NovelToon NovelToon
Teperdaya Maharani Merindu

Teperdaya Maharani Merindu

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Misteri / Romansa Fantasi / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: OMIUS

Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yang Kesepuluh

Siang ini untuk kedua kalinya selama dalam masa penjajakan, Nitara kembali menyambangi Teman Segar. Jarang-jarang memang dia datang ke kediamanku meski masih dalam satu kota. Terlebih di waktu rumah makannya tengah sibuk-sibuknya melayani pembeli. Selama ini lebih sering aku yang menyambanginya.

Jangan ditanya seberapa bergeloranya rasa ini, manakala dia yang tengah memabukkan seisi kepalaku hadir di kediamanku sendiri. Di kehadiran pertama dia hanya menyimpang sebentar ke Teman Segar, itu pun cuma di pekarangan depan ruko saja. Lain dengan sekarang di mana dia berkenan masuk ke dalam, juga berniat hendak mengobrol denganku.

“Mas Eros, daripada tokonya dibiarkan tutup terus, bagaimana kalau Sambal Kejora pindah kemari.”

Kemarin lusa Nitara telah memberitahukanku, katanya RM. Sambal Kejora terancam digusur. Sang pemilik bangunan, yang tak lain temannya sendiri enggan memperpanjang kontrak. Padahal hanya dengan menempati bangunan milik temannya itu, RM. Sambal Kejora tetap eksis menggaet pelanggan hingga sekarang.

“Yakin kalau pindah kemari Sambal Kejora akan tetap laku juga? Soalnya kemarin lusa Tara sempat bilang, sudah banyak tempat dicoba, tapi selalu saja sepi pengunjung.”

“Dulu Teman Segar laku keras. Tara percaya, tuah roko ini dalam menarik calon pembeli sebenarnya masih ada.”

Aku hanya bisa tertegun mendengar dalihnya. Aku sendiri tidak membantahnya. Memang satu tempat usaha, yang di masa lalu pernah membawa keuntungan terkadang membawa keuntungan yang sama saat berganti pelaku usaha.

“Gimana, Mas Eros, apa boleh Tara pindahkan Sambal Kejora kesini?”

Kalau menuruti kemauanku, tiada perlu keraguan bagiku untuk memenuhi permintaannya. Lelaki mana sih yang sampai berani berkata tidak pada sang kemilau hati? Pun dengan diriku saat ini. Malah mulutku sudah ingin selekasnya menyeru, detik ini juga Nitara kupersilahkan memindahkan rumah makannya kemari. Hanya saja suara hatiku mengingatkanku akan amanat Ayah menjelang meninggal dulu.

“Tara, aku harus bercerita kalau Ayah sebelum meninggal sempat berwasiat padaku, selamanya ruko ini harus jadi toko es krim. Aku menafsirkannya sebagai larangan Ayah. Aku terlarang mengubah ruko jadi lahan usaha lain.”

“Itu cuma tafsiran Mas Eros saja.”

“Memang tafsiranku, tapi Ayah menyebut ruko ini harus tetap berupa toko es krim. Jadi aku mohon maaf, Tara!” Sembari berkata tanganku memegangi kedua pundaknya. Saat ini kami berdua tengah duduk berhadapan. Hanya dipisahkan oleh meja kafe, di mana noda bekas ceceran es krim sudah lama tidak menampak di permukaannya.

Nitara masih terdiam sembari menatapku. Aku mendapati ekspresi kecewa di raut mukanya. Kedua tanganku lalu kuturunkan dari sepasang bahunya.

“Ganti lahan usaha terlarang, tapi ditutup boleh, aneh!”

“Tokonya tutup bukan berarti selamanya akan begitu. Saat ini aku tengah meracik-racik produk es krim baru. Kalau berhasil, mudah-mudahan bisa bersaing dengan Samudera Es.”

“Kesimpulannya, Mas Eros menolak permintaan Tara?”

“Aku harus minta maaf lagi, sepertinya tidak bisa karena amanat Ayah.”

“Belum jadian saja Mas Eros sudah mengecewakan Tara.”

Tiba-tiba saja kata-kata Nitara serasa sengatan halilintar di telingaku, memeranjatkanku. Benar-benar aku lupa kalau kami berdua tengah dalam masa penjajakan. Nitara tentu tengah berupaya mengenali lebih dalam karakter dan sifatku. Parah sekali, belum-belum aku malah sudah mengecewakannya.

“Tara, mengertilah suasana batinku saat ini, dilema sekali!”

“Mas Eros ternyata cuma pria polos. Padahal yang namanya dilema bisa kok diakalin.”

“Diakalin bagaimana?”

Nitara malah merentangkan kedua sudut bibirnya, tersenyum manis. Aku yang tengah susah mengambil sikap spontan terhibur. Amatlah menawan menyaksikan dagunya saat berkalung senyuman.

“Mas Eros, Mas Eros ..., kayak gini saja sudah bikin Mas Eros pusing tujuh keliling. Sambal Kejora cuma menempati lantai dua saja, lantai bawah tetap toko es krim. Enggak ada yang melanggar wasiat ayahmu!”

Kontan aku menyengir mendengar idenya.

“Ngomong-ngomong produk es krim racikan terbaru Mas Eros memang sudah layak bersaing?”

Teman Segar memang tengah tutup beroperasi. Kendati demikian aku masih saja bermimpi untuk membukanya lagi. Untuk itu aku rajin bereksperimen, mencipta produk es krim baru dengan citra rasa yang sekiranya dapat bersaing.

“Kalau bukan dengan Samudera Es, aku optimis masih bisa bersaing.”

Bila sebelum-sebelumnya aku senantiasa jujur berkata, lain dengan perkara yang satu ini. Entah kenapa aku malah tergiur membanggakan diri di hadapannya. Padahal sudah berkali-kali mencoba, namun dalam penilaianku sendiri es krim hasil eksperimen terbaruku senantiasa belum memuaskan. Masih jauh dari kata layak bersaing.

“Padahal Samudera Es tetanggaan sama Teman Segar.”

“Itu kendalanya. Harus kuakui, hanya es krim Mirasa yang bisa mengalahkan produk Samudera Es. Mau tidak mau perisanya harus bisa kudapatkan lagi.” Sewaktu menyambanginya di RM. Sambal Kejora, aku sempat menceritakan rahasia kejayaan Teman Segar di masa lalu.

“Masa iya Pak Hardiman tidak menyisakan satu pun botol perisa?”

“Anak-anaknya berkata seperti itu. Aslinya mana aku tahu? Enggak mungkin aku memaksa mereka.”

“Oh ya, kemarin Mas Eros cerita kalau Pak Hardiman sekarang tinggal di panti jompo. Di panti mana, Mas?”

“Griya Senja.”

“Griya Senja yang di Jl. Siliwangi?”

“Memangnya Tara mau besuk Pak Hardiman?”

“Bukan begitu, Mas Eros. Tara punya teman yang profesinya perawat. Selesai bertugas di rumah sakit, dia suka nyambi-nyambi di Griya Senja.”

“Memang di Griya Senja. Cuma percuma juga temanmu diminta korek-korek info soal perisa. Sekali aku pernah jenguk Pak Hardiman, orangnya benar-benar pikun.”

“Sudah pikun, tapi masih bisa melinting kretek sendiri.”

“Tahu dari mana info seperti itu? Jauh sebelum terserang alzheimer, anak-anaknya sudah melarang Pak Hardiman merokok.”

“Ya dari teman Tara yang jadi perawat di sana.”

“Temanmu salah lihat kali?”

“Teman Tara pernah cerita. Katanya, ada manula di Griya Senja yang sudah tak ingat apa-apa lagi, tapi lain kalau soal melinting rokok. Ingatannya ternyata masih benderang terang. Malah beberapa kali teman Tara mendapatinya sedang merokok.”

“Terus tembakaunya dapat dari mana?”

“Kata teman Tara, tembakaunya dipasok diam-diam dari luar karena pastinya dilarang. Sepertinya tukang kebun di Griya Senja, soalnya keduanya terlihat sering mengobrol bareng.”

“Padahal menurut anak-anaknya, konon Pak Hardiman hanya mau merokok buatannya sendiri.”

“Rokok buatan sendiri ... berarti pakai perisa racikan sendiri juga.”

“Seharusnya. Cuma Pak Hardiman, kan susah mengingat resep pembuatan perisanya?”

Mendengar kata-kataku, Nitara malah spontan melengkungkan kedua alis matanya lebih ke atas. Sementara sepasang bola mata bulatnya lebih membelalak. Seperti tengah antusias, atau mungkin juga baru menemukan ide segar.

“Ada kemungkinan Pak Hardiman masih menyimpan sisa perisanya.”

“Anak-anaknya sudah melarangnya merokok, mana mungkin Pak Hardiman dibekali sisa perisa selama di panti jompo.”

“Faktanya teman Tara sempat mempergoki Pak Hardiman merokok. Kayaknya sih waktu dibawa ke Griya Senja, Pak Hardiman diam-diam membawa sisa perisa.”

“Pak Hardiman sudah alzheimer, Tara. Masa sih masih bisa buat rokok sendiri?”

“Pak Hardiman boleh saja pikun, atau pura-pura pikun. Tapi, jangan lupa kalau manusia punya pikiran bawah sadar. Secara otomatis tangannya bisa saja melinting rokok sendiri meski tanpa dukungan otaknya.”

“Anggap saja memang seperti itu, terus Tara mau mencuri perisanya?”

“Siang ini juga Tara mau pergi ke Griya Senja. Kebetulan teman Tara masih sedang bertugas di sana. Tara nanti minta dia supaya masuk kamar Pak Hardiman, terus diam-diam ambil perisanya.”

“Itu namanya nyuri juga.”

“Pinjam sebentar untuk dijilad Mas Eros, nanti dikembalikan lagi. Eh, biasanya disimpan pakai apa perisanya?”

“Setahuku, sedari dulu perisanya selalu disimpan dalam botol bekas minuman bersoda.”

“Nah, bisa jadi anak-anaknya mengiranya minuman bersoda. Apalagi Mas Eros pernah berkata kalau warna perisanya agak kemerah-merahan. Makanya Pak Hardiman bisa selundupkan perisa ke Griya Senja.”

Kuembuskan nafas panjang. Kembali aku harus menyadari, daya nalarku sepertinya memang masih di bawahnya. Meski begitu tiada aku harus menggerutu, malahan aku bangga meski Nitara baru sampai taraf calon istri dalam angan-anganku saja.

***

Kurang dari dua jam saja Nitara sudah kembali menyambangiku di Teman Segar. Sedangkan aku hanya bisa seketika terpana. Di hadapanku, dia memamerkan keberhasilannya membawa perisa dalam botol bekas minuman bersoda. Memang perisa racikan Pak Hardiman. Walau sisa perisa dalam botol tinggal sepertiganya saja, namun bagiku itu sudah lebih dari cukup.

“Biasanya sekitar jam tiga sore Pak Hardiman bangun dari tidur siangnya. Jadi waktu kita tak banyak, Tara harus segera mengembalikan botolnya lagi ke Griya Senja!”

“Aku cuma butuh waktu satu menit saja,” sahutku sembari menjulurkan lidah ke telunjukku. Sebelumnya telunjukku sudah dilumuri beberapa tetes perisa dalam botol.

Begitu ujung lidahku menjilat tetesan perisa di telunjukku, indra pengecapku seketika bekerja lewat mencicipi rasa. Sesuai sesumbarku tadi, cukup satu menit saja organ otakku mengolah informasi yang tadi dikirim indra pengecapku. Sejumlah komponen-komponen pembentuk rasa di ujung lidahku langsung menampak begitu saja dalam benakku, termasuk dengan ukuran takarannya.

“Cengkeh, serbuk kayu manis, gula aren ...,” Tanpa sadar mulutku berdesis, menyebutkan satu demi satu bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat perisa.

Perisa ternyata menggunakan gliserin nabati yang tersedia di pasaran. Bahkan aku sendiri masih menyimpannya barang sebotol. Sewaktu bereksperimen membuat es krim baru, aku juga menambahkan gliserin yang sama.

Aku terpana. Barusan isi kepalaku disajikan sebuah visual proses pembuatan perisa. Berkebalikan dengan cita rasa istimewa yang dihasilkannya, kiranya proses pembuatan perisanya sendiri begitu sederhana. Semua bahan-bahan tersebut cukup dimasukkan ke dalam air, lantas direbus hingga mendidih.

Menariknya meski direbus, namun temperatur air senantiasa berkisar pada rentang 70 hingga 75 derajat saja. Aku bisa menebaknya dikarenakan lidahku memang mampu mendeteksi temperatur yang pernah terjadi saat pembentukan sebuah rasa. Sepertinya temperatur sengaja diupayakan agar berada dalam rentang segitu. Mungkin demi maksud tertentu.

Cukup sembilan menit saja bahan-bahan tersebut direbus, selanjutnya air rebusannya disaring. Lantas siap digunakan sebagai perisa.

“Gimana, Mas Eros, sudah dapat rahasia pembuatan perisanya?”

Bukannya menjawab aku malah bertanya pada Nitara. “Tara bawa pulpen sama kertas, enggak?”  .

Tara yang duduk di depanku langsung merogoh tas selempangnya. Lalu mengeluarkan pulpen dan buku kecil. Kemudian meletakkannya di atas meja kafe.

“Ini bukannya buku kuitansi?”

“Adanya cuma buku kuitansi di dalam tas. Mas Eros tinggal cari halaman kosong saja, enggak masalah kalau dirobek juga.”

Segera aku mencari halaman buku kuitansi yang masih kosong. Kemudian menuliskan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat perisa. Sementara untuk proses pembuatannya sendiri aku cukup menuliskan kata direbus saja.

“Terima kasih atas usaha kreatifmu, Tara!” ucapku sembari menyerahkan kembali buku kuitansi pada Nitara. Sedangkan halaman yang tadi kutuliskan resep perisa sudah kurobek, lalu dimasukkan ke dalam saku kemejaku.

“Tara enggak bisa lama-lama lagi, Mas Eros! Sekarang juga Tara harus mengembalikan botolnya ke Griya Senja, sudah mau jam tiga!”

“Jangan ngebut, tetap Tara mesti hati-hati di jalan!” pesanku, mengingatkannya yang mulai terlihat tergopoh-gopoh. Apalagi aku pernah menyaksikan bagaimana dia saat membawa sepeda motornya. Terbilang berlebihan kencang untuk ukuran kaum Hawa.

Kala menyaksikannya pergi berlalu dari pandangan mataku di pekarangan depan ruko, tanpa sadar mulutku berdesis pelan. “Kenapa hanya demi menunggumu datang, aku sampai harus dua kali kawin cerai dulu? Andai saja dari mula kita sudah bersua ....”

o10o

1
Asnisa Amallia
Enak banget karya ini, aku nggak sabar nunggu kelanjutannya!
Yusuf Muman
Menyentuh hati.
Mich2351
Aku suka banget sama karakter-karakternya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!