Aldena Faradila tak menyangka akhirnya harus kembali ke tempat yang paling dihindarinya selama lima tahun ini. Dena harus kembali karena saudara kembarnya yang jatuh sakit dan juga wasiat dari Vania, almarhum ibunya.
Kembalinya Dena ke rumah almarhum maminya membuat keluarga papinya tak suka dan mencoba mengusirnya kembali.
Sayangnya, Dena lima tahun yang lalu sudah berubah dan kini bersiap membalaskan dendam dan sakit hatinya.
Rupanya semua tak berjalan semulus apa yang direncanakan oleh Dena. Dia harus menikah sebelum usianya dua puluh lima tahun dengan lelaki yang sudah dipilihkan oleh almarhum maminya.
Apakah Dena bersedia menikah dengan Gara, atau lebih memilih kehilangan harta warisannya? Lalu bagaimana jika ternyata Dena masih belum bisa melupakan masa lalunya yang ternyata keponakan dari Gara?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naira_W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Home Sweet Home ???
Dena menatap rumah megah dua lantai itu dengan tatapan datar. Dia tak mampu beranjak dari taksi yang membawanya ke rumah tempatnya dibesarkan.
Dulu rumah ini adalah tempat terhangat yang dia miliki. Tempatnya pulang melepas semua penat ketika pulang sekolah. Rumah ini pernah menjadi tempat ternyaman baginya
Ya... itu dulu. Sebelum maminya meninggal dan kebahagiaan itu lenyap.
" Bener ini alamatnya, mbak?" tanya supir taksi yang dari tadi merasa keheranan karena Dena tak kunjung turun dari mobilnya.
Bahkan sejak memasuki komplek si supir mulai melihat gelagat tak nyaman di wajah cantik penumpang di belakang melalui kaca di depannya.
"Bener pak, saya cuma lagi mikir. Dan siapin mental." ucap Dena lalu terkekeh saat melihat ekspresi khawatir lelaki paruh baya itu.
"Ooh... Saya kira salah alamat." kata si supir dengan lega.
Dena membuka pintu mobil setelah menghela nafas panjang. Siap tidak siap dia memang harus kembali. Saat ini Dana, saudara kembarnya sangat membutuhkan dirinya.
Kaki Dena terasa berat melangkah ke arah pagar, sembari menunggu supir taksi mengeluarkan kopernya dia pun memencet bel yang ada di pagar.
Ada yang berbeda dari rumah ini.
Ah... ya. Pagarnya baru dan lebih tinggi dibanding lima tahun lalu. Bagian terasnya juga sudah direnovasi dan garasi yang kini terlihat lebih luas.
"Ini kebanyakan, mbak." kata supir taksi sambil mengembalikan beberapa lembar uang seratus ribuan ke arah Dena.
"Ngga apa-apa, pak. Ini rezeki bapak dan keluarga." kata Dena sambil tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Selang taksi tersebut pergi, Dena menatap penuh luka. Rumah yang menjadi tempatnya merasakan kebahagiaan, kehangatan sekaligus kehancuran.
Ingatan Dena kembali ke beberapa waktu sebelumnya.
"Seluruh harta berupa aset dan juga usaha nyonya Vania diwariskan kepada kedua anak kandungnya. Ardana dan Aldena." ucapan pengacara yang membacakan surat wasiat itu membuat tiga orang yang sedang duduk di ruang kerjanya menatap tak percaya.
Jika dua orang di sana justru merasakan kesedihan saat mengingat mendiang yang membuat surat wasiat itu. Berbeda dengan salah satunya, ekspresi tak terima, marah dan kesal justru terlihat jelas.
"Apa-apaan ini!!! Bohong... Surat itu pasti palsu!!" ucap seorang lelaki paruh baya yang begitu emosi saat mendengar isi wasiat mendiang istrinya.
Sementara di depannya ada dua orang yang terlihat berdecih, dengan tatapan meremehkan dan benci.
"Kalau memang Vania buat surat wasiat kenapa baru sekarang dibacakan. Itu tak masuk akal. Anda itu mau menipu ya." ucap lelaki yang bernama Tedi.
"Maaf pak Tedi, saya adalah pengacara yang ditunjuk resmi oleh almarhum bu Vania, bahkan sebelum beliau kecelakaan. Saya tidak melebih-lebihkan atau mengurangi isi wasiat beliau. Dan almarhum juga yang meminta agar surat ini dibacakan setelah lima tahun." kata Roland yang merupakan pengacara almarhum Vania.
"Tidak saya tidak terima. Ini pasti palsu. Kalian pasti bekerja sama." ucap Tedi menunjuk ke arah dua orang di depannya.
"Maaf, saya nggak setamak kamu. Untuk urusan warisan, hartaku jauh lebih banyak. Dan juga aku tak punya anak, jadi otomatis semua hartaku pasti akan jatuh ke tangan kedua keponakanku. Jadi jangan asal menuduh kami." ucap seorang lelaki yang terlihat berwibawa dalam balutan jas abu-abu.
"Saya juga, ngapain kerjasama buat hal begituan. Hidupku sekarang jauh lebih tenang dibandingkan hidup dengan anda. Apalagi om Albert selalu memenuhi semua kebutuhanku. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh ayah kandungku." ucap wanita muda di sebelah lelaki bernama Albert.
"Kamu...Kamu kurang ajar ya Dena! Mentang-mentang kamu ikut sama om kamu. Durhaka kamu sama papi."
"Cih, papi." Dena berdecih sambil memalingkan wajahnya.
Tedi menunjuk Dena dengan marah, hendak mengeluarkan kata makian. Namun dia tak berani melakukan hal itu, karena sosok di samping Dena, putrinya bukanlah orang sembarangan.
Albert adalah kakak dari mendiang istrinya. Lelaki itu merupakan pengusaha yang cukup disegani di kota tempat tinggalnya kini.
"Saya tidak terima! Pokoknya saya tidak setuju dengan isi surat itu. Saya akan laporkan kamu, penipu." ucap Tedi sambil menatap Roland si pengacara.
"Terserah, jika anda keberatan silahkan tindak lanjuti. Kami tidak akan menghalanginya." kata Roland dengan merentangkan kedua tangannya.
Tedi yang merasa sudah kalah pun segera berjalan menuju pintu. Dia keluar dengan kemarahan yang akhirnya dilampiaskan pada pintu ruangan si pengacara bernama Ronaldo itu.
Brak!!!
"Gila bisa rusak tuh pintu." ucap Ronald sambil menggelengkan kepalanya tak percaya kelakuan Tedi yang dikiranya kalem ternyata tak punya etika.
"Kita lanjut saja ya. Masih ada beberapa poin yang belum saya bacakan."
"Salah satunya, Aldena Faradila putri kandung Vania harus menikah dengan lelaki yang sudah dipilihkan oleh Bu Vania sebelum dia meninggal dunia." kata Roland.
"Apa??!!!" Albert dan Dena berteriak bersamaan.
"Yang bener aja om, masa aku pake dijodoh-jodohkan sih. Ini bukan jamannya Siti Nurbaya. Om aku nggak mau!! Lagian, kalau soal harta, aku malas balik ke rumah itu lagi." kata Dena yang tak terima jika dia dijodohkan.
Kali ini gadis itu terlihat histeris seperti ayahnya tadi.
"Harus, Dena. Ini wasiat terakhir dari mami kamu. Dan sebaiknya kamu segera melangsungkan pernikahan di usia kamu ke dua puluh lima tahun. Dan juga...."
Ronal menjeda sejenak lalu menghela nafasnya sambil menatap Albert sebelum ke arah Dena.
"Dana... Dia juga sedang butuh kamu." ucap Ronal akhirnya.
"A_apa... maksud om?" tanya Dena yang seketika mendadak pias mendengar saudara kembarnya yang membutuhkan dirinya.
Kenapa? Apa Dana sedang kesusahan di Australia dan membutuhkan dirinya.
"Dana.. Dia sakit, dan butuh donor." kata Om Albert akhirnya.
Mata lelaki itu tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Bagaimanapun, kedua ponakannya ini sudah dia anggap sebagai anak kandungnya.
"Waktu kamu nggak banyak, Na. Maka segera putuskan." ucap Om Ronald yang menatapnya dengan penuh harap.
Dan kini, Dena sudah memutuskan. Dia kembali, mengambil apa yang menjadi haknya juga hak saudara kembarnya.
Dena berjalan mendekati pagar dan melihat seorang wanita paruh baya yang keluar dari arah garasi.
Kini giliran wanita itu yang terlihat kaget dan hampir berteriak.
"Mbak Dena!!!" Bik Yun histeris sambil setengah berlari menuju pagar.
Wanita yang sudah lama bekerja di rumah ini bahkan tak bisa membendung air mata yang keluar bak keran bocor.
Bik Yun terlihat syok bahkan tangannya terlihat tremor, gemetar tak sabaran saat membuka gembok.
Dia ingin segera memeluk dan memastikan apakah benar gadis yang berdiri di balik pagar itu adalah nona mudanya yang telah lama pergi.
"Ya... Allah... Ya... Allah... Ini beneran mbak Dena. Ya... Allah. Akhirnya mbak Dena pulang." ucapnya di sela tangis.
"Iya, Bik. Ini Dena, si cantik dan imut." ucap Dena, mengingatkan kata-kata yang dulu sering dia gunakan di depan orang-orang terdekatnya.
Hanya saja sekarang Dena enggan menunjukkan sisi manja dan imutnya seperti dulu. Dia bahkan merasa bodoh jika mengingat tingkah centilnya dulu.
Bik Yun pun terkekeh lalu memeluk Dena, begitu erat seolah-olah takut jika gadis itu pergi lagi.
"Masuk yuk, mbak. Mulai panas ini." ucap Bik Yun sambil mengarahkan tangannya hendak mengambil koper milik Dena
"Eits.... Biar aku yang bawa, Bik. Di sini isinya harta karunku. Nanti bibik bawa kabur." ucap Dena yang segera mengambil kopernya.
Bik Yun pun mendelikkan matanya sambil mengomel seperti dulu.
Ya... Wanita itu tau, sebenarnya tidak ada harta karun di dalam koper biru dongker itu. Hanya saja gadis cantik ini terlalu baik dan tak ingin bik Yun kerepotan membawa benda itu di usianya yang menginjak lima puluh tahun.
Dena memejamkan matanya sejenak, sebelum memasuki rumah orang tuanya. Entah mengapa kini Dena merasa jika aura rumah ini sudah jauh berbeda.
Tak ada lagi kehangatan hanya ada dinding keangkuhan dan kesombongan yang terlihat dari pilar besar pada dua sisi yang menopang teras depan.
Koleksi bunga anggrek almarhum maminya pun kini berubah menjadi deretan tanaman dedaunan yang katanya berharga ratusan ribu bahkan jutaan per lembar daunnya.
Sialan.... Nenek lampir itu berani mengubah peninggalan maminya. Sepertinya, dia terlalu nyaman dan menganggap semua adalah miliknya.
Dena berbalik dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah dengan luas tanah empat puluh kali enam puluh itu. Tanah dan bangunan yang merupakan warisan peninggalan kakek neneknya kini dikuasai oleh parasit yang tak tau malu.
Home sweet home nya kini berubah jauh, menjadi scary house.
banyuan segera datang...
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
waahh.
moga2 dena segera tlp anggara..
kan jaeak mereka lebih dekat..
❤❤❤❤❤❤
❤❤❤❤
❤❤❤❤
bawa bala bantuan.
biar mereka bisa lepas dari evan..
❤❤❤❤
dena ama maya otw bestian ini..
😀😀😀❤❤❤❤
biar mereka barengan ngegrebej evan...
😀😀😀😀❤❤❤❤
kalo kanur sdri bisa2 cila dan pengasuhmya jadi korban..
❤❤❤❤❤
deg2an..
moga2 ada petunjuk buat Gara...
❤❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
sama aja..
❤❤❤❤❤
tapi malh sangat berterima kasih..
❤❤❤❤❤
ehhh..
motor udah dipeyokinnaja ama evan..
❤❤❤❤
maya itu...
❤❤❤❤❤❤
apa pun selalu tampak indah..
coba kalo gak pasti akan bilang istri kurang ajar...
😀😀😀😀❤❤❤❤