Kisah cinta Halalillah dan Hilal dimulai dari sebuah rumah tahfidz, mereka memilih menjadi Volunteer, dan itu bukanlah keputusan yang mudah, berani menggadaikan masa muda dan mimpinya pilihan yang amat berat.
Menjaga dan mendidik para penghafal qur'an menjadi sebuah amanah yang berat, begitu juga ujian cinta yang dialami Halal dan Hilal, bukan sampai disitu, kehadiran Mahab dan Isfanah menjadi sebuah pilihan yang berat bagi Hilal dan Halal, siapa yang akhirnya saling memiliki, dan bagaimana perjuangan mereka mempertahankan cinta dan persahabatan serta ujian dan cobaan mengabdikan diri di sebuah rumah tahfidz?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emha albana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum Siap
Jika boleh memilih, setiap orang tak menginginkan perpisahan, bukan? Dan jangan salahkan perpisahan, mengapa ada pertemuan. Kita hanya serangkaian waktu yang menanti perpisahan....
Mendengar kabar yang tidak diinginkan membuat Halaliyah merasa terpukul, rasanya belum siap untuk melepas orang yang dicinta i-nya pergi.
Anak mana yang tidak sedih, selepas pulang sekolah hanya melihat bendera kuning sudah terikat di tiang rumah. Anak mana yang tak terluka hatinya melihat tubuh orang yang dicintainya terbujur kaku.
"Bu, baru semalam ibu merintih meminta air, kini tak ada lagi yang suara-suara yang membangunkan Halal untuk sujud di sepertiga malam." Ucapnya dalam hati ketika melihat jasad sang Ibu terbaring di atas ranjang dimana dahulu ranjang itu menjadi saksi rintihan kesakitannya.
Selimut yang dahulu mengangatkan tubuhnya, kini jasadnya kaku dan dingin.
"Bu, maafin Halal yang belum sempat mengabulkan segala impian dan mimpi Ibu."
Ibu, yang dari rahimnya Allah sudah menuliskan takdir anak manusia, rasanya, tak perlu menghujat langit dan membenci terlahir ke bumi.
"Rabbi, sungguh kini telah hilang cahaya hidup ku, redup sudah dunia seakan gelap, redup kini sinar keberkahan dalam hidup." Tangis Hilal pun pecah saat melihat jasad sang Ibu.
"Bu, belum tunai janji Halal, walau Ibu tidak menginginkan banyak dari Halal, tetapi kini semua terkubur dan yang tertinggal hanya sebatas kenangan. Bu, maafin Halal yang tidak bisa menemani saat-saat Ibu sakaratul maut, maafin Halal yang tidak sempat menuntun syahadat di akhir hayat Ibu. Halal janji, akan menjaga ayah dengan baik, kini hanya doa yang bisa mengiringi kepergian Ibu, walau perpisahan ini bukanlah keinginan kita, tetapi Allah yang lebih cinta sama Ibu, kini Ibu nggak ngerasain sakit lagi. Maafin Halal Bu.... "
Isak dan tangis, mengiringi kepergian Ibu tercinta, termasuk Ayah tak kuasa menahan air mata, walau tidak bisa berbicara, tetapi dari nanar matanya terpancar sebuah penyesalan.
Ya Allah,...
Kini aku titipkan Ibu, di sisi mu...
Engkaulah sebaik-baiknya tempat kembali anak manusia, maafkan salah, silaf dan khilaf Ibu, Cukuplah sakit yang dialami selama ini, menjadi penawar dosa.
Sampailah jenazah di Liang lahat, berlahan wajah ibu tertutup papan penyanggah, beberapa orang pria mulai meratakan tanah, dan memadatkan setiap sisi-nya, dari ujung kaki dan mulai menutupi sekujur badan.
Jemari lembut yang dahulu membelai sayang, kepala dan rambut kini sudah tiada.
Bibir yang basah dengan doa, dan masih jelas terdengar suara merdu mu membacakan ayat suci dengan tulusnya, kini rumah ini akan terasa sunyi.
Puluhan bahkan ratusan penyelayat datang silih berganti, sebagian menunggu prosesi pemandian, solat jenazah dan pemakaman.
Yah, semua itu datang mengingat kembali jasa Ibu yang dahulu sebagai ustadzah kampung, banyak dari muridnya yang baru mengenal huruf hijazaiyah dari Ibu, meraka tidak bisa melupakan kebaikan ibu, saatnya melepas pergi manusia yang sepanjang hidupnya tidak pernah mendengar mengeluh untuk urusan dunia.
"Halal, ingat yah nak... jangan pernah meletakan urusan dunia di hari, letakan di tangan, ketika semua hilang kamu masih sanggup untuk mencarinya kembali." Halal mengingat-ingat kembali pesan-pesan Ibu ketika semasa hidup.
Sebentar lagi suara adzan Zuhur berkumandang, semakin dekat perpisahan, Halal berusaha menghapus air matanya, tetapi ia tidak bisa menghindari hal itu, Halal hanya manusia biasa, anak yang baru menginjak dewasa, rasanya ia masih butuh perhatian sang Ibu, kini keadaan yang memaksanya untuk berdikari sendiri dan merawat sang Ayah.
"Ibu jangan khawatir, Halal akan jaga ayah sebaik-baiknya, kini Halal serahkan Ibu sama Allah yah, Dia-lah sebaik-baiknya penjaga."
"Yang kuat ya Halal, insyallah, Allah gantikan yang terbaik dalam hidup Halal." Suara itu mencoba menenangkan Halal, rupanya Bu Hamidah yang tak lain wali kelasnya.
"Ya Bu, terimakasih. "
"Kalo Halal ada apa-apa cerita aja ke Ibu yah? Anggap Ibu pengganti Ibu mu." Ucapnya mencoba menghibur Halal.
Hampir satu kelas datang berta'ziyah me rumah Halal, mengingat halal adalah anak yang mudah bergaul dan dikenal ramah, dia tidak pernah berkecil hati walau kehidupannya jauh dari kata layak.
"Lal, yang kuat yah." Ucap Sabrina teman sebangku Halal.
Selapas penyolatkan, jenazah dihantarkan ke tempat pembaringan akhir, Liang lahat. Beberapa petugas pemakaman sudah bersiap-siap menutup sekujur tubuh Ibu dengan tanah, Liang lahat pun sudah menanti untuk tempat bersandar terakhir Ibu.
Begitu merdu suara adzan berkumandang yang menggema dari dinding tanah makam, selapas mendoakan jenazah, hanya Halal dan Ayah yang tersisa, ia masih tertunduk di hadapan sebuah nisan bertuliskan nama Almarhumah, Nana Nurjanah Bin Haji Kampin.
"Bu, apalah arti bunga setaman yang Halal berikan di atas makam Ibu, dibandingkan setangkai bunga yang Halal berikan semasa Ibu Hidup." Ucap Halal di atas makam.
Ayah hanya menatap sedih, tanpa bersuara, mengingat ini sudah kedua kali Ayah terserang Stroke, hingga membuat pita suaranya mengecil dan mulutnya tidak stabil.
"Allah, boleh Halal nitip Ibu? Jaga dia ya Allah. " Pinta Halal kepada Allah dalam doa.
Halal dan Ayah berangsur meninggalkan makam, hingga akhirnya ia menjauh dari tempat pemakaman umum.
Hari ini jadi hari yang berbeda bagi Halal dan Ayah, suasana rumah pun kembali sepi, tidak ada satu pun tetangga yang menjadi teman menghibur.
Di tengah kesedihannya, Rizka sahabat kecilnya datang, dan mencoba menghibur kesedihan Halal.
"Ra, aku nginep yah?" Pinta Rizka.
"Tapi keadaan rumah masih berantakan riz, nggak apa?"
"Nggak apa, santai aja Lal, kamu kaya sama siapa aja. "
"Terima kasih ya Riz, dah mau nemenin aku."
"Sudah tugas seorang sahabat Lal, untuk menemani sahabat nya saat sedang bersedih, bukan cuma nemenin kamu saat senengnya aja."
"Sekali lagi aku ucapin terima kasih."
Halal melihat Ayah duduk termenung, matanya nanar dan berkaca-kaca, sambil melihat tempat tidur almarhumah.
"Ayah, istirahat aja dulu, jangan banyak pikiran, nanti sakit Ayah kambuh lagi."
Ada yang Ayah mau sampaikan, hanya saja bibirnya tak sanggup untuk mengungkapkan apa yang mengusik pikirannya, matanya terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tak ada satu pun yang bisa memahami apa yang Ayah khawatirkan.
Ia tidak mau beranjak dari sisi tempat tidur Ibu, justru ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang mulai reot dan rapuh.
Halal khawatir kondisi kesehatan Ayah akan menurun dan nyaris sakit kembali.
Rizka begitu setia-nya mendampingi Halal, dia-lah sahabat kecil Halal. Gadis yang tidak lepas dari Hijab-nya yang panjang, begitu juga Halal, dia mengenakan hijab panjangnya setiap hari.
"Lal, tidur gih, nanti sakit, sebentar lagi ujian akhir, jaga kondisi kesehatan kamu."
"Iya Riz, makasi yah dah mau nemenin aku sampai sebegininya dan relain waktu untuk bisa nemenin aku."
"Yah, sama-sama Lal."
Tatapan mereka terlihat saling menguatkan satu sama lain.
kalo kita pandai bersyukur,apapun yg Alloh kasih,akan terasa nikmat
kefakiran tidak menjadikan kalian kufur nikmat
Rizk & iskandar🥰🥰