Firnika, ataupun biasa di panggil Nika, dia dipaksakan harus menerima kenyataan, jika orang tuanya meninggal tepat, sehari sebelum lamarannya. Dan dihari itu juga, orang tua pasangannya membatalkan rencana tersebut.
Yuk ikuti kisah Firnika, dan ke tiga saudara-saudaranya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membatalkan Lamaran
"Ke-kecelakan dimana?" tanya Nika.
"Mereka sudah dalam perjalanan pulang, karena ..."
"Katakan Wak ..." teriak Nika dengan perasaan campur aduk.
"Mereka telah berpulang ... " lirihnya.
Adik-adik Nika langsung berteriak memanggil orang tuanya. Mereka bahkan menangis tanpa malu. Sedangkan Nika langsung lemah, hingga tubuhnya jatuh. Untung, lelaki tersebut dengan sigap menangkap tubuh Nika.
Tak berapa lama, orang-orang berdatangan ke rumah mereka. Karena kabar tersebut telah tersebar begitu cepat. Bahkan di musala juga sudah diumumkan oleh marbot.
Nika sudah lebih baik, dia juga ikut membaca yasin dihadapan mayat orang tuanya, begitu juga dengan ke dua adik perempuannya. Sedangkan Amar, masih saja menangis seraya memeluk tubuh Nika.
Karena sebelumnya, dia juga sudah memeluk Ibunya, namun dilarang oleh beberapa orang, mengingat sang mayit sudah merasakan sakit akibat keluarnya nyawa dari tubuh.
"Kenapa mereka harus meninggal Kak? Kenapa, bukan orang lain aja ..." tanya Amar masih dengan isakan.
"Nak, semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan sekarang giliran mereka berdua. Mungkin esok, bisa saja Nenek, ataupun yang lainnya." ujar seorang wanita tua yang mendengar rengekan Amar.
Dan Amar menganggukkan kepalanya, karena sebenarnya tentang kematian dia juga sudah belajar di sekolah. Cuma dia tidak bisa menerimanya, jika itu terjadi pada kedua orang tuanya sekaligus.
Abrar yang mendengar kabar tentang orang tua Nika langsung mendatangi rumah duka. Tak lupa, dia juga mengajak Ibunya untuk ikut serta Sedangkan Ayahnya masih bekerja sebagai supir, di kantor bupati.
Rumah Nika dan Abrar masih satu kecamatan hanya berbeda kampung aja. Jadi, hanya membutuhkan waktu sekitaran sepuluh menit, jika menggunakan sepeda motor.
Begitu sampai di rumah duka. Abrar langsung berbaur dengan warga setempat. Sedangkan Ibunya yang bernama Rina, memilih duduk di samping Nika, agar Nika dan lainnya bisa tahu kedatangannya.
Abrar sendiri mendapatkan kabar jika calon mertuanya mengalami kecelakaan akibat ada satu lembu yang lari tiba-tiba ditengah jalan. Dan sampai sekarang, tidak ada yang tahu pemilik dari lembu tersebut.
Di daerah mereka memang sudah biasa, jika ada lembu ataupun kambing yang berkeliaran di jalanan. Apalagi, sekarang baru saja selesai panen. Rata-rata semua orang melepaskan hewan ternak mereka agar bisa mencari makan sendiri.
Karena fardu kifayah sudah selesai, ke dua mayat di bawakan ke kuburan. Banyak orang-orang yang mengantar mereka ke tempat peristirahatan terakhir.
Amar kembali menjerit kala melihat kedua orang tuanya dimasukan ke liang lahat. Dia bahkan harus ditahan oleh Abrar, yang berada tidak jauh dari tempat Nika berada.
Mata Abrar terus memperhatikan Nika. Tidak ada air mata disana. Namun, dia bisa melihat luka yang lebar darinya.
Safa dan Naya masih saja memeluk erat tubuh Nika. Mereka masih saja menangis tersedu-sedu mendapati kenyataan yang menyakitkan.
Satu persatu orang mulai pamit pulang. Nika dan adik-adiknya masih betah berada disana. Dan tentu saja, Abrar ikut menemani sedangkan Rina sudah pulang terlebih dahulu.
"Nika ,,, kita pulang yok ..." ajak Abrar. Karena mereka sudah berada disana hampir satu jam lamanya.
Melihat Amar yang tertidur di pangkuannya, Nika pun berdiri dengan susah payah. Dan Abrar dengan sigap mengambil alih Amar untuk digendongnya.
Safa dan Naya masing-masing memeluk lengan Nika. Mereka berjalan dengan pikiran masing-masing.
Sedangkan Nika, dia terus saja menyalahkan dirinya. Andai dia tidak menerima lamaran Abrar, mungkin hal ini tidak terjadi. Andai orang tuanya tidak ke pasar, mungkin musibah ini gak pernah ada.
Tanpa sadar mereka semua sudah sampai disana. Dan Nika langsung mendapatkan pelukan dari Abang Dian.
"Kamu yang sabar ..." bisik Samsul yang baru tiba.
Samsul merupakan saudara satu-satunya Dian. Dia berada di kota yang berbeda dengan Dian. Karena dia merantau ke tempat lain. Dan perjalanan dari kotanya ke tempat Nika menghabiskan waktu hampir enam jam lamanya. Dan Samsul, malah menyuruh orang sana untuk segera menguburkan Dian. Karena dia pun gak mau, jika adiknya berada di dunia lebih lama. Karena setahunya, orang-orang meninggal lebih membutuhkan untuk dikuburkan dengan segera.
Lagipula, sebelumnya Samsul tidak yakin bisa pulang hari ini juga. Karena dia terkendala dengan biaya. Beruntung istrinya berhasil meminjam uang dari nyonya tempat dia menjadi tukang cuci dan setrika. Karena Samsul sendiri tidak lagi bisa bekerja berat, dia hanya bisa menjaga warung kecilnya. Karena dia menderita penyakit diabetes serta sesak.
"Kamu harus kuat Nika, demi adik-adikmu ..." lanjut Samsul menyeka sudut matanya.
"Iya Wak ..." balas Nika. Dia juga memeluk istri dari waknya yang berada di samping Samsul.
Samsul dan istrinya juga melakukan hal yang sama pada ke tiga anak almarhum lainnya.
Malam harinya, setelah pengajian dan pengiriman doa kepada almarhum-almarhumah, orang-orang mulai meninggalkan kediaman Nika. Tinggallah, disana keluarga Samsul yang berniat akan menginap selama tiga hari lamanya. Karena dia tidak bisa terlalu lama meninggalkan rumahnya. Karena dia pun masih mempunyai dua orang anak yang tinggal disana. Sebab mereka tidak bisa ikut, karena terkendala biaya.
Beruntung kedua anaknya lelaki dan sudah bisa menjaga diri. Karena mereka memang di didik untuk bisa mandiri.
"Maaf perkenalkan saya Rina. Saya Ibu dari Abrar, yang mana, rencananya malam esok, akan datang kesini untuk melamar Nika ..." seru Rina membuka obrolan setelah beberapa saat mereka terdiam.
Karena sebelumnya pun, Nika berada di kamarnya, menidurkan Amar yang kembali teringat Emaknya.
"Ah iya, Dian dan Ikram sempat menelpon saya, untuk mengabarkan hal bahagia ini ..." kekeh Samsul.
"Iya ,,, dan karena musibah ini. Aku sebagai Ibu dari Abrar, membatalkan rencana tersebut ..." ucap Rina tanpa kendala.
"IBU ..." teriak Abrar tidak terima, dia bahkan sampai berdiri dari duduknya. Padahal, mereka sedang duduk lesehan di ruang tamu.
"Dengarkan Ibu dulu Abrar ..." Rina melototi Abrar yang dinilainya tidak sopan.
"Duduk lah, dan dengarkan apa yang dimaksud oleh Ibumu ..." seru Samsul dengan tegas.
Nika dan lainnya menatap penasaran ke arah Rina, yang sedang memperbaiki cara duduknya. Dan Abrar, kembali duduk di dekat Ibunya.
"Jadi begini, seperti yang kita semua ketahui. Jika orang tua Nika telah meninggal, dan meninggalkan empat orang anak. Dan tiga diantaranya masih sekolah." Rina kembali bersuara.
"Aku gak setuju jika Abrar menikah dengan Nika, karena setelah ini, pasti anakku yang akan menanggung semua kebutuhan adik-adiknya. Kecuali, Nika mau tinggal di rumahku, meninggalkan adik-adiknya disini ..." jelas Rina.
Nika langsung menatap Abrar dan Samsul bergantian. Dia gak mungkin bisa tenang meninggalkan adik-adiknya disini, sedangkan dia sendiri hidup bersama Abrar.
"Dan semua keputusan ada ditangan Nika ..." lanjut Rina.
"Bu ... Itu gak mungkin Bu ..." bela Abrar.
"Diam ..." tekan Rina, bahkan mencubit paha Abrar.
tapi ini beneran udah selesai, kak... ?
padahal baru beberapa bab, kak...
saking bucinnya, Nisa sampe nda bisa bedain yang benar dan yang salah