Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Pelarian dan Keseleo
Klik
Pintu apartemen berhasil terbuka, dengan gerakan kasar Nokiami mendorong pintu kembali dan bersandar pada daun pintu yang dingin. Punggungnya menekan keras seakan ingin menghalau apa saja yang bisa masuk ke ruangan itu kemudian membiarkan bobot tubuhnya luruh seluruhnya.
Napasnya tersengal, memburu seperti anjing yang baru saja lolos dari kejaran. Satu tarikan, dua tarikan, udara di apartemen ini terasa berbeda. Ada aroma lemon yang menyentuh indra penciuman, sepertinya ruangan apartemen yang baru diinjak Nokiami baru saja dipel dengan pembersih lantai.
“Aku berhasil,” bisik Nokiami pada kesunyian. Matanya menatap ke segala arah.
“Gila. Aku benar-benar berhasil.” Ia berkata seakan tidak percaya pada diri sendiri yang bisa senekat ini.
Nokiami memejamkan mata, memutar ulang kejadian semenjak dua belas jam terakhir, gaun pesta yang ia sobek paksa, sepatu hak tinggi yang dilempar ke semak-semak kemudian lari terhuyung-huyung di lorong belakang hotel dengan kaki telanjang, dan akhirnya, nekat melompat ke dalam sebuah taksi. Untung saja tubuhnya tidak terlempar ke jalanan beraspal.
Sesaat kemudian ponsel di tangannya bergetar hebat. Nokiami segera memeriksa. Nama Rina menari-nari di layar.
“Halo?” sahut Nokiami dengan suara yang serak.
“Nok! Ya Tuhan! Kamu di mana? Sudah sampai? Aman?” rentetan pertanyaan itu meluncur tanpa jeda. Dari suaranya yang ngos-ngosan dapat dipastikan Rina juga merasa panik dan tertekan dengan situasi yang terjadi pada sahabatnya.
“Sudah di dalam apartemenmu,” jawab Nokiami.
Terdengar helaan napas lega dari seberang. “Syukurlah! Aku sudah mau jantungan dari tadi. Kuncinya ketemu, kan? Di bawah pot kaktus duri landak itu?"
“Ketemu, dan sekarang tanganku mungkin butuh suntik tetanus,” Nokiami melirik telapak tangannya yang sedikit tergores lalu terkekeh. “Terima kasih, Rin. Serius. Aku tidak tahu harus ke mana lagi.”
“Jangan ngomong begitu. Apartemenku apartemenmu juga. Pakai saja semuanya. Di kulkas ada sisa piza semalam. Yang penting jangan buka pintu untuk siapa pun, oke? Siapa pun!" Rina memperingatkan.
Nokiami tertawa kecil, tawa pertama yang terasa tulus setelah berbulan-bulan. “Terima kasih. Kalau sudah ada makanan kayaknya aku akan berhibernasi seperti beruang kutub yang sedang patah hati. Ngomong-ngomong, apartemenmu minimalis sekali, ya? Aku hampir mengira ini ruang interogasi.”
Ia mengedarkan pandangan. Apartemen studio Rina adalah antitesis dari kamarnya di rumah. Dinding putih bersih, perabotan fungsional berwarna abu-abu, dan tidak ada satu pun pernak-pernik tidak berguna. Rapi, efisien, dan sedikit steril. Sangat Rina sekali.
“Itu namanya gaya Skandinavia, dasar norak!” semprot Rina. “Sudah, ya. Aku harus kembali kerja. Lapor setiap tiga jam. Kalau tidak, aku akan mengirim tim SWAT ke sana. Dan tolong, jangan habiskan jatah kopi premiumku.”
“Tidak janji,” sahut Nokiami sebelum sambungan terputus.
Setelah itu keheningan kembali menyergap, kali ini terasa lebih pekat. Semangat yang dari tadi menggebu-gebu lenyap, berganti kelelahan yang luar biasa serta rasa sakit yang berdenyut-denyut di pergelangan kaki kanannya. Ia mengabaikannya. Itu pasti hanya efek dari lari maraton tanpa pemanasan terlebih dahulu.
Dengan sisa tenaga, Nokiami menyeret dirinya ke sofa. Empuknya bantalan sofa terasa seperti surga. Ia merebahkan diri, menatap langit-langit putih yang polos. Kosong. Seperti masa depannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada jadwal yang harus ia ikuti, tidak ada gaun yang harus ia coba, tidak ada kritik pedas tentang porsi makannya, tetapi entah kenapa Nokiami merasa kebebasan ini terasa aneh dan menakutkan.
"Haus!"
Nokiami merasa kerongkongannya kering. Ia mencoba bangkit meskipun rasa nyeri dan menusuk dari mata kaki hingga ke tulang kering mulai terasa. Ia terkesiap lalu jatuh ke lantai.
“Astaga,” desisnya, menatap kakinya dengan nanar. Pergelangan kakinya mulai membengkak, warnanya berubah menjadi ungu kebiruan yang mengerikan. “Kau pasti bercanda.”
Ia mencobanya lagi, gerakan kecil saja sudah cukup untuk membuatnya meringis.
"Sial. Ini bukan keseleo biasa! Dasar Leo sialan!" umpatnya kesal. Kalau bukan karena lelaki itu, Nokiami yakin hari ini dirinya masih berjalan tegap.
“Bagus, Nokia. Kabur dari sangkar emas berisi monster, malah terperangkap di sangkar minimalis karena dikalahkan ubin lobi hotel,” ia menggerutu. Ironi sekali, situasi ini begitu pekat hingga ia ingin tertawa dan menangis pada saat bersamaan.
Rasa haus di tenggorokannya semakin menjadi. Dapur yang hanya berjarak lima meter dari sofa kini terasa seperti di seberang benua. Ia menatap galon air di pojok dapur dengan tatapan penuh damba. Itu seperti oase, sementara dirinya bak musafir yang sekarat di padang gurun ruang tamu.
Satu-satunya pilihan adalah merangkak.
Dengan terpaksa , Nokiami menurunkan tubuhnya ke lantai yang dingin.
“Sialan kau, Leo!" makinya sekali lagi. "Kau membuatku merayap seperti cicak kelebihan berat badan.”
Langkah menuju kulkas memakan waktu yang terasa lama. Hingga akhirnya tangannya berhasil menggapai gagang pintu kulkas, ia menghela napas panjang. Tangannya terulur membuka dengan penuh semangat. Sayangnya yang dilihatnya hanyalah pemandangan yang menyedihkan: sebotol saus tiram yang isinya tinggal sedikit, setengah potong lemon yang sudah kering, dan selembar keju yang tanggal kedaluwarsanya sudah lewat. Sialnya lagi Piza yang disebut Rina ternyata hanya mitos belaka.
“Rina, kau membuatku semakin tampak menyedihkan,” gumam Nokia sambil menutup pintu kulkas dengan lesu.
Ia berhasil menggapai dispenser dan menekan kerannya kemudian menenggak air langsung dari sana seperti hewan liar. Rasa dingin dari air melegakan tenggorokannya, tetapi tidak dengan perutnya yang mulai keroncongan. Sementara dirinya, terdampar di lantai dapur dengan kaki bengkak tanpa bahan makanan apapun. Sialnya Rina baru akan kembali tiga hari lagi.
"Argh! Aku harus apa?" Nokiami mengacak rambutnya Frustrasi.
Di tengah keputusasaan, ia melihat ponselnya tergeletak di sofa. Ia merangkak kembali dan meraih benda pipih itu.
Layar ponsel menyala, menampilkan deretan aplikasi berwarna-warni. Matanya terpaku pada satu ikon. Sebuah aplikasi berwarna hijau dengan gambar motor dan kurir di atasnya.
Sebuah tawa kering lolos dari bibirnya. Sungguh ironis. Ia, yang lari dari pria yang menghitung setiap kalori yang masuk ke mulutnya, yang selalu mengomentari bentuk tubuhnya, kini harus menggantungkan hidupnya pada layanan pesan antar makanan.
“Takdir memang punya selera humor yang buruk,” katanya sambil membuka aplikasi itu.
Jari-jarinya menari di atas layar, melewati puluhan restoran. Otaknya yang dilanda kepanikan dan kelaparan kesulitan membuat keputusan. Nasi goreng kambing? Terlalu berat. Ayam geprek level 15? Itu cari mati. Akhirnya, pilihannya jatuh pada paket black pepper chicken ricebowl plus jus jeruk.
Setelah memasukkan alamat dan ia melempar ponselnya ke samping. Kini yang tersisa hanyalah menunggu. Waktu merayap lambat. Setiap derit lift di kejauhan, setiap suara langkah kaki di koridor, membuatnya menahan napas. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa paranoid. Bagaimana jika Leo cukup pintar untuk melacaknya ke sini? Bagaimana jika salah satu pesuruhnya menyamar menjadi kurir?