Aruna Nareswari, seorang wanita cantik yang hidup sebatang kara, karena seluruh keluarganya telah meninggal dunia. Ia menikah dengan seorang CEO muda bernama Narendra Mahardika, atau lebih sering dipanggil Naren.
Keduanya bertemu ketika tengah berada di tempat pemakaman umum yang sama. Lalu seiring berjalannya waktu, mereka berdua saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.
Mereka berharap jika rumah tangganya akan harmonis tanpa gangguan dari orang lain. Namun semua itu hanyalah angan-angan semata. Pasalnya setiap pernikahan pasti akan ada rintangannya tersendiri, seperti pernikahan mereka yang tidak mendapatkan restu dari ibu tiri Naren yang bernama Maya.
Akankah Aruna mampu bertahan dengan semua sikap dari Maya? Atau ia akhirnya memilih menyerah dan meninggalkan Narendra?
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya, terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon relisya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
"Lo tentang aja Ren, nanti pasti gue akan-."
Perkataan Danu terpotong oleh Elena yang datang menghampiri mereka. Ya, wanita itu cukup akrab dengan sahabat Narendra, jadinya dia berani memotong perkataannya.
"Selamat atas pernikahan kalian berdua pak Narendra, dan bu Aruna." Ucap Elena dengan senyuman palsunya, sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Aruna.
Aruna, Narendra, Kania dan juga Danu pun dengan serempak menoleh ke arah Elena yang baru saja datang.
"Terima kasih Elen," jawab Narendra dengan tersenyum kecil.
Aruna yang memang mendapat uluran tangan dari Elena pun langsung membalasnya dengan tersenyum manis, "Terima kasih ya sudah menyempatkan datang ke pernikahan kami,"
"Sama-sama bu Aruna," jawab Elena sembari menarik tangannya kembali.
"Kalau begitu saya permisi dulu, masih ada beberapa keperluan yang belum selesai untuk acara nanti malam," pamitnya kemudian.
"Iya El, hati-hati." Hanya Aruna yang menjawabnya, masih dengan senyuman manis yang tidak luntur.
Elena kembali menunjukkan senyumannya, dan pada akhirnya dia bergegas keluar dari rumah tersebut. Tidak betah sekali rasanya menyaksikan kebahagiaan dari laki-laki yang sangat ia suka dan cintai.
Hatinya patah sepatah-patahnya, dan tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali dirinya sendiri. Cinta dalam diam memanglah sesakit itu.
Setelah kepergian Elena, mereka berempat pun memilih untuk duduk di kursi bekas acara akad nikah tadi.
"Tuh orang nggak tau sopan santun apa ya? Main motong pembicaraan orang aja!" gerutu Danu yang merasa kesal.
"Sabar sayang," Kania yang ada di sampingnya pun langsung mengusap lengannya dengan lembut.
"Tadi lo mau ngomong apa?" tanya Narendra yang masih penasaran dengan ucapan Danu tadi.
"Gue-,"
"Naren, mama sama adik kamu mau pulang dulu."
Lagi dan lagi, perkataan Danu terpotong oleh orang lain. Dan kini orang tersebut adalah Maya. Seperti biasa, wanita itu datang dengan sangat angkuh, bahkan tidak mau mengucapkan selamat kepada sepasang pengantin baru tersebut.
"Iya ma." Jawab Narendra singkat.
Tak ada percakapan lagi antara mereka, Maya dan Diandra langsung pergi begitu saja dari rumah Aruna. Sedangkan Narendra sendiri sepertinya juga enggan untuk banyak mengobrol dengan ibu dan adik tirinya itu.
"Orang-orang pada kenapa sih?! Sejak tadi ganggu gue mau ngomong aja!" ketus Danu yang terlihat semakin kesal.
"Hahaha santai Nu, mungkin mereka punya dendam pribadi sama lo," cetus Narendra.
"Tau ah males gue!" Danu yang kesal pun langsung pergi dari sana dan meninggalkan sang kekasih.
"Pacar lo kalo ngambek kek anak kecil ya Ni," ujar Aruna yang masih memantau pergerakan Danu keluar dari rumahnya.
"Ya gitulah Na, padahal seorang dosen, tapi kelakuannya kayak bocah. Kalo mahasiswanya tau, pasti dia ditertawakan. Hahaha!!!" bukannya membela, Kania malah ikut menertawakan sang kekasih.
"Gue masih bisa dengar omongan kalian!" teriak Danu dari depan rumah Sena.
"Udah jangan diomongin lagi, marah tuh dia," ujar Narendra, sengaja di kencangkan agar Danu bisa mendengarnya.
"Yaudah, kalo gitu gue juga pergi dulu ya? Kasihan pak dosen udah nungguin lama," pamit Kania kepada kedua pengantin baru tersebut.
"Iya Ni, hati-hati," jawab Aruna
"Hati-hati." Sambung Narendra.
Kania hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu setelah itu dirinya segera menyusul Danu yang sudah menunggunya di dalam mobil.
Aruna dan Narendra sendiri mengantarkan Kania sampai ke depan rumah. Setelah kedua sahabatnya pergi, barulah mereka berdua kembali ke dalam rumah.
"Lily! Aku baru ingat sejak tadi pagi aku kunciin dia di kamar!" seru Aruna seraya berlari menuju ke lantai dua rumahnya.
"Jangan lari sayang, nanti kamu bisa jatuh." Narendra yang tidak mau sang istri terluka pun segera menyusulnya.
Lily adalah kucing jenis persia, berbulu putih bersih milik Aruna. Dia sudah merawat kucing tersebut sejak masih kecil, hingga saat ini sudah besar.
Lily bukan cuma hewan peliharaan Aruna saja, melainkan sudah menjadi teman Aruna disaat dirinya merasakan kesepian ketika berada di rumah seorang diri.
Ceklek.
Setelah pintu kamar terbuka, Aruna segera menghampiri kucingnya yang sedang tertidur pulas di atas ranjang miliknya. Diusapnya bulu-bulu putih lembut itu dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan mama ya sayang, sejak tadi pagi mama kunciin kamu di dalam kamar," ujar Aruna yang memang sudah menganggap Lily seperti anaknya sendiri.
"Biarin Lily tidur sayang, lebih baik sekarang kamu beresin barang kamu. Setelah itu ayo kita pulang, biar kamu ada waktu istirahat untuk acara nanti malam," ucap Narendra yang ikut mengusap bulu-bulu Lily.
"Aku sudah membereskan semuanya Ren, kita tinggal pergi saja," jawab Aruna seraya mengambil Lily ke dalam gendongannya.
"Yaudah kalo gitu biar aku bawakan barang-barang kamu ke bawah, kita pulang sekarang juga," ujar Narendra seraya pergi untuk mengambil dua koper besar yang memang sudah berada di depan lemari besar milik Aruna.
"Biar aku bantu bawa ya?" tawar Aruna.
"Nggak usah, kamu bawa aja Lily," jawab Narendra yang sudah memegang kedua koper tersebut.
"Terima kasih sayang," ucap Aruna dengan senyuman manisnya.
"Iya sayang, sama-sama." Jawab Narendra yang juga tersenyum manis.
Mereka berdua pun keluar dari kamar yang tidak terlalu besar itu secara beriringan. Walaupun rumah Aruna kecil, namun rumah tersebut memiliki dua lantai. Dia sendiri sengaja tidak ingin membeli rumah yang lebih besar lagi, karena ia hanya tinggal seorang diri.
Sesampainya di luar rumah, Narendra langsung memasukkan koper sang istri ke dalam bagasi mobilnya. Sedangkan Aruna sendiri langsung mengunci pintu rumahnya.
Setelah dirasa semuanya selesai dan tidak ada yang ketinggalan, mereka berdua pun pergi dari rumah tersebut.
.
Berpindah kepada Maya dan Diandra yang saat ini masih berada di jalan.
"Ma, aku males banget mau pulang ke rumah, apalagi pasti rumah sedang rame," ungkap Diandra dengan tubuh lemasnya yang ia sandarkan di sandaran kursi mobil.
"Sama sayang, mama juga males banget buat pulang ke rumah," jawab Maya sembari terus fokus pada jalanan di depannya.
"Apalagi sekarang udah ada si miskin itu! Makin males aja tinggal di rumah!" cetus Diandra sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Mau gimana lagi Di? Kakak kamu susah banget dibilangin!" ketus Maya yang juga terlihat kesal.
"Pokoknya kita harus buat tuh orang miskin nggak betah di rumah kita ma!"
"Iya Di, nanti mama pasti bakal pikirin bagaimana caranya agar dia pergi dari rumah kita! Mama juga nggak rela rumah kita ditempati orang kotor dan miskin seperti dia!"
"Iya ma, nanti yang ada kita ketularan virus miskin lagi!"
"Hahaha udah jangan bahas dia lagi, mama males dengernya,"
"Hmm... Yaudah deh ma. Terus sekarang kita mau pergi ke mana?" tanya Diandra seraya menoleh ke arah sang mama.
"Mama juga nggak tau sih, yang penting nggak pulang ke rumah aja."