NovelToon NovelToon
Desa Hujan

Desa Hujan

Status: tamat
Genre:Horor / Tamat
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: David Purnama

Sudah dua tahun ini Feri tidak pernah pulang ke rumah. Ia tinggal di asrama tempatnya bersekolah. Rencananya ia hanya akan pulang setelah lulus. Tapi di liburan kenaikan kelas kali ini firasatnya berbeda. Hatinya menuntunnya untuk pulang. Ia juga mengajak sahabatnya untuk pulang ke desa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 Selamat Datang

Di halte dekat sekolah Feri dan Iwan menunggu kendaraan yang akan membawa mereka langsung ke kota tujuan. Datang sesuai jadwal tidak perlu menunggu lama bus yang akan mereka tumpangi tiba menghampiri. Jika tidak ada tambahan aral melintang diperlukan waktu selama kurang lebih tujuh jam untuk membawa mereka sampai ke sana. Keduanya yang sudah kerap berpergian jauh tidak khawatir dengan lama waktu perjalanan yang harus ditempuh. Mempunyai hobi yang sama Feri dan Iwan sama-sama sibuk sendiri membaca buku kegemaran mereka masing-masing yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah.

Bus yang mereka tumpangi adalah model lawas yang tentunya sudah bisa dipastikan rawan bermasalah. Sejak mereka berdua naik bus itu sudah ada beberapa penumpang lain yang naik. Belum juga ada setengah perjalanan tunggangan mereka berhenti karena ada masalah pada mesinnya. Para penumpang pun diminta untuk bersabar menunggu bus diperbaiki hingga bisa melaju kembali.

Mereka terhenti di depan sebuah tempat pemakaman umum yang terletak tepat di pinggir jalan. Feri dan Iwan pun turun dari bus sama seperti penumpang yang lainnya untuk sekedar meregangkan tubuh dan mencari udara segar. Rupanya di pemakaman itu sedang diadakan sebuah acara oleh warga setempat. Para warga berdzikir dan membaca kitab suci dengan suara keras sampai terdengar oleh orang-orang yang lewat di sana. Terlihat pemakaman itu juga bersih seperti baru saja dibersihkan.

“Apa ya tidak termasuk berdosa kuburan dibuat tempat beribadah? Kalau di tempatku dilarang hal semacam itu”, tutur Iwan kepada Feri.

“Ya tidak tahu tanya saja Pak Toha guru agama sana kalau besok sudah masuk”, jawab Feri.

“Kalian lihat apa dek?”, tanya salah seorang penumpang kepada mereka.

“Itu pak sepertinya sedang ada acara”, jawab Feri melihat kepada pemakaman yang sedang ramai di hadapan mereka.

“Oya nanti kalau busnya mau berangkat dan aku belum masuk bilang sama pak sopir suruh tunggu aku ya. Aku mau cari tempat buat buang air sudah tidak tahan. Tolong ya dek”, pesan penumpang itu kepada Feri dan Iwan.

“Iya Pak nanti kami sampaikan”, jawab Feri.

“Cuma mau nyuruh saja baru menegur”, protes Iwan.

“Itu namanya minta tolong”, terang Feri.

Mesin akhirnya sudah bisa diperbaiki. Bus sudah siap untuk melanjutkan perjuangannya. Tapi karena menunggu seorang penumpang yang masih belum naik para penumpang yang lain harus kembali bersabar. Cukup lama akhirnya bapak-bapak yang tadi sudah pamit ke Feri dan Iwan kembali ke bus. Ia disambut oleh orang-orang yang sudah memasang muka masam kepadanya.

“Bus nya sudah hidup lagi ya? Ayo pak sopir bisa lanjut”, ucapnya ketika sudah berada di dalam bus tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun. Meminta maaf juga tidak.

Sayangnya belum lama mereka melanjutkan perjalanan laju kendaraan yang mengantar mereka kembali harus berhenti. Kali ini penyebabnya adalah salah satu ban belakang bus mereka kempes. Kembali kesabaran penumpang diuji dengan waktu sampai ban serep berhasil dipasang. Untungnya kali ini mereka berhenti di depan warung yang menjajakan jualannya. Tidak hanya ada satu saja warungnya tapi berderet bisa memilih sesuai selera.

“Ngopi yok”, ajak Iwan.

“Dimana?”, kata Feri.

“Itu di ujung saja yang sepi”, kata Iwan.

Mengganti ban tentu tidak memakan waktu yang lama seperti lamanya membenahi mesin yang tiba-tiba mogok. Permasalahan pada kendaraan tidaklah ditelan mentah sebagai sebuah masalah utama bagi para penunggang setia angkutan umum. Bisa jadi jika mereka memaknainya seperti itu maka hanya akan menambah rasa lelah dan penat belum lagi persoalan hidup yang mereka tanggung sendiri-sendiri. Mogok dan macet mereka terima sebagai satu kesatuan paket pelengkap perjalanan yang bisa terjadi kapan dan dimana saja walaupun sebenarnya tidak satu pun orang yang menginginkannya.

“Ayo Wan ke bus yang lainnya sudah pada naik”, ajak Feri.

“Kalian habis darimana?”, tanya kondektur kepada mereka yang menjadi penumpang yang terakhir kembali ke bus.

“Habis ngopi di warung ujung sana Pak”, terang Iwan yang membuat kondektur bingung karena tidak mendapati warung yang dimaksud sejauh mata memandang.

“Eh Fer, kenapa tadi kau tidak jadi ngopi?”, tanya Iwan.

“Aku tidak suka kopi sachet”, alasan Feri.

Tujuh jam yang diperhitungkan molor menjadi hampir sepuluh jam waktu yang ditempuh oleh Feri dan Iwan untuk bisa sampai di kecamatan tempat desa Feri berada. Bus itu akhirnya berhasil finis setelah melalui berbagai macam rintangan yang tak lain ialah macet dan turun mesin. Sesampainya di kota tujuan Feri dan Iwan harus segera melanjutkan perjalanan dengan naik ojek untuk sampai di desa rumah Feri. Sudah hampir magrib tidak ada angkutan umum yang melaju ke arah sana.

“Ojek dua Pak”, pesan Feri di pangkalan tukang ojek.

“Kemana dek?”, tanya tukang ojek.

“Ke pasar kliwon Pak”, jawab Feri memberikan arah tujuan yang disambut dingin oleh para tukang ojek.

“Ya sudah ayo lekas berangkat keburu gelap”, kata si tukang ojek menyanggupi.

“Di sini sudah mulai hujan belum ya Pak?”, tanya Feri saat dibonceng.

“Belum. Tapi sudah beberapa hari ini kalau sore mendung terus”, jawab si tukang ojek dingin.

Dengan kecepatan tinggi dua ojek yang melaju tanpa hambatan dari kecamatan menuju ke pasar kliwon tujuan pemberhentian Feri dan Iwan berikutnya berhasil di tempuh dalam waktu kurang dari satu jam berkendara. Tiba di pasar kliwon Iwan yang baru pertama kali melihatnya langsung dibuat penasaran dengan keadaan tempat tersebut yang begitu sunyi.

“Sepi banget ya Fer?”, kata Iwan

“Sudah gelap. Itu pasarnya. Kalau yang di seberang jalan rumah warga”, Feri menjadi pemandu untuk kawannya.

“Listrik belum masuk semua jadi pasarnya gelap. Rumah penduduk juga paling beberapa saja yang baru pasang listrik”, tambah Feri.

Setelah sampai di pasar kliwon mereka terlebih dahulu berhenti di mushola untuk istirahat dan menunaikan sembahyang. Hari yang sudah menjelang malam mereka sama sekali tidak menjumpai satu orang pun. Langit yang cukup terang di malam itu membuat Feri berani mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya yang sudah tidak jauh lagi.

“Ayo Wan kita jalan”, ajak Feri.

“Kita mau kemana Fer? Loh… Bukan yang di seberang jalan itu desamu?”, Iwan bingung.

“Bukan. Lewat sini”, Feri berjalan terlebih dahulu.

Rumah warga di seberang pasar kliwon bukanlah pemukiman tempat tinggal Feri berada. Sebuah jalan persimpangan yang kini dilalui Feri dan Iwan lah yang akan mengarahkan mereka untuk sampai di desa Feri tinggal. Kondisi jalan yang masih sempit dan terjal serta tidak adanya penerangan di sepanjang jalan membuat tidak adanya transportasi menuju ke sana kecuali dengan berjalan kaki. Ojek pun juga enggan untuk lewat sana dan mengantar penumpang ke desa yang menjadi satu-satunya tujuan jalan itu dibuat apalagi suasananya yang selalu terkesan mencekam. Dengan berjalan cepat seperti layaknya penduduk desa tiga puluh menit cukup untuk mereka sampai di rumah. Tapi tidak tahu dengan Iwan apakah ia terbiasa berjalan jauh terlebih setelah lelah dirasanya melalui perjalanan panjang yang masih harus berlanjut ini.

Sepanjang perjalanan Feri dan Iwan sama-sama banyak diam. Jalan yang menanjak benar-benar menguji ketahan Iwan. Feri pun harus melambatkan langkahnya untuk menunggu temannya itu supaya jangan sampai kesasar.

“Masih lama sampainya Fer?”, keluh Iwan.

“Sedikit lagi”, kata Feri.

“Dari tadi sedikit lagi… sedikit lagi..”, balas Iwan.

“Seharusnya kita tidur dulu di mushola tadi. Atau numpang nginep sekalian di rumah warga”, keluh Iwan lagi.

Rasa bahagia menyambut anak kampung yang sudah dua tahun tidak pernah pulang. Feri meringis dengan mata yang berkaca-kaca tipis sesampainya di tempat dimana ia bisa memandangi desa yang sudah lama ditinggalkannya. Dari jalan yang berada di ketinggian itu ia bisa melihat rumah-rumah warga yang masih tetap sama seperti dulu sebelum ia pergi. Ia juga bisa melihat rumahnya sendiri dimana terdapat orang-orang terkasihnya yang selalu menantikan kepulangannya. Sementara itu Iwan masih tertinggal beberapa langkah lagi untuk menyusul Feri.

“Wow… aku takjub Fer. Indah sekali ya desamu”,

Iwan yang akhirnya bisa meilhatnya sendiri merasa terbayar lunas perjalanannya untuk ikut pulang ke rumah Feri.

“Itu ada lekukan besar apa Fer?”, tanya Iwan.

“Itu namanya embung buat nampung air”, jawab Feri.

“Gerimis Wan. Ayo kita jalan cepat ya”, ajak Feri.

Hanya tinggal jalanan yang menurun yang harus mereka lalui untuk sampai ke desa yang sudah mereka lihat. Feri menuruni jalanan yang sudah dihafalnya dengan cepat sedangkan Iwan tanpa kesulitan juga bisa mengimbangi langkah kawannya itu. Feri ingin bergegas sampai di rumah setelah gerimis menandai wajahnya.

“Fer… Fer… senter ku ketinggalan di atas”, kata Iwan.

“Sudah jauh. Besok kita ambi lagi tidak akan ilang. Sebentar lagi sampai”, kata Feri.

Lari-lari kecil mempercepat mereka untuk sampai di rumah Feri. Perjalanan dalam waktu satu malam yang berakhir indah. Sebuah rumah sederhana sama seperti rumah-rumah yang lainnya. Sebuah rumah yang dikelilingi oleh petak-petak kecil bertanam pohon-pohon disekitarnya sebelum menjumpai rumah lain yang juga serupa.

“Tok.. tok.. tok..”,

Feri mengetuk pintu rumahnya sendiri sebanyak tiga kali. Kemudian ia ulangi lagi ritme itu. Tiga kali ketukan berhenti tiga kali ketukan berhenti berharap ada yang segera membukakan pintu untuknya di malam yang sudah larut itu.

“Ini rumahku Wan”, kata Feri pelan melihat wajah kawannya itu yang berpeluh keringat dan kaku menahan rasa takut.

Ketukan berirama tanpa suara pelakunya itu akhirnya berbalas dengan dibukanya pintu rumah oleh sang empunya.

“Feri”, ayah Feri yang membukakan pintu.

“Ayo cepat masuk”, kembali pintu dikunci.

“Hujan?”, tanya ayah Feri.

“Gerimis”, jawab Feri.

1
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
makin penasaran
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
gurauan nya kurang bisa gw pahami
Kustri
ini beneran 26 part?
pendek BGT...
coba lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!