Bayangkan terbangun dan mendapati dirimu dalam tubuh yang bukan milikmu. Itulah yang terjadi padaku setiap kali matahari terbit. Dan kali ini, aku terperangkap dalam tubuh seorang pria asing bernama Arya Pradipta. Tidak ada petunjuk tentang bagaimana aku bisa ada di sini, atau apakah ini hanya sementara. Hanya ada kebingungan, ketakutan, dan kebutuhan untuk berpura-pura menjalani hidup sebagai seseorang yang tak kukenali.
Namun, Arya bukan orang biasa. Setiap hari aku menggali lebih dalam kehidupannya, menemui teka-teki yang membuat kisah ini semakin rumit. Dari panggilan misterius, kenangan yang menghantui, hingga hubungan Arya dengan seorang gadis yang menyimpan rahasia. Di setiap sudut hidup Arya, aku merasakan ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar tubuh yang kumiliki sementara.
Dalam perjalanan ini, aku menyadari bahwa kehadiranku dalam tubuh Arya bukanlah kebetulan. Ada kekuatan yang menyeret
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Luka yang Tak Terlihat
Kebersamaan kami selama beberapa minggu terakhir membuatku lebih memahami Arya dan sisi rapuh yang selama ini ia sembunyikan di balik senyum tenangnya. Namun, semakin aku mendekatinya, semakin aku menyadari bahwa luka yang ia miliki tak hanya berasal dari kehilangan ibunya. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ia sembunyikan jauh di dasar hatinya.
Suatu hari, aku memutuskan untuk mengajak Arya ke sebuah tempat baru, tempat yang jauh dari keramaian kota. Sebuah bukit kecil yang memiliki pemandangan yang indah, dikelilingi hutan pinus yang tenang. Aku berharap tempat ini bisa membuatnya merasa nyaman dan membantunya berbagi lebih banyak hal tentang dirinya.
Di tengah heningnya suasana, kami duduk di atas rerumputan, memandang langit yang beranjak senja. Aku menoleh ke arah Arya yang tampak larut dalam pikirannya, seolah terbawa oleh angin yang berembus lembut.
"Arya, ada yang ingin aku tanyakan," kataku dengan suara lembut. "Apakah ada hal lain yang ingin kamu bagi? Tentang dirimu, tentang apa yang selama ini kamu rasakan."
Arya menunduk sejenak, menatap kedua tangannya yang tertaut. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ia menjawab. "Sebenarnya, kehilangan ibu memang meninggalkan luka yang besar. Tapi… bukan hanya itu yang membuat aku merasa seperti ini."
Aku menunggu dengan sabar, membiarkan Arya mengambil waktu yang ia butuhkan. Setelah menghela napas panjang, ia mulai berbicara dengan suara yang sedikit bergetar.
"Aku merasa… seolah-olah aku adalah orang yang tak pernah benar-benar diinginkan," ucapnya pelan. "Setelah ibu pergi, ayahku menikah lagi, dan aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Mereka mencoba terlihat baik padaku, tapi aku tahu aku bukan prioritas. Selalu ada perasaan terasing, seperti aku hanyalah beban."
Aku terpaku mendengar kata-katanya. Selama ini, aku tak pernah tahu bahwa Arya mengalami hal seperti itu di keluarganya sendiri. Aku bisa merasakan kepedihan yang tersembunyi di balik kata-katanya, luka yang tak terlihat namun begitu nyata di hatinya.
"Dan karena itu," lanjut Arya, "aku tumbuh dengan perasaan tak diinginkan. Meski banyak teman, meski banyak orang di sekelilingku, aku selalu merasa kosong, merasa ada bagian dalam diriku yang tidak pernah utuh. Aku takut untuk benar-benar percaya pada orang lain, takut suatu saat mereka akan meninggalkanku begitu saja."
Kata-kata itu terdengar begitu tulus, begitu jujur. Untuk pertama kalinya, Arya membuka dirinya sepenuhnya di depanku, menunjukkan sisi-sisi yang bahkan ia sembunyikan dari dunia luar. Aku ingin memeluknya, ingin memberitahunya bahwa ia berharga, bahwa ada orang yang peduli padanya.
---
Kami berdua larut dalam keheningan yang terasa menenangkan, seolah-olah semua kata telah tersampaikan tanpa perlu banyak bicara. Aku mengerti betapa sulitnya bagi Arya untuk membuka luka lama itu, dan aku tahu ini adalah langkah besar baginya. Perlahan, aku meletakkan tanganku di bahunya dan berkata dengan lembut, "Arya, kamu tidak sendiri. Rasa sakit itu mungkin tidak akan hilang begitu saja, tapi aku di sini. Dan aku ingin kamu tahu, aku tidak akan pergi."
Arya tersenyum kecil, senyum yang penuh dengan rasa syukur dan ketulusan. Aku bisa merasakan beban di dadanya sedikit berkurang, meski hanya untuk sesaat.
---
Setelah hari itu, Arya mulai lebih terbuka padaku. Kami berbicara lebih dalam tentang kehidupannya, tentang segala hal yang selama ini ia tahan sendiri. Setiap kali ia bercerita, aku bisa melihat betapa kerasnya ia mencoba untuk menjadi kuat. Ia adalah seseorang yang selalu berusaha terlihat tegar di luar, meski hatinya terluka parah.
Namun, di sisi lain, aku juga mulai menyadari sesuatu. Keintiman yang terjalin di antara kami membuatku merasa semakin dekat dengannya, bukan hanya sebagai teman. Tanpa kusadari, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian. Ada perasaan hangat yang tumbuh dalam hatiku, perasaan yang membuatku ingin selalu berada di sisinya, menjadi pendukung dan penghiburnya.
Tapi aku juga sadar bahwa perasaan ini mungkin rumit. Arya adalah seseorang yang terluka, seseorang yang membutuhkan waktu untuk sembuh. Aku tidak ingin perasaanku membebani atau membuatnya merasa tidak nyaman. Untuk saat ini, aku memilih untuk menahan diri, berharap bahwa kehadiranku cukup untuk membuatnya merasa tidak sendiri.
---
Hari-hari berlalu, dan hubungan kami semakin dekat. Arya mulai mempercayakan banyak hal padaku, sesuatu yang membuatku merasa tersanjung sekaligus bertanggung jawab. Aku tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, dan ada banyak hal yang masih perlu ia hadapi dalam dirinya sendiri. Namun, aku percaya bahwa selama aku ada di sampingnya, kami bisa melewati semuanya bersama-sama.
Dalam kebersamaan ini, aku merasa bahwa aku pun belajar banyak hal tentang diriku sendiri. Tentang arti kasih sayang, pengorbanan, dan kesetiaan. Tentang bagaimana menghadapi orang yang terluka dan mencoba menjadi penopang bagi mereka.
Pada suatu malam, saat kami berdua duduk di bawah langit yang dipenuhi bintang, Arya tiba-tiba menggenggam tanganku. "Terima kasih," katanya singkat, tapi penuh makna. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, membiarkan keheningan malam menjadi saksi dari segala perasaan yang tak terucap.
---
Bab ini menandai titik baru dalam hubungan kami, sebuah ikatan yang lebih dalam dari sekadar pertemanan. Meskipun belum ada kata cinta yang terucap, aku merasa bahwa ada sesuatu yang mengikat kami lebih erat dari sebelumnya.
Dalam perjalanan yang penuh lika-liku ini, aku berharap suatu hari nanti Arya bisa benar-benar menerima dan menyembuhkan dirinya sendiri. Dan jika saat itu tiba, aku akan ada di sisinya, sebagai seseorang yang selalu percaya padanya, sebagai orang yang mencintainya dengan tulus.
Aku sadar bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan masih banyak yang harus kami hadapi. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan meninggalkannya. Aku akan tetap berada di sampingnya, menemaninya menemukan jati dirinya dan berdamai dengan luka-lukanya.