Menyukai seseorang adalah hal yang pribadi. Zea yang berumur 18 jatuh cinta pada Saga, seorang tentara yang tampan.
Terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya, Zea adalah gadis yang paling berani dalam mengejar cinta, dia berharap usahanya dibalas.
Namun urusan cinta bukanlah bisa diputuskan personal. Saat Zea menyadari dia tidak dapat meluluhkan hati Saga, dia sudah bersiap untuk mengakhiri perasaan yang tak terbalaskan ini, namun Saga baru menyadari dirinya sudah lama jatuh cinta pada Zea.
Apakah sekarang terlambat untuk mengatakan "iya" ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANUVER CINTA~PART 2
Potret Sagara dari waktu ke waktu selalu dibingkai indah dalam potret yang Fara pajang di rumah.
"Abang Saga, keren! Kira-kira beli pesawat tempur gitu berapa ya bang?" matanya memantau sang putra dari kejauhan, tentu saja dengan rasa bangga.
Dibalik balutan baju kebesarannya ada jiwa seorang ayah dua orang putra yang melirik aneh pada istrinya.
"Buat apa tanya-tanya?" Al Fath membuka kancingnya satu persatu, ia baru saja selesai melakukan upacara kemerdekaan negri di resimen pusat timur. Sementara Fara langsung menyalakan televisi demi menonton aksi gagah sang putra, ia tak mau melewatkan satu detik pun dimana Saga mengucapkan dirgahayu di ketinggian beberapa ribu kaki meskipun hanya beberapa detik saja.
Rasa rindu yang membuncah bikin emak gila! Ternyata begini rasanya jadi umi Salwa dulu saat ditinggal para putranya bertugas, lebih sakit dari ditinggal kekasih.
"Mau beli! Biar kalo ke pasar ngga macet pake begituan," jawabnya ngasal.
Kintan melipat bibirnya, ia sudah tak aneh dengan ocehan absurd atasannya itu.
Tangan Fara mengambil ponsel miliknya untuk menghubungi Sagara di ibukota, "ngga adil lah bang! Kita mah kaya dibuang gini ih! Dek Ra sama Dewa di ibukota, Eyi sama Ray di ibukota juga, sekarang anak kita juga ikut-ikutan!" omelnya berdecak melihat ponselnya memicing, ponsel kita end! Saga tak mengangkat panggilan emaknya. Ya jelas lah, wong dia sedang nyetirin pesawat mana boleh bawa gadget.
"Rick, Kalingga belum pulang?" tanya Fath menanyakan putra keduanya Teuku Kalingga Ishwar.
"Siap, belum ndan! Apa perlu saya telfon Sertu Irawan?" tanya Frederick dari depan teras.
"Ngga usah, biar saja." geleng Al Fath.
"Paling Lingga lagi urus perlombaan di sekolahnya, bang. Biar aja, dia kan ketos!" Fara berlalu masuk kamar untuk mengganti pakaiannya.
"Abang mau bikin kopi sekarang?" teriak Fara kaya mon yet di hutan.
"Boleh," jawabnya mencari tempat duduk di samping Frederick.
"Kamu, kalo mau duluan ke lapang batalyon, duluan saja Rick. Biar nanti saya dan ibu menyusul." Ucap Al Fath, kepingin ngaso dulu sebelum melanjutkan acara di batalyon.
"Abang! Udah abang ih! Capek! Cle bukan serdadu!" teriak Clemira mengelap lelehan keringat yang seperti mandi. Disaat para penghuni resimen markas besar melaksanakan beberapa perlombaan di lapangan utama, perwira muda ini malah mengurus kedua gadis absurd ini di puslatpur.
Lain hal dengan Clemira yang sudah ngos-ngosan, nafasnya saja sudah sabtu-minggu nunggu ditimpuk dikit tinggal manggil ambulan bawa keranda, Zea justru lebih bersemangat, tak tau jiwa nasionalismenya yang tinggi atau memang gadis ini setengah ngga waras, "abang ganteng! Lamain lah hukumnya!" ia berlari kecil nan pelan biar bisa mandangin si ganteng kalem Sagara, ia bahkan berlari berbalik saat posisi Saga di belakangnya, tak mau melewatkan sedetik pun memandang Saga biar wajah gantengnya ngga mubadzir dianggurin.
Clemira sudah ngos-ngosan.
Grep!
Ia menarik belakang baju Zea, "buruan peak! Ngga usah rayu-rayu abangnya Cle?! Dia mah kebal sama cewek modelan amplop kaya lo! Ya tipis, ya nempel-nempel bikin lengket lagi," Clemira menarik Zea.
"Cle argghhh! Diem ih, jangan cepet-cepet! Gue mah rela dihukum lama-lama, biar bisa mandangin abang lo. Lo gitu ya! Punya abang ganteng ngga bilang-bilang!" desisnya sambil berlari memutari lapangan, bersampingan dengan Clemira.
"Cle udah bilang dulu sama lo, kalo Cle punya abang sepupu tentara ganteng, tapi lo'nya ngga percaya, katanya musrik percaya sama Cle!" dengus Clemira. Ngga di rumah ngga di sini, bawaannya dihukum terus! Apakah wajahnya wajah pendosa?! Clemira mencebik.
Kedua gadis ini sudah bermandikan keringat, lalu Clemira dan Zea duduk di bangku besi pinggiran lapang.
Saga memberikan dua botol air mineral tak dingin, membuat Clemira menatap sengit, "air putih biasa, ngga ada yang dingin apa?!" sungutnya, padahal Zea sudah meneguknya hingga setengah kosong tanpa ba bi bu, "kenapa ngga minta sirop cocopandannya sekalian Cle?"
"Kalo gini caranya, gue mau daftar akmil lah! Yuk Cle daftar!" ocehnya. Clemira mendorong kepala Zea sambil menyemburkan tawanya, "sakit lo?! Ogah! Tentara bikin kulit item, mau lo kulit lo kebakar kaya kena azab?!" sengit Clemira.
"Lo yang sakit, mana ada kaya kulit kena azab, nah itu tante Eyi bisa suka sama om Rayyan, kalo tentara jelek semua berarti lo ngga akan tercipta sistah! Nah ini abang ganteng?! Bukan kebakar tapi eksotis!" Zea memanjangkan lengan mulus nan putihnya ke depan.
Kedua gadis ini malah berdebat tentang kulit prajurit langsung di depan para prajurit enteng tanpa beban, atau takut mereka menodongkan senjatanya ke arah kepala keduanya, bawahan Saga sudah tertawa tertahan padahal Saga diam kaya patung pancoran. Daripada gibahin di belakang, lebih baik gibahin di depan orangnya langsung, right?! Biar ngga timbul fitnah keji.
Saga maju lalu menjedotkan kepala kedua gadis di depannya yang cukup berisik ini, "pulang! Berisik, pusing abang dengernya!"
"Abang ngga niat anterin kita gitu?" tanya Zea tersenyum simpul.
"Saya sibuk. Ada acara, pulang sana! Jangan pernah sekali-kali lagi kaya begini, kali ini abang toleransi, kalo besok-besok abang bakal nyerahin kalian langsung ke komandan!"
"Ck, iya ah!" Clemira mendengus dan beranjak.
"Yahhh kok pulang?! Pulang ke mess abang boleh engga?!"
"Ga!" panggil seseorang menyusul.
"Ndan, maaf...saya telat. Ada masalah sedikit,"
"Ngga papa!" ia terkekeh melihat kedua gadis ini, "yang putrinya Letnan kolonel Rayyan mana?"
Clemira menunjuk dirinya, "saya pak. Eh om,"
Ia terkekeh, "salam buat Letnan kolonel Rayyan, dari mayor Anka."
Clemira mengangguk, "ini?!" tunjuknya pada Zea. Ia mengernyit tak asing, "perasaan pernah ketemu?"
Zea hanya memalingkan wajahnya mencoba untuk menyembunyikan keseluruhan wajahnya.
"Ini putri bungsu dari pak Rewarang----" Zea membekap mulut Clemira.
"Saya cuma anak biasa om, bukan siapa-siapa yang mesti dikenal, mungkin muka saya pasaran. Anak tukang jualan es selendang mayang," akuinya berbohong. Clemira menatap tak percaya jika Zea menyamakan ayahnya yang seorang menteri dengan tukang es, "kualat lu," gumamnya.
"Kalo gitu Cle pamit bang," ia menarik Zea dari sana untuk pulang. Zea melihat sekilas ke arah kapten Ankara dengan wajah gugup lalu kemudian menatap Sagara dengan senyuman saat Saga pun menatap wajah cantik Zea.
Zea meniti anak tangga rumah besarnya yang bak istana itu dengan wajah lusuh dan malas, tas yang ia gendong saja sudah ia lempar begitu saja ke atas sofa.
Ia selalu menyembunyikan identitas sang ayah dari teman-teman atau sekitarnya, menurut Zea jadi anak menteri itu terkadang bikin risih, orang-orang tuh ngga tulus temenan sama dia, bahkan untuk sebagian orang dengan kadar akhlak yang kurang, sering memanfaatkan Zea untuk kepentingan politik dan bisnis pribadi.
"Ze, udah pulang nak?!" teriak mama Rieke.
"Orangnya masih di luar! Ini yang pulang khodamnya!" jawab Zea dari lantai atas, mama Rieke tertawa, "suka ngaco ah! Makan dulu! Nanti asam lambung kamu naik lagi,"
"Mama tumben udah pulang? Kirain masih foto-foto sambil haha-hihi bareng menteri lain atau ibu negara?"
"Udah kok, kamunya aja yang lama. Kemana dulu sih?!"
Zea sudah mengganti pakaiannya dan turun, "liatin cowok ganteng!" ia duduk di ruang tengah dan menyalakan televisi, "papa mana?"
"Papa langsung ke kantor, katanya sih kementrian ngadain lomba atau apa ya lupa,"
Zea mengangguk setuju mengambil toples ciki balado, "Ze, sayangggg..." panggilnya lembut.
"Ya ma?"
Plukk!
Mama Rieke menjatuhkan begitu saja tas ke pangkuan putri bungsunya, "tas kamu taro! Atau mama buang?!" pelototnya geram pada sang putri, Zea malah tertawa dibuatnya.
"Kebiasaan deh ah! Kalo naro tuh jangan berantakan gini kenapa sih, udah berapa kali mama bilang kalo naro barang-barang tuh pada tempatnya, mama ngga suka ah liat berantakan!"
Dan yap! Meledaklah omelan mama Rieke yang begitu panjang kaya cacing pita, putri bungsunya itu memang selalu mancing-mancing kemarahan emak.
.
.
.
.
.