Pagi itu memiliki embun yang menetes tanpa harus diminta. Kebahagiaan itu memiliki arti ketulusan tanpa di rencanakan. Sama halnya hati yang memiliki cinta tanpa harus diminta meskipun terkadang menyakitkan.
Menerima perjodohan dari keluarganya untuk menikah dengan gus Hilal, yang memang laki-laki pertama dalam hidupnya, membuat Khalifa merasa bahagia.
Walaupun gus Hilal seorang duda, akan tetapi bagi Khalifa yang memang mencintai karena Allah, ia bersedia dan yakin akan sanggup menerima semua konsekuensi nya.
Namun pada malam pernikahan mereka, suaminya mengatakan dia hanya menganggapnya sebagai adik perempuan...
Khalifa mengerti bahwa Hilal masih belum melupakan mantan istrinya yang telah meninggal, mencoba untuk paham, akan tetapi masalah selalu datang silih berganti.
Bagaimana Khalifa melewati pernikahannya dengan ditemani seorang suami yang masih belum bisa melepaskan masa lalunya?
Sanggupkah Khalifa dengan tekat awalnya untuk tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy_Ar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
...~Happy Reading~...
Oeeekkkkk
Oeeekkkk
Oeeekkk
Suara tangisan bayi yang begitu melengking berhasil menghiasi suasana duka di dalam Pondok pesantren Al- Baitul Jannah. Sejak kedatangan nya bersama mobil ambulance yang membawa jasad sang ibu, anak bayi itu terus menangis dengan begitu kencang tanpa henti, hingga membuat beberapa orang yang menjaga nya sedikit kewalahan.
Seperti yang di ketahui, sejak lahir baby Arumi Nasha sangat jarang menangis. Bahkan hanya sebentar dan begitu lirih, akan tetapi di saat saat terakhir sang ibu menghembuskan nafas terakhir nya, saat itu juga tangisan bayi itu langsung pecah. Hingga membuat beberapa perawat dan juga dokter sedikit terkejut.
Memang sebenarnya, hari ini sudah di prediksikan oleh dokter bahwa baby Arumi sudah di perbolehkan pulang karena kondisi nya yang sudah semakin membaik setelah di rawat di dalam inkubator kurang lebih hampir dua bulan lamanya.
Akan tetapi, di saat keadaan bayi itu sudah baik baik saja dan siap untuk menghirup dunia luar. Saat itu juga Tuhan begitu tega untuk mengambil nyawa sang ibu, yang membuat bayi itu seolah mengerti dan menangisi kepergian ibu nya.
“Biarkan sama Ummi dulu,” Umi Nila meminta cucu nya yang akan ia gendong, akan tetapi segera di tolak halus oleh sang empu nya, “Nak, kamu temani Kirana. Biar Nasha sama Ummi,”
“Iya bener Hilal. Biarkan anak kamu di jaga oleh Ummi,” saut Mila yang tak lain adalah kakak ipar dari Hilal.
“Percayalah Hilal, apa yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Insyaallah, Tuhan sudah merencanakan skenario yang jauh lebih baik dari yang sedang kamu alami saat ini. Kuat, Mas yakin kamu kuat!” sambung Arman sambil menepuk bahu adik bungsu nya.
Laki laki yang masih menggendong seorang bayi yang tengah menangis meronta itu hanya bisa terdiam dengan rasa sesak yang begitu menjalar dalam benak nya. Rasanya memang sangat lah sesak, hingga membuat nya sangat sulit untuk bernafas lega.
Satu tahun lebih dirinya berjuang, berusaha membantu mengeluarkan sang istri dari jurang rasa trauma nya. Ia tidak pernah pantang menyerah dan selalu yakin, bahwa kelak akan ada pelangi indah yang menghiasi rumah tangga nya. Hari dimana sang istri bisa di nyatakan sembuh dan bebas dari rasa trauma yang selama ini menyakiti nya dan membuat nya terpuruk.
Tapi ...
Mengapa harapan tak pernah sesuai dengan kenyataan. Setelah Tuhan memberikan rasa yang begitu tulus untuk ia berikan kepada Kirana, kini justru Tuhan dengan begitu tega mengambil sang istri darinya. Bahkan, setelah ia di berikan kepercayaan untuk menjadi seorang ayah.
Lantas, sekarang bagaimana dirinya akan menjadi orang tua, dikala sang istri sudah tidak ada. Mengapa Tuhan begitu tega padanya, membiarkan nya seorang diri setelah apa yang ia berikan selama ini.
Niat tulusnya, kini terganti rasa bersalah dan penyesalan yang begitu dalam. Meskipun laki laki itu tidak menangis, tapi keluarga nya tahu bahwa hati Hilal pasti sangat sakit dan hancur.
Terlihat bagaimana wajah nya yang biasanya terlihat teduh dan lembut, kini sangat merah dan dingin bahkan terkesan sangat datar dengan mata yang berkaca kaca menahan tangisan.
“Tapi tdiak secepat ini Mas!” Dan pada akhirnya ia membuka suara setelah terdiam cukup lama, “Bagaimana nasib anak kami? Bagaimana dengan Arumi? Dia masih sangat kecil, tapi ibunya—“
“Istighfar Hilal. Jangan seperti itu! Semua yang kita miliki itu hanyalah sebuah titipan, yang mana sewaktu waktu, kapan saja akan di ambil oleh Sang Pemilik yang sesungguh nya. Astagfirullah al adzim, ikhlas Nak, kamu harus bisa mengikhlaskan Kirana, agar dia juga bisa tenang di sana.” Ucap abah Abdul panjang lebar sambil menepuk bahu anak bungsu nya.
...~To be continue.......