INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Silenzio
Ingrid mengikuti staf pria itu tanpa rasa curiga sedikitpun. Tidak ada yang aneh atau mencolok, hingga Ingrid menyadari dia melewati tempat yang asing, ditambah tanpa sengaja baju yang dikenakan staf itu sekilas tersingkap. Ada pistol yang di selipkan di sana.
Sirine tanda bahaya seakan berbunyi keras. Dia sadar ada yang tidak beres. Ingrid menghentikan langkah, membiarkan pria itu terus berjalan. Perlahan memundurkan dirinya, matanya tak lepas dari staf itu, memancarkan kewaspadaan.
Langkah kelima, langkah keenam, Ingrid berancang-ancang untuk berbalik dan berlari. Ingrid merasakan sesuatu menyentuh bagian belakang kepalanya.
"Diam dan maju."
Pria lain yang merupakan rekan staf palsu tadi menangkapnya. Dia menodongkan ujung pistol yang dingin tepat di kepala Ingrid.
Ingrid tidak langsung menurut. "Apa yang kalian inginkan?" Ingrid berusaha meredam kepanikan dalam dirinya.
"Ikuti saja. Atau aku akan mengorbankan nyawa-nyawa lain di sini," ancamnya.
Ingrid tidak ingin ada orang nyawa murid-murid lain menjadi korban. Dengan berat hati, Ingrid kembali melakukan langkahnya. Pria itu menyimpan kembali pistolnya dan berjalan normal layaknya tidak terjadi apapun. Sudut-sudut sekolah sepi, tanpa berisik aktivitas siswa, karena masih dalam waktu belajar.
Pria yang juga mengenakan pakaian staf itu menggiring Ingrid menuju pintu keluar khusus staf di belakang sekolah.
"Terus berjalan, " perintahnya dengan suara tertahan.
Ingrid mengumpat pelan, dia ingin sekali mematahkan hidung orang itu. Selalu ada masalah baru di antara masalah-masalahnya.
Entah apa yang orang-orang ini inginkan darinya. Yang pasti bukan sesuatu yang baik, dan berhubungan dengan La Cosa.
Ada seorang petugas kebersihan menghampiri mereka. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini masih jam belajar."
"Aku memiliki urusan mendadak, permisi." Ingrid menjawab cepat, lalu kembali melangkah bersama staf palsu itu.
Mereka keluar dari gerbang belakang sekolah.
Pria mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Ingrid mengambil celah itu. Dia mengambil tanah di dekatnya, melemparnya tepat di wajah pria itu. Pria itu mengerang marah. Ingrid mengambil pistol di saku pria itu, kemudian berlari cepat menjauh.
"Sialan!"
"Ada apa? Di mana gadis itu?" tanya rekannya tadi yang baru tiba.
"Dia kabur, kejar dia!" berangnya, seraya menunjuk arah Ingrid berlari. Rekannya itu segera bergerak mengejar langkah Ingrid.
Setelah membersihkan matanya yang terkena tanah, pria itu juga segera menyusul rekannya untuk mengejar Ingrid yang telah berlari cukup jauh.
Ingrid menoleh ke belakang. Kedua orang itu ternyata semakin dekat dengannya. Ingrid berbelok tajam di tikungan, betisnya sudah mulai kebas, peluh membasahi akar rambutnya, dia terus berlari. Kelelahan karena terus berlari, Ingrid memilih untuk bersembunyi di balik tanaman.
Derap sepatu pria-pria itu semakin keras terdengar. Napas Ingrid tak beraturan, debaran jantungnya begitu kencang, rambutnya berantakan karena bertabrakan dengan angin, dia menggenggam erat pistol di tangannya.
"Dia pasti sudah lebih jauh, cepat!"
Ingrid mendengar suara mereka menjauh. Dia menghembuskan napas lega. Setelah memastikan keadaan telah aman. Ingrid keluar dari persembunyiannya, lalu berlari ke arah sebaliknya dari mereka.
Sebuah tembakan terdengar dari arah belakang Ingrid, sebuah peluru melesat, untungnya tidak mengenainya karena Ingrid tersandung dan jatuh menubruk aspal.
"Sudah cukup permainannya, Nona," seru salah seorang yang mengejarnya.
Ingrid buru-buru bangkit, dia menodongkan pistol ke arah mereka dengan tangan gemetar. Kedua orang itu tertawa. "Coba saja—"
Ingrid melepaskan peluru pada pria yang menodong kepalanya dengan pistol tadi, hingga pria itu jatuh terkapar. "Mundur." Napas Ingrid semakin memburu, dia telah menembak seseorang.
Melihat rekannya tak berdaya, pria satunya mengangkat pistolnya pada Ingrid, bersiap melepaskan timah panas pada gadis itu.
Seseorang memukul kepala Ingrid dari belakang, hingga Ingrid seketika tak sadarkan diri.
"Cukup."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Apa yang kau lakukan di sini?" Frenzzio bertanya dengan dingin.
Dia segera menghampiri salah seorang pengawal pamannya, yang tiba-tiba saja berada di sekolahnya, menyamar sebagai petugas kebersihan. Frenzzio menarik orang itu ke tempat yang sepi.
"Tuan, saya di sini untuk mengawasi Anda."
"Aku tidak suka kebohongan."
"Saya berkata jujur, Tuan."
Frenzzio menggapai pistolnya, menodongkannya tepat di leher pria itu.
"Kau pikir aku bodoh? Aku Tuanmu, bukan pria tua itu. Kau bersumpah padaku."
"Kami ditugaskan untuk membawa perempuan bernama Ingrid Constanzo," ungkap jujur.
Rahang Frenzzio mengeras, matanya menggelap. "Temukan mereka," perintahnya dengan suara rendah.
"Baik, Tuan." Pria itu segera meninggalkan Frenzzio, sebelum terkena amarah lebih besar darinya.
Frenzzio meregangkan lehernya, bunyi 'krek' yang renyah menyertainya. "Apa yang lakukan, paman?"
Setelah berhasil mengendalikan amarahnya, Frenzzio pergi untuk menemui paman tercintanya. Saat, di lobi menuju pintu keluar. Frenzzio berpapasan dengan penasehat Giorgio, dan para pengawalnya, yang sepertinya telah selesai membereskan masalah Ingrid.
"Frenzzio, lama tak bertahap muka. Bagaimana kabarmu?" sapa si penasehat ramah.
"Tuan Marino, aku berdiri di hadapanmu, kau bisa menilai sendiri. Dengan begitu, aku pun tidak perlu menanyakan hal yang sama. Sebagai bertemu denganmu." Frenzzio ingin segera meninggalkan pria itu.
Namun, baru akan mengambil langkah, pria bernama belakang Marino tersebut kembali membuka mulut. "Di mana nona yang membuat masalah? Dia bahkan tak berterima kasih, sifat yang buruk." Dia membenarkan kacamata perseginya.
Frenzzio menampilkan senyumnya. "Tuan Constanzo, membayarmu untuk melakukan ini, cukup lakukan pekerjaanmu," balas Frenzzio pedas. Dia tidak lagi peduli. Dia pergi begitu saja, memunggungi mereka.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Mata Ingrid mengerjab pelan, dia merasakan nyeri di kepalanya, terutama bagian belakang.
Dia Ingin mengangkat tangannya, tapi baru menyadari kedua tangannya terikat, begitupun kakinya. Ingrid berusaha melepaskannya, namun ikatannya begitu kencang.
Ruangan yang ditempatinya, tidak begitu terang, hanya ada satu bohlam lampu menggantung tepat di atas kepalanya. Udara sangat sesak dan lembab, seakan tak ada ventilasi untuk udara menyusup masuk. Tenggorokan Ingrid juga terasa sangt kering bagai gurun, hingga rasanya dia dapat menelan seluruh air di bumi.
"Siapa kalian? Apa mau kalian?!" teriak Ingrid dengan tenaga yang tersisa.
Tidak ada sahutan apapun.
"HEI!!"
Masih tak ada yang menjawab.
Ingrid menyenderkan kepalanya pada dinding. Dia nyaris tak memiliki tenaga lagi untuk bergerak. Bibir mengucapkan kata 'ayah' tanpa suara. Kelopak matanya tertutup rapat, berharap dapat menyimpan sisa staminanya untuk saat yang tepat.
Beberapa derap sepatu terdengar mendekat. Ingrid segera membuka matanya waspada. Bunyi kunci pintu yang coba di buka, menandakan memang berniat memasuki ruangan tempatnya di sekap.
Decitan pintu tua, memenuhi indra pendengarannya.
Ingrid melihat siluet tiga pria memasuki ruangan, dia baru dapat melihat jelas wajah mereka saat ketiganya di terangi oleh cahaya lampu.
Ingrid tidak mengenal dua pria di belakang, yang sepertinya adalah pengawal. Tapi, dia dapat mengenali pria yang berdiri tepat lurus di depannya.
Lanzo, paman Frenzzio.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
lopyu thorr