~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Utama
Menyadari perbuatan suaminya yang begitu kejam tak menginginkan dirinya, Jingga perlahan mundur dan menuju kamar mandi menumpahkan segala kekesalan dan kesakitan yang ada.
“Aku tidak tahu apa-apa, tapi kenapa aku harus terjebak dalam pernikahan semacam ini”, tangisnya tersedu-sedu di bawah guyuran air yang membasahi tubuhnya.
“Hentikan tangismu wanita bodoh, kamu sungguh sangat berisik dan menggangguku”. Teriak Fajar dari atas ranjangnya yang sudah bersiap untuk tidur.
Sedang Jingga mendekap mulutnya dengan tangannya sendiri untuk menutupi suara tangisan nya.
***
Pagi harinya keluarga dari pihak Fajar masih berkumpul bersama untuk sarapan di Resto hotel tersebut. Setelah sarapan mereka semua akan kembali ke mansion utama, Fajar dan Jingga juga akan turut serta tinggal di sana nantinya, maklum Fajar adalah anak tunggal dalam keluarga tersebut.
Jingga memberanikan diri untuk menyusul suaminya yang sudah lebih dulu turun ke bawah dan turut bergabung untuk sarapan bersama di resto itu.
Hening tak ada suara yang terlontar sepanjang makan siang, semua fokus pada hidangan yang ada di depan masing-masing. Jingga juga tampak sangat canggung dengan hal ini, maklum sebelumnya dia adalah pelayan yang setiap hari harus menyajikan makanan namun kini dia bisa merasakan makan satu meja dengan sahabat majikannya.
“Bagiamana tidurmu nak?”, tanya pak Angga pada Jingga di tengah-tengah dentingan sendok dan piring yang sedang beradu.
“Huk..huk...”, Jingga tersedak mendengar pertanyaan mertuanya.
“Maaf-maaf, tak seharusnya saya bertanya seperti itu”.
Sedang Fajar lekas menghentikan aktifitas mengunyahnya dan meletakkan sendok serta garpunya. Tatapannya begitu dingin dan mencekam.
“Bersiaplah nak Jingga setelah ini ikut dengan kami untuk pulang”, titah Pak Angga yang kembali terucap.
Jingga hanya mengagungkan kepalanya saja menuruti setiap perintah yang di berikan padanya.
***
Pukul sembilan pagi keluarga Fajar bersiap untuk kembali ke mansion utama pak Angga yang letaknya lumayan jauh dari hotel mereka menginap saat ini.
Tak ada persiapan khusus yang di lakukan Jingga, bahkan ia hanya membawa beberapa potong baju saja yang ia kemas dalam tas ransel miliknya. Bukan tanpa alasan karena memang Jingga juga tak banyak memiliki baju sebelumnya.
Dua jam perjalanan di dalam mobil yang terpisah dengan mertua dan suaminya, akhirnya Jingga terhenti di sebuah rumah mewah dengan halaman yang sangat luas sekali. Jingga menahan diri agar tak terlihat kampungan melihat kemewahan ini. Sebenarnya rumah Pak Hermawan majikannya juga mewah namun rumah Pak Angga jauh lebih mewah berkali-kali lipat.
“Silahkan Nona”, seseorang membukakan pintu mobil untuknya.
Beberapa asisten rumah tangga berseragam putih dan hitam mulai menyambut kedatangan Pak Angga dan Bu Nadin.
Kali ini Jingga tak dapat menahan rasa kagumnya melihat kemewahan yang ada di depan matanya.
Matanya membulat dengan mulut yang menganga.
“Jadi seperti ini rumah rang kaya”,ucapnya dalam hati, dengan mata yang memindai setiap sudut rumah tersebut.
“Biasah saja lihatnya, ini baru bagian luarnya”, suara Bu Nadin, ibu mertuanya membuyarkan lamunan Jingga.
Ia hanya tersenyum kikuk mendengar perkataan mertuanya.
“Pergilah istirahat nak Jingga, kamu pasti lelah sekali”. Lagi-lagi Pak Angga memberikan titah yang tak dapat ia bantah.
Sementara bu Nadin pergi melangkah begitu saja meninggalkan mereka, sepertinya bu Nadin sama seperti Fajar suaminya yang tak menginginkan kehadirannya di rumah ini.
“Pelayan antar Jingga ke kamarnya”.
“Baik tuan”, dengan sigap salah satu pelayan yang kebetulan bernama Susi mengantarkan Jingga ke kamarnya untuk beristirahat.
Ceklek
Pintu terbuka
Kamar dengan ukuran sangat luas sekali dan bagus, melebihi kamar tempat ia menginap semalam.
Lagi-lagi Jingga di buat takjub dengan pemandangan yang ada, interior dan desain kamar itu sungguh sangat sempurna, perpaduan warna putih dan biru muda mendominasi kamar itu.
Kamar yang di desain khusus untuk seorang pria, begitu rapi dan wangi di setiap sudut sisi kamar. Tak ada kotoran ataupun sebutir debu yang bersarang di sana.
“Silahkan istirahat nona”, pamit Susi yang meninggalkan Jingga di kamar tersebut.
Perlahan Jingga mulai memasuk ke dalam kamar itu, mencoba mengenal lebih dekat kamar tersebut. Matanya mengamati satu persatu hiasan yang terpajang di dinding kamar itu.
Ranjangnya begitu besar dengan tema modern, meja rias yang cukup besar dengan segala peralatan cowok di sana. Kamar mandinya sangat luas sekali, ada beberapa hiasan miniatur mobil-mobil kecil yang berjajar rapi di sudut ruangan.
Di samping ranjang ada satu set tempat duduk empuk, tak lupa karpet mini yang ada di bagian bawahnya. TV LCD berukuran cukup besar tepat berada di depan ranjang. Kamar di lengkapi dengan AC dan penghangat ruangan yang dapat di sesuaikan dengan kondisi yang ada.
Spot yang paling membuat Jingga tertarik dalam kamar ini adalah balkon yang bisa melihat pemandangan taman bawah di luar sana.
Jingga kembali menyusuri kamar Fajar.
Senyumnya kecut.
Kala melihat foto yang terpanjang dalam ukuran besar sekali di ada di sudut kamar tersebut.
“Foto itu?, pasti dia wanita pujaan hati tuan Fajar”, ucapnya dalam hati dengan tersenyum getir.
***
Apartemen Maura.
Sementara itu di apartemen mewah yang berada lumayan jauh dari rumah utama pak Angga, Fajar sedang bermesraan dengan kekasihnya Maura.
Ya Maura adalah seorang model terkenal, yang kini kebetulan sedang menjalin kasih dengan Fajar sejak tiga tahun yang lalu. Keduanya saling mencintai satu sama lain hanya saja restu dari orang tua Fajar tak kunjung ia dapat.
Papa Fajar dengan jelas-jelas menentang hubungan mereka berdua dan mengancam akan mencoret Fajar dari daftar penerima hak waris jika masih saja berhubungan dengan Maura. Sementara sang Mama juga sama tak merestui hubungan Fajar dengan Maura namun juga tak rela jika anaknya menikah dengan Jingga seorang upik abu.
“Honey jadi bagaimana dengan hubungan kita?”, tanya Maura dengan bergelayutan manja di pangkuan Fajar siang itu.
“Tenanglah honey, di hatiku hanya ada satu nama, aku hanya milikmu seorang”. Jawab Fajar menyakinkan kekasihnya.
“Aku mana percaya sama kamu honey, jika kalian setiap hari tinggal satu atap bukan tidak mungkin cinta di antara kalian akan tumbuh dengan mudahnya”.
Kini Maura sedikit merenggangkan pelukannya pada tubuh Fajar dan mulai melepaskan untuk pergi menjauh memandang kota dari balik kaca besar apartemen.
“Tidak honey, tidak akan pernah terjadi di antara kita, akan aku pastikan dia menderita dan lekas memohon cerai dariku”.
“Aku akan lekas menceraikannya dia, kala mendapat restu dari Papa untuk menikahimu”, kini Fajar mulai melingkarkan tangannya di perut ramping kekasihnya.
“Tapi bagaimana caranya?”.
“Bersabarlah dengan keadaan yang ada saat ini honey”. ajar kembali mencium kekasihnya.
“Berjanjilah satu hal padaku untuk tidak pernah menyentuhnya”. Mata Maura berkaca-kaca menatap lekat wajah Fajar kekasihnya.
Sedang Fajar hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Demi kamu aku berjanji”, keduanya kembali berpelukan.