Elina Raffaela Escobar, seorang gadis cantik dari keluarga broken home, terpaksa menanggung beban hidup yang berat. Setelah merasakan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, ia menemukan dirinya terjebak dalam kekacauan emosi.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga, Elina bertemu dengan Adrian Volkov Salvatrucha, seorang CEO tampan dan misterius yang hidup di dunia gelap mafia.
Saat cinta mereka tumbuh, Elina terseret dalam intrik dan rahasia yang mengancam keselamatannya. Kehidupan mereka semakin rumit dengan kedatangan tunangan Adrian, yang menambah ketegangan dalam hubungan mereka.
Dengan berbagai konflik yang muncul, Elina harus memilih antara cinta dan keselamatan, sambil berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Di tengah semua ketegangan ini, siapa sebenarnya Adrian, dan apakah Elina mampu bertahan dalam cinta yang penuh risiko, atau justru terjebak dalam permainan berbahaya yang lebih besar dari dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lmeilan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Pagi hari yang cerah Elina terbangun dan bersiap memulai aktivitas dengan semangat yang tinggi. Elina Raffaela Escobar, gadis manis dengan senyuman ceria, bergegas menuju hotel tempatnya bekerja, mengingat ini adalah weekend jadi Elina akan fokus untuk bekerja karena tidak ada perkuliahan.
Hari-hari Elina jalani dengan penuh sukacita meski beban hidup terasa berat, dia selalu berusaha menutupi rasa sakit dengan tawa dan keceriaan. Setelah melalui masa-masa sulit di keluarganya, dia bertekad untuk mengejar impiannya di dunia perkuliahan, dan tidak bergantung pada keluarganya yang sangat rumit. Dengan dua sahabat, Arni Casela dan Clara Marcesi, di sisinya, dia merasa aman.
Namun, siapa sangka dunia yang indah itu tak berlangsung lama. Ketika Elina memasuki dunia perkuliahan, semakin banyak tbeban yang ia tanggung. dia mulai merasakan semakin banyak lagi tekanan dari banyak sisi.
Hari itu, setelah menyelesaikan shift-nya, Elina berencana untuk bertemu Arni, Clara, dan Galang di kafe dekat kampus Cafe Gelora Marcesi milik Orang tua Clara.
Namun, sebelum itu, dia harus menyelesaikan pekerjaan nya, dia ditugaskan untuk mengantarkan handuk ke kamar 203, kamar VIP yang selalu membuatnya merasa gugup karena harus detail dalam membersihkan kamar tersebut.
"Lin, ingat ya, jangan sampai ada yang tertinggal!, nanti krekk" ucap Desi rekannya sambil bercanda, saat dia melangkah pergi.
"Tenang saja, Des! Semua pasti beres," jawab Elina sambil tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ada sedikit keraguan.
Setelah mengetuk pintu dan tidak mendapatkan jawaban, Elina mendorong pintu itu. Suasana dalam kamar 203 tampak tenang, dan saat dia melangkah masuk, semuanya berubah. Suara gemerisik dan desahan membuatnya terhenti. Saat dia berbalik, matanya terbelalak saat melihat sosok Clara dan Galang di pantulan cermin dalam keadaan intim di atas kasur.
Elina merasa tubuhnya kaku, seolah waktu berhenti sejenak. Jantungnya berdetak tak karuan, dan perasaannya seolah tenggelam dalam samudra kekecewaan yang tak berujung. Napasnya tertahan di tenggorokan, dan seluruh dunia seakan runtuh di hadapannya. Semua kenangan indah bersama mereka berdua melintas cepat seperti film yang diputar berulang kali, dan kini semuanya terasa seperti lelucon kejam.
“Tidak mungkin…” bisiknya pelan, hatinya bergetar.
Dengan amarah yang membara, Elina berlari keluar dari kamar, tidak peduli pada apa pun. Langkah kakinya menggema di lorong hotel yang sunyi, napasnya tersengal-sengal. Air matanya mulai mengaburkan pandangannya. Dalam keputusasaannya, dia tidak melihat ada orang lain dan menabrak seseorang.
“Hey! Kau punya mata?” Suara berat itu membuatnya tersentak. Saat Elina menatap ke atas, dia melihat seorang pria tampan, dengan aura dingin dan misterius yang kuat. Mata pria itu berkilat tajam, dan bibirnya yang tipis terlihat kaku.
“Maaf, aku…” Elina berusaha menjelaskan, tetapi tak bisa menahan tangisnya.
Dalam sekejap, semua rasa sakit itu meledak. “Aku melihat… Clara dan Galang. Mereka…”
Pria itu hanya menghela napas, menatapnya sejenak dengan rasa ingin tahu, lalu berlalu memasuki ruang president suite tanpa berkata lebih banyak. Elina merasa seolah dikhianati dua kali; bukan hanya oleh sahabat dan pacarnya, tetapi juga oleh ketidakpedulian yang ditunjukkan oleh orang asing itu.
Elina kembali melangkah, perasaannya campur aduk. Dia bisa merasakan semua mata orang-orang di hotel menatapnya, namun saat itu dia tidak peduli. Semua yang ada dalam pikirannya hanyalah wajah Clara dan Galang, dan kemarahan yang membara di dadanya. Dia sudah cukup sabar, tetapi saat ini, dia merasa seolah semua yang dia percayai telah hancur.
Tanpa berpikir panjang, Elina berbalik dan pergi menuju kafe tempat mereka berjanji bertemu. Saat Clara dan Galang lebih dulu tiba, suasana seketika berubah. Elina tidak bisa menahan diri. Dengan suara bergetar dan penuh amarah, dia berhadapan dengan Clara. Tidak peduli dengan orang orang dalam Cafe itu, Emosi Elina sudah sangat memuncak.
"Kau brengsek! Kalian berdua!" Elina menampar Clara dan mendorong Galang, dengan air mata mengalir deras. Tangannya gemetar, hatinya seakan diperas sampai kering. "Bagaimana kalian bisa melakukan ini padaku?” teriaknya dengan suara serak, hampir kehilangan kendali.
Clara mundur, memegang pipinya yang merah. "Kau gila, Lin! Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!" Clara melirik ke arah Galang yang hanya berdiri mematung, wajahnya penuh kebingungan.
"Kalian berdua brengsek! Dan kau, kau laki-laki bjNg*n!" Elina menunjuk Galang dengan tatapan marah. Air matanya semakin deras, mencerminkan betapa hancurnya hatinya.
Clara tampak terkejut, sementara Galang hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Elina merasa jiwanya seolah hancur, dan dia tidak ingin melihat wajah mereka lebih lama lagi. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan mereka di sana dengan semua kebohongan dan pengkhianatan yang telah mereka buat.
Perasaannya semakin berat saat dia berjalan pulang. Langkah Elina terasa berat, seakan setiap kenangan indah yang pernah dia bagi bersama Clara dan Galang kini berubah menjadi beban yang menghancurkan. Tawanya bersama mereka, percakapan larut malam, semuanya terasa seperti cermin yang pecah—menyisakan potongan-potongan tajam yang melukai hatinya.
Di tengah perjalanan, air matanya kembali mengalir. Di tengah rasa amarah dan kecewanya, dia teringat bahwa tadi dia menabrak seorang pria. Suaranya yang dingin dan tajam, seolah ingin membunuhnya, masih terngiang-ngiang di telinganya. Tapi tak bisa dipungkiri, di balik perasaannya yang hancur, dia sontak terkagum dengan paras pria tersebut yang sangat tampan dan tegas, serta raut dingin yang sangat nampak jelas.
"Apa yang kupikirkan...?" ucap Elina dalam hati, mencoba mengalihkan pikirannya dari pria asing itu.
Tiba-tiba handphone-nya berdering. Terlihat itu panggilan dari Arni. Rasanya dia tidak ingin mengangkatnya, tetapi mengingat Arni juga sahabatnya, dia tidak bisa tidak menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Lin, Elinaaa, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" tanya Arni dalam telepon dengan nada panik dan khawatir.
"Kenapa kalian tiba-tiba bertengkar? Saat aku sampai di kafe, Clara dan Galang terlihat bersitegang, dan katanya kau menampar Clara. Ada apa, Lin?" tanya Arni lagi.
Elina kembali berderai air mata, seolah sulit untuk mengatakan sepatah kata pun.
“Mereka, Ar. Mereka mengkhianatiku!” jawab Elina sambil menahan rasa sakit.
“Sudah kuduga, mereka memang gila!” ucap Arni penuh amarah.
“Kau di mana sekarang? Biarkan aku menyusulmu,” ucap Arni dengan nada penuh kekhawatiran.
"Tidak perlu, Ar. Aku ingin sendiri dulu," jawab Elina, mencoba menenangkan diri.
“Kau yakin, Lin?”
“Ya, aku yakin, Ar. Maafkan aku.” Elina merasa tidak sanggup lagi berbicara.
“Tak perlu minta ma—” Tutt... tutt... suara telepon dimatikan oleh Elina.
Dia tidak sanggup lagi harus berbicara. Dia hanya ingin sampai ke rumah dan segera beristirahat.
Saat Elina sampai di rumah, dia berusaha menahan semua emosi yang ingin meluap. Dia tidak ingin keluarga melihat betapa rapuhnya dia saat ini. Namun, saat dia membuka pintu, suasana rumah terasa mencekam. Ibu dan ayah tirinya sedang bertengkar, suaranya semakin menggelegar. Dalam sekejap, semua rasa sakit itu kembali menghampirinya. Dia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak dia inginkan.
“Lin! Kau ke mana saja?” Ibu Elina menatapnya dengan tajam, seolah menuduhnya akan sesuatu.
“Tidak ada,” Elina menjawab singkat, berusaha menahan air mata.
Saat dia melangkah masuk ke kamarnya, semua kenangan buruk menyerang. Kenangan akan sahabat dan cinta yang hancur, serta keluarganya yang penuh masalah. Dia duduk di tepi tempat tidur, berusaha menata kembali pikirannya, tetapi semua yang dia rasakan terlalu menyakitkan untuk dipikul sendirian.
Malam itu, Elina bertekad untuk bangkit. Air matanya mungkin belum kering, tetapi dia tahu satu hal pasti—dia tidak akan membiarkan pengkhianatan ini menghancurkan dirinya. Dunia mungkin tak berpihak padanya, tapi dia akan bertarung sampai akhir, untuk dirinya sendiri.
Hai semuanya, ini pertama kali Author berkarya. Semoga kalian menyukai alur kisahnya yaa! ☺️🙏🤩