Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Areta memutuskan untuk pulang ke rumah setelah beberapa bulan ia belum menjenguk ayahnya yang tinggal sendirian setelah ibunya meninggal dunia.
Rasa rindu dan bersalah campur aduk di hatinya. Ia membawa sekantung buah apel merah segar, kesukaan ayahnya, berharap bisa sedikit menghibur hati pria paruh baya itu.
Jalanan menuju rumah masa kecilnya terasa begitu familiar, namun suasana di hatinya jauh berbeda.
Dulu setiap pulang ia selalu disambut senyum hangat ibu dan ayahnya.
"Semoga Ayah suka dengan kepulanganku." gumam Areta
Saat tiba di depan pintu kayu yang sedikit usang, Areta menarik napas dalam-dalam.
Tok.... tok.....
"Ayah...."
Areta masih berdiri di depan pintu dan menunggu Ayahnya yang biasanya membukakan pintu untuknya.
Ia mencoba untuk mengetuk pintu rumahnya lagi dan masih belum ada jawaban.
Ceklek!
Areta terpaksa membuka pintu dan ia langsung membelalakkan matanya saat melihat Ayahnya yang tersungkur di lantai.
"Ayah!!"
Areta menangis sesenggukan saat melihat ayahnya yang terluka parah.
Ayah Areta yang bernama Jacob membuka matanya.
"A-areta, lekaslah pergi nak. Atau mereka akan membawamu sebagai jaminan." ucap Jacob dengan suara lirih.
Areta yang mendengarnya langsung menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak akan kemana-mana, Ayah. Sekarang ayo kita ke rumah sakit." ucap Areta.
Saat itu juga Areta dengan sekuat tenaga memapah tubuh Jacob yang ringkih dan bersimbah darah.
Air matanya terus mengalir, membasahi pipi saat ia menyeret ayahnya perlahan menuju pintu.
Harapannya hanya satu, membawa ayahnya ke rumah sakit secepatnya.
Belum sempat Areta mencapai ambang pintu, suara dobrakan keras dari arah belakang membuat tubuhnya membeku.
Pintu rumah yang tadi terbuka, kini didobrak paksa dari luar dan menampilkan sesosok lelaki kekar bertubuh besar dengan tatapan mata tajam.
Wajahnya dipenuhi brewok tipis, dan mengenakan setelan serba hitam yang rapi namun mengerikan.
"A-areta, l-larilah nak!" Jacob berbisik lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup membuat Areta tersentak.
Areta menggelengkan kepalanya dan ia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahnya.
"Ayah, siapa mereka? Apa yang terjadi?" Isak Areta, tubuhnya menggigil ketakutan sambil berusaha melindungi tubuh rapuh ayahnya.
Lelaki kekar itu berjalan santai ke dalam ruangan, sepatu pantofelnya menimbulkan bunyi berderit tajam di lantai kayu.
Di belakangnya, muncul dua pria lain dengan setelan serupa, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti robot yang siap melaksanakan perintah.
Mata tajam lelaki brewok itu langsung tertuju pada Areta, seolah mangsa yang sudah lama dicari kini berada di hadapannya.
"Jacob tua, kamu pikir kau bisa lari dariku?" Suara lelaki itu dalam dan dingin, menusuk hingga ke tulang.
"Ternyata kamu menyiapkan jaminan yang cukup manis."
Jacob langsung muntah darah segar kembali merembes dari sudut bibirnya.
"Jangan sentuh dia! Dia tidak tahu apa-apa!"
Lelaki itu tertawa kecil, tawa yang sama sekali tidak mengandung kehangatan.
"Putrimu sangat cantik, Jacob. Dan utangmu sudah jatuh tempo. Sekarang, jaminan itu milikku."
Melihat langkah lelaki itu yang semakin mendekat.
Areta meminta mereka untuk tidak menyakiti Ayahnya.
Namun permintaannya hanya dibalas senyum sinis.
Lelaki brewok tipis itu mengulurkan tangannya dan meraih kerah baju Jacob kemudian mengangkatnya ke udara dengan mudah.
"Aku harus membawa putrimu, Jacob."
Jacob yang mendengarnya langsung mendorong tubuh lelaki itu dengan sisa tenaganya.
"LARI ARETA!!"
Areta yang ketakutan langsung berlari sambil membawa tasnya.
Ia terus berlari tanpa tujuan, keluar dari pekarangan rumahnya yang kini terasa seperti jebakan.
Napasnya terengah-engah, paru-parunya serasa terbakar.
Tepat di ujung gang, ia melihat sebuah mobil sedan hitam mewah yang terparkir.
Instingnya berteriak untuk bersembunyi di dalam bagasi.
Dengan tangan gemetar, Areta membuka pintu bagasi mobil itu. Untungnya, bagasi itu tidak terkunci.
Tanpa berpikir panjang, ia melompat masuk ke dalam ruang sempit yang gelap dan berbau karet itu, meringkuk sekecil mungkin, dan menutup kembali bagasi itu.
Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga di kesunyian itu.
Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha meredam isakan yang mendesak keluar.
Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara-suara dari luar mobil.
"Cepat! Cari gadis itu! Dia tidak mungkin jauh!" Itu suara berat dan dingin yang tadi mengancam ayahnya.
"Periksa gang-gang kecil itu! Jangan sampai dia lolos!" perintah pria itu lagi, nadanya penuh kemarahan yang tertahan.
Areta memejamkan mata erat-erat, berharap kegelapan itu bisa menyembunyikannya dari pandangan mereka. Tiba-tiba, ia merasakan mobil itu bergerak. Mesin dihidupkan, dan mobil sedan itu mulai melaju pelan.
"Ya Tuhan, mobil siapa ini? Semoga bukan mobil mereka," batin Areta penuh ketakutan.
Mobil itu berjalan, berbelok, dan kecepatannya bertambah.
Rasa mual dan pusing menyerang Areta karena guncangan di dalam bagasi.
Ia meringkuk lebih dalam, tubuhnya bergetar kedinginan dan ketakutan.
Perjalanan yang panjang membuat Areta kelelahan meringkuk di dalam sana sampai ia memejamkan matanya.
Sensasi guncangan yang berangsur hilang akhirnya membangunkan Areta dari tidurnya yang tidak nyaman.
Ia merasakan mobil itu berhenti total, diikuti oleh suara mesin yang dimatikan.
Areta menahan nafasnya saat mendengar langkah kaki mendekat, dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang.
KLIK!
Suara pintu bagasi yang terbuka dan cahaya terang mendadak menyerbu kegelapan di dalam bagasi.
Areta refleks memejamkan matanya dan berpura-pura masih terlelap dalam posisi meringkuk.
Ia berusaha mengatur napas agar terlihat alami, meski seluruh tubuhnya gemetar menahan ketakutan.
Dari balik kelopak matanya yang sedikit terpejam, Areta bisa merasakan sosok tinggi menjulang sedang berdiri di atasnya, menghalangi cahaya.
Aroma maskulin yang tajam, bercampur dengan aroma tembakau dan sesuatu yang sangat mahal, langsung menusuk hidungnya.
Bau yang sama dengan lelaki brewok yang mengancam Ayahnya.
Lelaki itu bergeming sejenak dan menatap Areta, yang terbungkus dalam kegelapan bagasi dan berpura-pura tidur.
Senyum sinis perlahan terukir di sudut bibirnya. Gadis ini bahkan tidak menyadari bahwa rencana pelariannya yang naif berakhir tepat di tangan orang yang sama yang ia coba hindari.
"Menarik," gumam suara dalam dan dingin itu, suaranya mengandung nada ejekan yang jelas.
Tanpa basa-basi, lelaki itu membungkuk, dengan mudah menggapai tubuh Areta, dan membopongnya keluar dari bagasi seolah ia tak lebih berat dari sekantong buah apel yang tadi dibawanya.
Tubuh Areta menegang saat ia merasakan lengan kekar itu melingkari punggung dan lututnya.
Ia harus tetap berpura-pura pingsan, mengandalkan sisa tenaganya untuk tidak berontak. Bau parfum yang tajam itu kini semakin kuat, mencekiknya.
Lelaki itu, yang ternyata adalah Vincent, berjalan santai menaiki anak tangga sebuah bangunan mewah. Langkahnya teratur dan penuh otoritas.
Setibanya di sebuah kamar megah yang didominasi warna gelap, Vincent meletakkan Areta di atas tempat tidur berukuran besar dengan seprai sutra.
Rasa dingin dari seprai itu menusuk kulit Areta, membuatnya hampir tersentak bangun.
Vincent menarik napas panjang, menatap wajah cantik Areta yang pucat.
"Pelarian yang sia-sia, Areta," bisiknya dingin.
Ia kemudian bergerak ke laci nakas, mengambil dua benda yang membuat mata Areta yang mengintip sedikit melebar panik: saat melihat sebuah borgol perak yang mengkilap dan gulungan lakban hitam tebal.
Dengan gerakan cepat dan tanpa belas kasihan, Vincent menarik pergelangan tangan Areta dan memasang borgol di kedua tangannya.
Bunyi logam yang beradu itu terdengar mengerikan di keheningan kamar.
Areta sontak membuka mata, ketakutan yang tak tertahankan membuatnya ingin menjerit, namun belum sempat ia mengeluarkan sepatah kata pun, Vincent sudah meremas rahangnya dan menutup mulutnya dengan lakban hitam yang tebal.
"MMMMMPPHHH!"
Isakan tertahan dan suara geraman tertahan keluar dari balik lakban.
Mata Areta melebar, menatap Vincent dengan campuran horor dan keputusasaan. Air mata mengalir deras membasahi pelipisnya.
Vincent menatapnya datar, tidak ada sedikit pun belas kasihan di mata hazel-nya.
"Jangan pernah berpikir kau bisa berteriak di bawah atapku," ujar Vincent sambil mengusap air mata Areta dengan ibu jarinya, gerakan yang ironisnya terasa lembut namun mengandung ancaman mematikan.
"Mulai sekarang, kayu adalah jaminanku. Dan di tempat ini, hanya aku yang punya suara."
lanjut Thor💪😘