Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vonis enam bulan
Terkadang, senyum yang orang tua terbitkan, semata hanya untuk menunjukan pada sang anak bahwa mereka adalah orang tua yang luar biasa hebat.
...🌷🌷🌷...
"Sebelumnya kami minta maaf atas berita buruk yang akan kami sampaikan"
Jantung Nara rasanya berhenti sejenak ketika dokter mengatakan itu.
"Meskipun ini berat, tapi sebagai tim dokter kami memiliki kewajiban untuk mengatakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada pasien." Sang dokter berhenti sejenak untuk menarik nafas, sebelum kemudian kembali berbicara "Kami selaku tim medis dan ibu, sama-sama tahu seperti apa usaha yang sudah kami upayakan. Operasi serta terapi sudah kami lakukan, tapi menurut diagnosa medis, usia Amara hanya tersisa enam bulan"
Bagaikan di sayat sembilu.
Itulah yang tengah Nara rasakan atas berita buruk, berita akan kehilangan putri yang selama ini selalu menghantui dirinya.
Bagaimana tidak, dalam waktu enam bulan, dia akan kehilangan putri semata wayang, putri yang selalu ceria dengan senyum cemerlang, putri yang selalu terlihat kuat di hadapannya, penghibur ketika lelah menyergap, sebagai perlipur lara saat teringat pada pria yang sangat dia cintai.
Hanya Amaralah satu-satunya obat jika dia tengah merindukan suami yang sampai saat ini masih bertahta dalam hatinya. Suami yang tak pernah tahu seperti apa anak gadisnya.
Seorang pria yang selalu di rindukan oleh putrinya hingga detik ini.
"Tapi itu hanya prediksi manusia, kita masih memiliki harapan dari sang pemilik hidup"
"Manfaatkan waktu yang ada, penuhi segala keinginan di akhir hidupnya, dan berikan cinta serta kasih sayang yang lebih untuknya, agar dia bisa pergi dengan hati gembira"
Berulang kali Nara menghembuskan napas berat, mencerna baik-baik setiap kalimat yang keluar dari dokter bernama Edward. Ia mencoba membuang rasa frustasi yang membelitnya sejak kemarin.
Dengan tertatih wanita berusia tiga puluh dua tahun itu meninggalkan ruang dokter, kakinya ia langkahkan menuju Masjid yang tak jauh dari rumah sakit.
Kehidupan yang ia lalui di negeri ginseng, tak membuatnya jauh dari Sang Khaliq.
Membasuh muka dengan air wudhu, seketika hatinya mencelos saat dinginnya mata air membasahi wajahnya.
Akan ia curahkan segala permasalahan dunia pada dzat pemilik hidup dan pemegang nyawa.
"Aku tahu segalanya Engkaulah yang mengatur, aku tahu jika genggamanku tak akan pernah mampu untuk mempertahankan putriku, sekuat apa usaha yang aku lakukan, jika itu memang takdir yang sudah Engkau gariskan padaku dan putriku, cepat atau lambat Engkau pasti akan mengambilnya dariku. Aku sadar segala sesuatu adalah milikMu, aku tahu kalau suatu saat aku akan terluka. Tapi Tuhan, aku belum siap untuk tenggelam sedalam itu"
Memberi jeda pada diri sendiri, Nara mencoba menahan agar air matanya tak kian berjatuhan.
"Aku masih sanggup melihat putriku kesakitan, aku sanggup menahan lara ketika berpisah dari pria yang aku cintai, tapi aku tidak sanggup jika harus kehilangan dia Tuhan"
"Aku terlalu lemah untuk berpisah darinya, karena kekuatanku ada pada Amara"
"Apa aku terlalu tamak, jika meminta Engkau memberikan kehidupan sekali lagi pada putriku? Jika aku memintaMu untuk tak mangambilnya dariku, membiarkan putriku menahan sakit, apa aku egois?"
"Maaf jika aku terlalu mencintai ciptaan~Mu, dan tolong berikan keikhlasan itu padaku Tuhan, berikan kesiapan itu untukku"
Usai sholat dan berdoa, Nara bertahan di serambi masjid untuk beberapa saat. Hembusan angin yang terasa sejuk, tak mampu mengurangi sesak yang ia rasakan.
Hening, hanya ada suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin sedikit kencang.
Ketika perlahan pikirannya sudah jernih kembali, teringat bagaimana semangatnya Amara untuk sembuh, dan manjanya gadis yang semakin hari kian lemah, membuat Nara akhirnya memutuskan untuk kembali ke bangsal milik sang putri.
"Maafin mommy ya nak" bisik Nara selirih mungkin agar tak membangunkan putrinya yang masih terlelap. "Maafin keegoisan mommy yang memaksamu untuk bertahan melawan sakitmu" bisiknya lagi penuh sesal. Ia mengecup kening sang putri, sementara tangannya membelai lembut kepalanya. "Jika Ara lelah, Ara boleh tidurnya lama-lama, mommy sudah ikhlas jika Ara mau tinggal sama nenek, mommy siap jika Ara memilih pergi dari mommy, tapi sebelum pergi, ijinkan mommy memenuhi keinginan Ara untuk bertemu dengan daddy ya. Mommy janji akan membawamu ke pangkuan daddy, mommy janji nak"
Karena merasa terganggu, akhirnya Amara bergerak, sepasang mata indahnya yang di bingkai bulu mata lentik perlahan terbuka.
"Mommy" panggilnya lirih, lalu mengalungkan tangan di leher Nara.
Tubuh Nara yang tadinya berdiri di tepian ranjang dengan sedikit membungkuk, kini ikut berbaring di sampingnya agar Amara bisa nyaman memeluknya.
"Mommy bangunin Ara ya?"
Anak itu menggelengkan kepala. "Mommy nangis?"
"Tidak sayang" dustanya sambil berusaha tersenyum dan menahan nyeri yang kian menyayat hati.
"Ara kangen mommy" rengeknya nyaris menangis.
Reflek Nara mengeratkan pelukannya, berusaha menahan genangan di pelupuk mata yang tahu-tahu terasa menghangat.
"Mommy juga kangen Ara" balasnya dengan suara bergetar. "Bubu lagi ya, mommy temani"
"Mommy tidak pergi bekerja?"
"Tidak"
"Mommy?"
"Iya sayang"
"Nanti mommy bilang daddy ya Ara kangen sama daddy, Ara sudah tidak nakal-nakal lagi, Ara mau cepat-cepat ketemu daddy"
"Iya, nanti mommy bilang sama daddy, besok kita pulang ke negara kita dan kita akan temui daddy sama-sama"
"Janji?" Matanya yang masih terlihat sayu, menatap sang mommy penuh harap ketika pelukannya sedikit terurai.
"Janji" Jawab Nara mantap. "Sekarang, Ara bubu lagi ya"
"Iya"
Anak itu lalu segera menyurukkan kepala di leher mommynya.
*******
Lima hari sudah Amara di rawat di rumah sakit karena sempat down ketika melakukan aktivitas di sekolah.
Hari ini, dokter mengijinkan dia untuk pulang ke rumah, dengan catatan dia harus banyak istirahat dan tidak terlalu lelah.
"Ingat apa kata dokter?"
"Ingat dokter"
"Apa?"
"Tidak boleh nakal, tidak boleh lelah banyak-banyak, harus istirahat banyak-banyak"
"Anak pintar" sahut sang dokter lengkap dengan senyum yang tersungging di bibirnya. "Ingat satu pesan lagi dari dokter"
"Apa itu dokter?"
"Amara harus bahagia, tidak boleh sedih-sedih, ngerti?"
"Ngerti dokter"
"Dok, bisakah saya membawa dia melakukan perjalanan udara? Saya ada bawa dokter onkologi dan dokter bedah dari Indonesia, Dua dokter akan mengawal kami selama di pesawat"
"Sebenarnya ini terlalu beresiko, tapi jika bu Nara memaksa kami, kami akan mengijinkannya, dengan catatan bu Nara harus menandatangani surat pernyataan, agar jika terjadi sesuatu saat di perjalanan, itu bukan menjadi tanggung jawab kami. Dari pihak kami hanya akan mempersiapkan keperluan yang di butuhkan selama perjalanan"
"Baik dok, terimakasih"
"Sama-sama, semoga perjalanan kalian menyenangkan dan selamat sampai tujuan, semoga Tuhan memberikan keajaiban untuk kesembuhan Amara"
"Aamiin, terimakasih sekali lagi dokter"
Dokter itu mengangguk merespon ucapan Nara.
"Kita pulang yuk"
"Tapi Ara mau jalan kaki, tidak mau pakai kursi roda mom"
"Tapi Ara harus pakai kursi roda, kan tadi sudah di bilang sama dokter kalau tidak boleh capek banyak-banyak"
Anak itu seperti berfikir seolah tengah mengingat-ingat apa yang dokter katakan, sebelum akhirnya menganggukan kepala sembari mengerjap lucu.
Amara Stevani Nalendra.
Anak pertama dari Gautama Nalendra dan Naraya Stevani, berusia enam tahun 4 bulan, berambut pirang dan memiliki hidung serta mata yang nyaris mirip dengan ayahnya.
Gadis cantik, ceria dan pintar, yang menderita leukimia stadium tiga sejak setahun terakhir.
Ia harus berpura-pura kuat di depan sang ibu, Sebab dia tak ingin membuat hati ibunya bersedih. Dia juga harus pintar-pintar menyembunyikan rasa sakit demi bisa bersekolah dan bermain dengan teman-temannya.
Keinginanan terbesar Amara adalah bertemu dengan sang ayah, karena semenjak lahir sampai detik ini, ia belum pernah melihat seperti apa ayahnya.
Ia harus berjuang hidup lebih lama demi untuk menuntaskan rasa rindu pada pria bernama Gautama Nalendra.
Bersambung
Regards..
Ane
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻