara, "Benar juga sih, apa yang dikatakan Ella."
Aku tersenyum simpul. Sesuai dengan keinginanku.
"Gimana mbak Ranti?" tanya Tante Melani pada mama.
"Hmmm, ngga ngira kan, aku bakal main tarik-ulur," ucapku senang dalam hati.
Sebagai penambah suasana, aku berakting sebagai gadis polos yang belum siap menerima pinangan.
"Ya, saya sih terserah anaknya saja, mbak," jawab mama.
Aku memberikan senyum palsu dan bersikap manis.
"Kalau memang jodoh, kita segerakan. Kalau belum jodoh artinya kita tetap jadi saudara saja, mbak. Lagian kan nak Dave harus segera ke Eropa. Kasihan kalau tidak ada yang menemani," timpal mama.
"What? Apa? ke Eropa? Tunggu-tunggu! Kalau Dave ke Eropa artinya gue ngga bakalan nginjak tanah yang sama dong!" Aku terkejut bukan main. Hatiku langsung mencelos serasa pindah ke lambung.
"Benar juga kata mba Ranti. Wah, padahal saya sudah seneng loh bisa besanan sama mba. Kalau begini terpaksa saya melamar ke tetangga sebelah," ujar Tante Melani dengan raut sedih.
"Iya ngga apa-apa, mbak. Ngga jadi besanan cukup jadi saudara aja," balas mama cepat.
"Kalau begitu ..."
"Tunggu Tante!" Aku segera memotong percakapan antara Tante Melani dan mama.
Kini semua mata tertuju padaku. Aku sampai dibuat kikuk oleh mereka.
"Ma-maksudnya gimana Tante?" tanyaku terbata.
"Oh! Jadi gini, Sebentar lagi usia Dave menginjak angka kepala tiga. Usianya sudah cukup untuk menikah. Nah, setelah menikah, Dave harus menetap di Eropa selama kurun waktu yang belum ditentukan hingga dia pantas menjadi pewaris. Tante itu ngga mau Dave sendirian di sana. Takut ngga ada yang ..."
"Bersedia Tante." Tidak perlu mendengar penjelasan Tante Melani lagi, aku sudah tahu duduk perkaranya. Ingin sok jual mahal malah kaget sendiri aku mendengar kabar yang belum sampai ke telingaku tentang kepergian Dave ke luar negeri.
Mama memiringkan tubuh dan berbisik padaku, "Ngga jadi jual mahal?"
Mataku spontan membulat mendengar pertanyaan mama yang terdengar biasa saja tapi menohok di hati. Bisa-bisanya wanita yang sudah melahirkan aku itu tahu isi hati dan kepalaku.
"Hampir aja cowok idamanmu hinggap ke tetangga sebelah," bisik mama lagi.
Kali ini aku langsung menatap mama tak percaya. Sedangkan yang ditatap dengan santainya merubah posisi duduknya. Aku sangat yakin seratus persen tidak ada yang tahu tentang pria idamanku, termasuk ketiga sahabat baikku. Bagaimana mama bisa mengetahuinya?