Aku hidup kembali dengan kemampuan tangan Dewa. Kemampuan yang bisa mewujudkan segala hal yang ada di dalam kepalaku.
Bukan hanya itu, banyak hal yang terjadi kepadaku di dunia lain yang penuh dengan fantasi itu.
Hingga akhirnya aku memiliki banyak wanita, dan menjadi Raja Harem yang membuat semua pria di dunia ini merasa iri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karma-Kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berangkat ke Ibu kota
Setelah melakukan adegan malam menyenangkan dengan Catrine serta Helena, perjalananku pun terus berlanjut, kini aku sudah sampai di depan gerbang kota Rain.
Sama seperti namanya, kota ini terlihat sangat gelap karena sekumpulan awan yang berkumpul di atasnya.
Meski sekarang waktu masih sore, tapi aku merasa sudah masuk malam saat pertama kali tiba di kota ini.
“Tolong tunjukan identitas kalian,” ucap seorang penjaga kepada Leon yang bisa kudengar dari dalam kereta kuda.
“Silakan dilihat, kami dari keluarga Argus di kota Lunar,” balas Leon sembari menyerahkan selembar kertas.
Aku diam-diam mengintip ke luar lewat lubang kecil yang biasa aku gunakan untuk berkomunikasi. Tampak penjaga itu memiliki sosok sangat menyeramkan dengan tubuh sangat besar bagai seekor beruang.
Ada juga kapak yang berukuran lebih besar dari tubuhnya yang tersemat dengan mantap di punggung penjaga kota itu.
“Oke, tanda pengenal kalian bisa kami terima. Silakan masuk ke kota Rain,” ucap penjaga usai memastikan keaslian dari selembar kertas itu.
“Terima kasih, kami senang sekali atas sambutanmu,” balas Leon memasukan kembali kertas itu ke dalam tasnya.
“Omong-omong, kalian harus tetap tinggal di dalam kamar hotel setelah malam datang. Jangan sampai kalian berani keluyuran, apa lagi keluyuran sendirian,” ucap penjaga mengingatkan.
“Ada apa memangnya? Kenapa kalian tampak cemas seperti itu?” tanya Leon, wajahnya tampak penasaran.
Penjaga itu mendekatkan kepalanya di samping telingan Leon, lalu membisikan sesuatu yang tak bisa aku dengar.
“HANTU?!!” pekik Leon spontan.
“Sssst, kau jangan bicara terlalu keras. Aku khawatir hantu itu akan mendatangi kalian,” tegur penjaga.
“O-Oke, aku mengerti. Terima kasih sudah mengingatkan,” balas Leon, buru-buru memacu kereta kuda menuju tempat penginapan.
“Masa sih ada hantu di dunia ini? Rasanya sungguh aneh sekali,” gumamku setelah kereta kuda melaju kembali.
“Hantu gimana maksudmu, Brian? Apakah itu mahluk berbahaya?” tanya Catrine di sampingku.
“Aku juga nggak paham, seharusnya hantu itu sejenis arwah penasaran yang senang menjahili manusia,” jelasku sekenanya.
“Hmm, mungkinkah itu berupa monster tengkorak atau mayat hidup? Kalau memang benar, kita tak usah takut karena aku sudah sering melihatnya di hutan gunung gelap,” ujar Helena.
“HAH? Memangnya ada mahluk-mahluk menyeramkan semacam itu di tempat asalmu?” tanya Catrine.
“Ada kok, ada banyak malahan. Dan mereka sangat senang ketika menjahili manusia,” jelas Helena.
“Terug gimana cara kamu menangani mereka? Orang-orang dari suku Gwayan tak mungkin membiarkan begitu saja, kan?” tanyaku.
“Kami biasanya suka melakukan ritual setiap seminggu sekali untuk mengusir mahluk-mahluk itu, dan kami harus menyembelih seekor kambing hitam agar darahnya bisa digunakan untuk membuat sihir perlindungan,” jawab Helena usai berpikir sejenak.
“Gawat dong kalau begitu, kita tak punya darah kambing hitam di sini,” ujar Catrine, lengannya spontan melingkar di lengan kananku.
“Tenanglah, lagian apa yang harus ditakutkan dari monster tengkorak atau mayat hidup? Aku bisa membunuh mereka kalau berani mendatangiku,” ucapku meyakinkan Catrine.
“Tapi ....”
“Tak usah pakai tapi-tapi, Catrine. Kita cukup percayakan saja semuanya kepada suami kita tersayang,” sela Helena sembari menyenderkan kepalanya di pundakku.
Aku tidak banyak protes akan sebutan Helena barusan, sebab aku sudah terlalu sering mendengarnya sehingga sudah terbiasa.
Bagaimanapun, Catrine dan Helena sudah pasti akan menjadi istriku di masa depan. Makanya aku tak keberatan dengan setiap perbuatan mereka dan bisa menerimanya dengan hati yang tulus.
Selain itu, Catrine dan Helena sudah terlalu sering bersetubuh denganku baru-batu ini. Sejujurnya aku khawatir ada yang sudah hamil dari salah satu wanitaku itu sekarang.
Dap! Dap! Dap!
Suara langkah kuda melambat perlahan, Leon sepertinya sudah membawa kami ke depan penginapan.
“Ayo kita turun,” ucapku mengajak Catrine dan Helena.
Aku segera membuka pintu kereta kuda, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu kedua wanitaku.
Wusssh!!!
Angin sangat kencang tiba-tiba menerpa tubuhku saat masih berdiri di tempat yang sama. Aku rasakan hawa dingin menjalan ke dalam tubuhku dalam sekejap.
Clak! Clak! Clak!
Air hujan turun perlahan dari awan gelap itu, membuatku harus bergegas membawa Catrine dan Helena ke dalam penginapan.
“Selamat datang, Tuan, Nona. Mau pesan berapa kamar?” Sapa seorang pelayan wanita begitu kami masuk ke dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar. Dia mungkin resepsionis di sini atau pemilik penginapan.
“Satu kamar saja, tapi aku ingin pakai ranjang besar,” jawabku sembari mengeluarkan satu koin emas dari dalam kantong.
“Ini seharusnya sudah lebih dari cukup, kan? Jadi, tolong segera siapkan kamarku serta makanan untuk kami santap nanti,” lanjutku memberikan koin emas itu.
“T-Tuan … Ini … Terlalu banyak. Anda cukup bayar beberapa perak saja,” balas wanita itu gugup sendiri.
“Tak apa, anggap saja itu sebagai bonus karena kamu bersedia menyambut kami di sini. Sejujurnya aku agak kesulitan mencari tempat menginap di kota ini,” jelasku, mengedipkan mata pada pelayan itu.
“Saya mengerti, silakan Tuan dan Nona tunggu di kursi sebentar, sementara saya akan menyiapkan kamar,” ucapnya seraya membawa kami ke ruang tunggu.
Catrine dan Helena langsung duduk di kursi itu, sedangkan aku bergegas mengekori pelayan wanita hingga tempat agak sepi.
“Tolong berikan informasi yang kamu ketahui tentang kebenaran hantu itu. Aku yakin kamu punya sesuatu untuk dijelaskan padaku,” ucapku dengan tatapan tajam.
“Tuan memang hebat, Anda bisa tahu makna tersirat meski hanya melihat mata saya sekilas,” balas pelayan itu.
“Aku hanya mengandalkan insting saja, kamu tak usah menyanjungku,” ujarku, mencoba kembali fokus ke topik pembicaraan.
Pelayan mengambil nafas sejenak, kemudian menceritakan masalah hantu itu secara singkat, “Intinya, kami curiga pemilik kota telah melakukan ritual sesat, makanya tersebar rumor mengerikan tentang hantu. Beberapa warga bahkan pernah memergoki pemiliki kota saat ia menyerang orang-orang yang masih berkeliaran saat tengah malam. Tapi, kami tak bisa menuntut apa pun karena tidak punya bukti kuat. Alhasil, kami terpaksa diam di rumah begitu malam datang,” jelasnya.
“Seperti apa wujudnya? Apa dia sudah berubah menjadi roh atau masih berwujud seperti manusia?” Tanyaku, mulai menerka-nerka segala kemungkinan.
“Sosoknya masih berupa manusia, tapi memiliki sayap, mata merah, dan dua taring cukup panjang. Saksi yang pernah melihatnya bahkan pernah bilang kalau hantu itu senang menggigit leher korbannya. Yah, walau korban tidak tewas, korban itu pasti menderita trauma berat,” ujarnya.
Aku langsung menyeringai aneh usai mendengarnya, kini sudah bisa membayangkan dengan jelas sosok hantu yang dimaksud.
“Terima kasih, informasi darimu sungguh berharga sekali,” ucapku seraya meninggalkan pelayan itu. Aku lalu berjalan kembali menuju tempat Catrine dan Helena.
“Hehehe, kota ini ternyata cukup menarik. Tak kusangka pemilik kota ternyata seorang vampir. Aku harus menemuinya nanti malam kalau sudah begini urusannya. Aku yakin dia akan punya banyak informasi yang sangat berguna,” gumamku sembari terus berjalan. Aku sebenarnya mempunyai harapan tinggi kepada mahluk abadi itu, soalnya aku merasa yakin kalau dia akan memiliki banyak informasi tentang keluarga manusia rubah yang tinggal di benua kegelapan.
…