NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Bercocok tanam / Sistem
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Brak!

​Brak! Brak! Kali ini, bukan ketukan. Itu adalah dentuman palu godam ke daun pintu yang reyot. Getarannya terasa hingga ke lantai papan, menembus kelelahan Rama.

​"Rama, keluar kamu! Sudah waktunya bayar utang!" Suara Kohar bukan berteriak, melainkan mengguruh, dingin dan mengandung ancaman yang fatal.

​"Siapa si, ganggu orang lagi istirahat aja," gerutunya, namun langkah kakinya terasa berat, menahan beban yang lebih besar dari utang. Aroma tembakau lintingan murahan dan keringat basi yang selalu menguar dari Kohar sudah tercium samar-samar. Beberapa langkah saja dari tempat tidurnya, ia sudah di depan pintu.

​Cklek. Ia menarik kunci grendel. "Lho, Bang Kohar? Ada—ap"?

​"Ada apa, ada apa?!" potong Kohar. Wajahnya yang penuh bekas luka berjarak hanya sejengkal dari wajah Rama. Mata rentenir itu bukan marah, tapi puas. "Jangan pura-pura lupa, Rama. Ini sudah waktunya bayar utang! Sepuluh juta beserta bunganya!"

​Rama mundur selangkah, napasnya tertahan.

"Tapi, Bang... Orang tua saya cuma berutang lima juta. Kenapa tiba-tiba jadi sepuluh juta?"

​Kohar menyeringai, menampilkan gigi kuningnya. "Itu biaya ketidakmampuan orang tuamu. Mau banyak omong? Bayar sekarang juga, atau gubuk cantikmu ini akan saya jadikan kayu bakar!" Suara Kohar yang keras membuat beberapa tetangga mulai berdatangan.

​"Tapi Bang, saya belum punya uang," ucap Rama, suaranya tercekat.

​"Saya enggak mau tahu! Bayar sekarang juga atau kamu terima sendiri akibatnya!"

​Rama menelan ludah. Ia tahu Kohar kejam. Anak buahnya banyak. Ia melihat tetangga. Beberapa menunjukkan rasa iba, tetapi banyak yang hanya berdiri, menikmati tontonan kehancuran.

​"Tolong Bang, kasih saya waktu... Saya benar-benar enggak punya uang sekarang."

​Kohar mendorong Rama mundur dengan jari telunjuknya yang kasar. "Asal kamu tahu, Ram. Saya sudah kasih orang tuamu waktu tiga bulan. Sekarang, saya enggak mau tahu! Bayar sekarang, atau kamu serahkan sertifikat tanah sawah peninggalan orang tuamu yang saat ini dititipkan pada pamanmu."

​Rama terkejut, seperti dihantam palu. Sawah? Ia tak pernah tahu tentang sawah itu. "Ma-maaf Bang," ia menunduk, otaknya kalut.

​"Jadi mau bayar atau tidak? Atau panggil pamanmu kemari dan bawa surat kepemilikan sawah itu untuk melunasi utang orang tuamu!"

​"Ja-jangan Bang, saya janji akan segera melunasinya... Tolong berikan saya sedikit waktu!"

​"Sudahlah, Baron, panggil si Mamat itu kemari. Suruh dia bawa surat tanah peninggalan si Gufron dan Masitoh. Kalau dia tidak mau, hajar saja dia sampai menurut!"

​"Baik, Tuan."

​"Saya mohon Bang Kohar, beri saya sedikit waktu saja," Rama jatuh berlutut, memohon sambil memegang kaki Kohar.

​Bruk!

​"Diam kamu!" Kohar menendang Rama sampai terjungkal. Namun Rama tidak menyerah, terus memohon agar warisan orang tuanya tidak diambil.

​Tap. Tap. Tap.

​Baron kembali bersama seorang pria paruh baya yang berjalan membungkuk dan berkeringat dingin: Mamat, adik dari mendiang ayah Rama.

​"Bos, saya sudah membawa Mamat," lapor Baron.

​Mamat mendekati Kohar, matanya menghindari pandangan Rama.

​"Paman," suara Rama tercekat, lebih sakit dari tendangan yang ia terima. "Kenapa Paman tidak pernah bilang kalau Ayah dan Ibu sebenarnya punya sawah yang dititipkan pada Paman?"

​Mamat mengangkat dagu, sorot matanya yang selama ini tampak iba kini berubah dingin dan penuh perhitungan. "Diam kamu! Memangnya kamu mengerti soal mengurus sawah? Apalagi sawah itu warisan Kakekmu. Aku yang lebih berhak sebagai anaknya, daripada seorang cucu tak berguna sepertimu."

​Tawa Kohar meledak, memecah ketegangan. "Hahaha! Mamat, Mamat. Kau licik juga, ya. Tapi kalian tidak usah khawatir. Mulai sekarang, kalian tidak akan memperebutkan sawah itu lagi. Karena sawah itu akan jadi milikku."

​"Tuan Kohar, sawah itu milik saya karena Kak Gufron sendiri yang sudah memberikannya pada saya. Jadi sawah itu sudah tidak ada hubungannya lagi dengan Rama," elak Mamat.

​"Paman, apa yang Paman katakan!" jerit Rama, tak menyangka pamannya sekejam ini.

​"Diam kalian! Saya sudah bilang, sawah itu milik saya sekarang. Jika kalian tidak menurut, saya tidak akan segan memukuli kalian sampai masuk rumah sakit!" Kohar memberi isyarat kepada anak buahnya.

​Mamat langsung mundur beberapa langkah. Rama masih meringkuk, memegangi perutnya yang sakit.

​"Sekarang... Bawa kemari suratnya," Kohar menatap tajam ke arah Mamat.

​"Jangan Paman, sawah itu milik Ayah dan Ibu saya... Tolong jangan berikan pada Bang Kohar!"

​Mamat mengabaikan permohonan keponakannya. Ia menyerahkan surat tanah itu pada Kohar seolah sedang membuang sampah.

​"Bang Kohar, saya mohon jangan ambil sawah orang tua saya, tolong berikan saja saya waktu satu bulan! Saya berjanji akan melunasinya!" Mohon Rama, tidak menyerah.

​Kohar melirik Baron. Tanpa kata-kata, Baron maju.

​BUK! Pukulan telak di rahang. Rama mencicipi rasa logam darahnya sendiri.

BRUK! Tendangan di rusuk. Napas Rama tercekik. Ia meringkuk, berusaha melindungi perutnya yang kosong.

​Rama menjerit kesakitan, hidungnya mengeluarkan darah. Ia melihat Mamat yang berdiri di sebelah Kohar, menatap penganiayaan keponakannya tanpa sedikit pun emosi iba.

​"Sekarang... Kamu sebaiknya tanda tangani surat ini. Kesabaranku sangat terbatas," ucap Kohar, menyodorkan pena ke arah Rama yang meringkuk kesakitan.

​"Ti-tidak... Sampai kapanpun saya tidak akan mendatangani," desis Rama.

​"Pukuli dia sampai mau mendatangani!" geram Kohar.

​Buk! Bugh! Akhh! Rama menjerit kesakitan. Orang-orang di sekitar hanya menahan napas. Mereka tahu, tidak ada yang bisa melawan Kohar di desa itu.

:Kehilangan Segalanya

​Rama hampir tidak bisa menahannya lagi. Tepat pada saat itu, suara teriakan seseorang membuatnya berusaha membuka mata.

​"Ramaaa!"

​Suhardi, teman dekat Ayah Rama, langsung menghampiri dan memeluk tubuh pemuda itu. Ia menatap Kohar dengan sorot mata marah.

​"Mamat! Dasar manusia biadab! Keponakan sendiri dipukuli, kamu hanya melihat saja? Apa kamu lupa waktu anakmu di penjara, Gufron-lah yang membebaskannya?!" teriak Suhardi.

​Mamat terdiam sejenak, lalu berkata pada Kohar, "Tuan... Kalau begitu saya mohon pamit."

​Plak! Plak! Plak!

​Tiga kali tamparan keras mendarat di pipi Mamat. Mamat terhuyung, memegang pipinya yang bengkak, tetapi mulutnya seolah terkunci, tak berani membantah.

​"Hahaha! Kamu boleh pergi sekarang," ucap Kohar puas.

​"Te-terima kasih bang," Mamat langsung lari terbirit-birit.

​"Kohar, bajingan! Kenapa kamu memukuli Rama?!" Suhardi menahan amarah.

​"Uhuk..." Rama terbatuk, darah mengalir dari hidung dan mulutnya.

​"Rama, kamu tahan ya. Sekarang kita ke rumah Bapak untuk mengobati lukamu," Suhardi membantu Rama berdiri.

​Rama menoleh kembali pada Kohar dan berkata dengan suara yang lemah, tetapi penuh kepastian. "Sampai matipun... Saya tidak akan mendatangani surat tanah hasil jerih payah orang tua saya!"

​Kohar menggeretakkan giginya. "Kamu masih tak ingin menyerah, ya?" Ia kemudian memerintahkan anak buahnya.

​"Bakar gubuk tua itu!"

​"Kohar, dasar bajingan!" Rama berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Pak Suhardi segera menahannya.

​"Sudahlah Nak, kamu bisa tinggal di rumah Bapak. Yang terpenting kita obati lukamu dulu."

​JAUH DI BELAKANG GUBUK, TERDENGAR SUARA KRETEK. BAU ASAP MULAI TERCIUM DI UDARA..

​"Siapa bilang kalian boleh pergi dari sini?" teriak Kohar, suaranya dingin.

​"Kohar, apalagi yang kamu inginkan? Apakah kamu belum cukup membuat Rama menderita?" umpat Suhardi.

​Kohar melemparkan sebuah surat pemindahan nama kepemilikan tanah. "Tanda tangani dan kalian boleh pergi," ucapnya datar.

​Suhardi menggeretakkan giginya. "Kohar, kamu jangan keterlaluan! Memangnya berapa utang Gufron padamu? Biar aku yang melunasinya!"

​"Pak..." lirih Rama, menggelengkan kepalanya pada Suhardi.

​Kohar tersenyum samar. "Jangan ikut campur, Suhardi. Kamu sudah terlalu jauh."

​Baron dan dua orang lainnya langsung mendekati Pak Suhardi.

​"Tu-tunggu! Ba-baik. Saya akan tanda tangani suratnya," Rama mengambil keputusan cepat. Ia tidak ingin Pak Suhardi celaka.

"​Ayah... Ibu. Ma-maafkan aku."

​Rama membubuhkan tanda tangan. Di saat yang sama, ia bisa mendengar atap gubuknya runtuh dimakan api.

​"Bagus. Kamu mulai cukup pintar," ucap Kohar dengan wajah puas. Ia mengambil surat itu. "Andai saja kamu menurut dari awal, Rama. Setidaknya kamu masih punya tempat untuk mati."

​Kohar, Baron, dan anak buahnya pergi, meninggalkan Rama dan Pak Suhardi yang berdiri di depan puing-puing gubuk yang terbakar. Rama tidak hanya kehilangan gubuk, ia kehilangan segala-galanya dan hatinya dipenuhi amarah yang kini tak memiliki tujuan.

1
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!