Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan topeng
Blitz kamera menyilaukan mata Rani saat ia melangkah keluar dari Rolls-Royce hitam mengkilap, tangannya bertaut dengan Dimas. Senyum palsu terpatri di wajahnya, hasil dari latihan bertahun-tahun Adinda di depan cermin. Gaun merah marunnya berkilau di bawah cahaya lampu sorot, membuat para wartawan semakin bersemangat.
"Nyonya Adinda! Tuan Dimas! Sebelah sini!"
"Nyonya, bagaimana perasaan Anda menyumbang untuk rumah sakit anak?"
"Tuan Dimas, apa rencana ekspansi bisnis Anda selanjutnya?"
Teriakan wartawan membahana. Rani berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh setiap kali nama 'Adinda' disebut. Ia harus terbiasa, setidaknya untuk sementara.
"Tersenyumlah lebih lebar," bisik Dimas di sela-sela lampu blitz. "Mereka suka melihat gigi putihmu itu."
Rani menurut, meski otot-otot wajahnya terasa kaku. Ia bisa merasakan tatapan menilai Dimas, seolah mengukur setiap gerak-geriknya.
Dimas membimbingnya memasuki gedung megah tempat acara amal diselenggarakan. Tangannya di pinggang Rani terasa berat dan dingin. Rani menahan dorongan untuk menjauh.
"Ingat," bisik Dimas tepat di telinganya saat mereka melewati pintu masuk berlapis emas. "Kau mencintaiku. Kita pasangan bahagia. Jangan buat kesalahan seperti di acara terakhir."
"Kesalahan apa?" Rani bertanya pelan, namun Dimas mengabaikannya.
Rani mengangguk kaku. Mereka melangkah ke aula utama yang dipenuhi tamu-tamu berpakaian mewah. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau champagne memenuhi udara. Lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan.
"Dimas! Adinda! Senang kalian bisa hadir!"
Seorang pria paruh baya menghampiri mereka, diikuti wanita cantik yang terlihat lebih muda darinya. Rani merasakan ingatan Adinda membisikkan nama mereka: Gunawan Wiraatmaja, pemilik grup properti terbesar di negara ini, dan istrinya yang ketiga, Felicia.
"Gunawan, senang bertemu denganmu," Dimas menjabat tangan pria itu. "Bagaimana proyek di Bali?"
"Berjalan lancar. Berkat bantuanmu tentunya," Gunawan tertawa, perutnya yang buncit bergoyang. "Kau harus datang melihatnya sendiri. Resort kita akan jadi yang terbaik di Asia Tenggara."
"Tentu, aku akan mengatur jadwalku," Dimas tersenyum diplomatis.
Mata Gunawan beralih pada Rani. "Dan Adinda, kau semakin cantik saja. Bagaimana kabarmu, Nak?"
Rani tersenyum, bersyukur atas ingatan Adinda yang membantunya. "Baik sekali, Om Gunawan. Bagaimana dengan Tante Felicia?"
Felicia tersenyum, namun matanya menatap Rani dengan sorot yang sulit diartikan. Ada kilatan... kecurigaan? "Aku baik-baik saja, sayang. Oh, kudengar kau akan membuka butik baru?"
Rani terdiam sejenak. Butik? Ia tak menemukan ingatan apa pun tentang hal itu dalam kepala Adinda. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Ah, itu masih rencana," Dimas menyela cepat, tangannya meremas pinggang Rani sebagai peringatan. "Adinda masih fokus pada yayasan amalnya saat ini. Benar kan, sayang?"
Rani mengangguk, lega atas intervensi Dimas. "Benar. Yayasan adalah prioritas utama saya saat ini."
"Yayasan?" Felicia menaikkan alisnya. "Bukankah minggu lalu kau bilang ingin fokus di dunia fashion?"
Jantung Rani berdegup kencang. Ia bisa merasakan tatapan tajam Dimas padanya.
"Ah, itu..." Rani tergagap.
"Istriku punya banyak minat," Dimas tertawa, suaranya terdengar sedikit tegang. "Tapi untuk saat ini, kami sepakat yayasan lebih penting. Bukan begitu, sayang?"
Rani mengangguk cepat. "Benar sekali. Membantu sesama adalah passionku."
Felicia masih menatapnya curiga, tapi untungnya Gunawan mengalihkan pembicaraan.
"Ngomong-ngomong soal membantu sesama," ujarnya. "Kudengar kalian akan menyumbang cukup besar malam ini?"
Dimas tersenyum lebar. "Tentu saja. Kami percaya berbagi adalah bentuk syukur atas kesuksesan kami."
"Ah, sungguh mulia," Gunawan mengangguk-angguk. "Berapa yang akan kalian sumbangkan, kalau boleh tahu?"
Dimas tersenyum misterius. "Itu akan jadi kejutan nanti. Tapi aku jamin, jumlahnya cukup untuk membuat headline besok."
"Oh, selalu penuh kejutan," Felicia tertawa kecil. "Ngomong-ngomong Adinda, bagaimana kabar ibumu? Kudengar beliau sedang tidak enak badan?"
Rani terkesiap. Ibu Adinda? Ia sama sekali tidak punya informasi tentang ini.
"Eh... beliau..." Rani tergagap.
"Sudah jauh lebih baik," Dimas kembali menyelamatkan situasi. "Berkat perawatan intensif dari dokter terbaik. Iya kan, sayang?"
Rani mengangguk cepat. "Be-benar. Ibu sudah membaik."
"Syukurlah," Felicia tersenyum, tapi matanya masih menyiratkan kecurigaan. "Mungkin kita bisa mengunjunginya bersama minggu depan?"
"Ah, sayangnya minggu depan jadwal kami sangat padat," Dimas menjawab cepat. "Mungkin lain kali?"
"Tentu, tentu," Gunawan menepuk bahu Dimas. "Kalian pasangan muda yang sibuk. Oh! Itu bukannya Menteri Keuangan di sana? Ayo kita sapa dia, Dimas."
Dimas mengangguk. "Tentu. Adinda sayang, kau tidak keberatan kan kalau aku tinggal sebentar?"
"Tidak apa-apa," Rani tersenyum lemah.