Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Note : agar lebih paham ceritanya bisa baca dulu morning dew series ya. Klik aja Profilku buat nyari
Terimakasih 💕💕💕🥰
...****************...
Api yang berkobar di dalam kubah perlahan mereda, meninggalkan jejak kehancuran yang tak terelakkan. Asap hitam membubung, menyelimuti langit dengan kesunyian yang menyesakkan. Tak ada yang tersisa di dalam sana—hanya abu dan bara yang masih menyala, melahap setiap sisa kehidupan yang sempat bertahan.
Di luar kubah, isak tangis Yuki pecah, menggema di antara keheningan yang mengerikan. Tangannya yang berlumuran darah terus menghantam lapisan kasat mata yang memisahkannya dari kobaran api di dalam. Setiap pukulan membawa rasa sakit, tetapi Yuki tidak peduli. Yang ada di dalam sana adalah orang yang tak seharusnya berada di sana. Seharusnya dia yang masuk, bukan…
Di sampingnya, Riana berdiri kaku. Tatapannya kosong, terpaku pada pemandangan yang ada di depan. Dalam hatinya, dia tahu—dia nyaris saja ada di dalam sana. Jika saja dia tidak memilih untuk membantu Lekky, jika saja dia tidak mengotori tangannya dengan darah pasukan langit, mungkin sekarang dialah yang terbakar bersama api yang menghabisi segalanya.
Sera telah merencanakan ini. Ia telah menyusun siasat yang akan menjebak Riana dalam kubah, memaksanya menarik segel suci tanpa menyadari bahwa itu adalah jalan menuju kematiannya. Sebuah rencana dingin yang hanya bisa disusun oleh seseorang yang telah kehilangan segala rasa belas kasih.
Namun, sesuatu terjadi di luar rencana. Sera tidak pernah menduga bahwa Yuki yang semenjak awal memilih mengorbankan dirinya berhasil keluar dari pengamanannya. Dia tidak menyangka Yuki akan melepaskan segala ketakutannya dan berlari menuju kematian, hanya untuk memastikan bahwa Riana dan dirinya tidak akan terbakar dalam api itu.
Pada detik terakhir, sebelum segel suci terlepas dan kubah terkunci sepenuhnya, Sera membuat keputusan yang tak seharusnya ia buat. Ia meraih Yuki, melemparkannya keluar dari kubah, mengambil tempatnya dalam kematian yang sudah direncanakan untuk orang lain.
Dan kini, Yuki hanya bisa menangis—sementara Riana, dengan tangan yang masih berlumuran dosa, berdiri dalam diam. Hanya suara api yang memudar dan kepedihan yang tak terucap tersisa di antara mereka.
...****************...
Langkah berat Jenderal Aiden dan pasukannya terhenti begitu mereka melihat sosok yang berdiri di hadapan mereka. Mata mereka membelalak, tak percaya dengan apa yang terpampang di depan mereka—Putri Yuki, dengan tangan berdarah dan wajah penuh air mata, serta Pangeran Riana, yang berdiri kaku dalam keheningan.
Pangeran Riana seharusnya ada di dalam sana. Seharusnya dialah yang terperangkap di balik kubah suci, terbakar bersama iblis Balgira. Tapi kini, ia berdiri di sini, di luar kubah yang telah padam.
Jenderal Aiden merasakan jantungnya mencelos. Tatapannya beralih ke kubah yang kini hanya menyisakan abu dan arang. Pasukannya saling bertukar pandang, berharap menemukan tanda-tanda yang mereka takutkan. Namun, tak ada yang tersisa.
Dan kemudian kenyataan itu menghantam mereka—keras dan tanpa ampun.
Pangeran mereka tidak ada.
Tak ada tubuh yang bisa mereka temukan, tak ada jejak keberadaan Sang Pangeran di luar kobaran api itu. Segel suci tidak mungkin ditarik oleh sembarang orang. Hanya ada tiga orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya—dan jika dua di antara mereka masih berdiri di sini, maka hanya satu kemungkinan yang tersisa.
Pangeran Sera-lah yang menarik segel itu.
Dan kini, ia telah terbakar bersama iblis Balgira.
Jenderal Aiden mengepalkan tinjunya. Dadanya terasa sesak, amarah, kesedihan, dan keterkejutan bercampur menjadi satu. “Tidak mungkin…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Pasukan yang mengikutinya hanya bisa terdiam dalam keterkejutan yang sama. Mereka datang untuk mendukung Pangeran mereka, tetapi yang mereka temukan hanyalah kehampaan. Pemimpin mereka telah pergi, mengorbankan dirinya dalam kobaran api yang tak bisa dipadamkan.
Di sisi lain, Yuki jatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat. Sementara Riana hanya berdiri di sampingnya—tidak mengatakan apa pun, tidak menunjukkan apa pun. Matanya tetap menatap lurus ke depan, tetapi dalam kediamannya, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.
Sesuatu yang bahkan lebih membara dari api yang baru saja padam.
Derap langkah pasukan yang semakin mendekat memenuhi udara yang masih dipenuhi jejak asap dan abu. Di belakang Jenderal Aiden dan pasukannya, barisan prajurit lain datang—pasukan Bangsawan Voldermon dan Bangsawan Xasfir, diikuti oleh Pendeta Serfa.
Bangsawan Voldermon melangkah maju, matanya menyapu medan yang baru saja dilanda kehancuran. Ia menghela napas lega begitu melihat Pangeran Riana masih berdiri tegap di sana.
“Riana, akhirnya kau berhasil menarik segel suci,” katanya, suara penuh kelegaan seolah beban besar telah terangkat dari pundaknya.
Namun, respons yang ia dapatkan tidak seperti yang diharapkannya.
Pangeran Riana meliriknya sekilas—tatapan dinginnya menusuk, membuat suasana di sekitar mereka terasa lebih mencekam daripada api yang baru saja padam. Dengan suara rendah dan datar, ia berkata, “Bukan aku yang melakukannya. Tapi Sera.”
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Bangsawan Voldermon mengerutkan kening, sedikit terkejut, namun ia dengan cepat meredakan keterkejutannya. “Benarkah?” katanya, sebelum menghela napas. “Tapi untunglah semuanya sudah berakhir.”
Saat ia menoleh, matanya menangkap sosok Yuki yang berlutut di tanah, tangannya berlumuran darah, bahunya bergetar hebat. Bangsawan Voldermon terdiam, ekspresinya berubah ketika ia benar-benar memperhatikan keadaan Yuki.
Wajahnya pucat. Matanya kosong, seakan sedang menatap sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh orang lain. Sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang baru saja melewati batas antara kehidupan dan neraka.
Bangsawan Voldermon mendekatinya, perlahan berjongkok di sampingnya. “Yuki… apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara lebih lembut, mencoba membangunkannya dari keterpurukan.
Yuki tetap diam.
Bangsawan Voldermon menatapnya lebih lama, lalu menelan ludah, firasat buruk menggerogoti hatinya. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia bertanya, “Di mana Sera?”
Diam.
Tak ada jawaban.
Hanya suara angin yang berembus, membawa serpihan abu yang masih berputar di udara.
Bangsawan Voldermon mencoba lagi. Kali ini, suaranya lebih tegas, lebih mendesak. “Yuki, di mana Sera?”
Lama, Yuki tetap dalam kebisuannya.
Lalu, dengan suara lirih, hampir tak terdengar, ia akhirnya membuka mulut.
“Pangeran Sera sudah tidak ada.”
Kata-kata itu jatuh seperti pisau yang menusuk ke dalam hati siapa pun yang mendengarnya.
Pendeta Serfa menundukkan kepalanya, sementara para pasukan mulai saling bertukar pandang dengan kegelisahan yang tak bisa mereka sembunyikan. Jenderal Aiden mengepalkan tinjunya, rahangnya mengatup erat.
Bangsawan Voldermon sendiri terdiam, seolah kata-kata itu membutuhkan waktu untuk benar-benar meresap dalam benaknya.
Tidak ada.
Pangeran Sera sudah tidak ada.
Bangsawan Voldermon masih menatap Yuki, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kegelisahan. Ia tidak bisa menerima jawaban itu begitu saja. “Tidak ada? Apa maksudmu, Yuki?” desaknya lagi, suaranya meninggi.
Yuki masih terisak, tangannya mencengkeram erat tanah di bawahnya, kukunya yang berlumuran darah menciptakan bekas di permukaan yang hangus. Dadanya naik turun dalam tangisan tertahan, sebelum akhirnya ia berbicara lagi, suaranya parau dan penuh kepedihan.
“Seharusnya aku yang ada di sana… Seharusnya dia tidak boleh mengetahuinya… Tapi dia ke sana, dan dia tahu semuanya…”
Kata-kata itu membuat udara seakan semakin menekan. Bangsawan Voldermon mengernyit, matanya menyipit tajam. “Apa maksudmu, Yuki?” tanyanya, mencoba memahami situasi yang semakin tidak masuk akal. “Sera hanya menarik segel suci… Lalu kenapa dia bisa terbunuh?”
Sebelum Yuki sempat menjawab, sebuah suara dingin memotong pembicaraan.
“Serfa.”
Pangeran Riana akhirnya membuka mulut, nada suaranya sedingin es, penuh kecurigaan yang tajam. Ia mengalihkan pandangannya pada Pendeta Serfa, yang berdiri sedikit di belakang Bangsawan Voldermon.
Pendeta itu terdiam sejenak, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya menundukkan kepala dengan berat hati.
“Ya, Yang Mulia.” suaranya terdengar tenang, namun ada ketegangan yang tersembunyi di baliknya. “Siapapun yang menarik segel suci itu akan mati karena kekuatannya.”
Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka.
Bangsawan Voldermon membelalak, rahangnya mengatup rapat. Beberapa pasukan di belakangnya saling berpandangan dengan keterkejutan yang jelas.
Riana tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun matanya yang tajam dan berbahaya semakin menusuk saat ia melangkah maju.
“Dan apa tujuanmu memberitahu Sera… tapi menyembunyikannya dariku?”
Nada suaranya tidak berubah—datar, dingin, dan berbahaya.
Pendeta Serfa menelan ludah, namun ia tetap diam, tidak langsung menjawab.
Semua orang kini menatapnya, menunggu jawaban. Sementara di tengah mereka, Yuki masih berlutut, menggenggam dadanya yang terasa kosong. Tidak peduli bagaimana pertanyaan ini berkembang, kenyataan tetap sama.
Pangeran Sera telah pergi.
Pendeta Serfa menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka mulut, suaranya tetap tenang meski situasi di sekitarnya dipenuhi ketegangan.
“Putri Yuki tidak bisa melakukannya. Kita masih membutuhkannya untuk melahirkan dua anak lagi bagi Garduete… Jadi, tidak ada pilihan lain, terpaksa saya memberitahu Pangeran Sera…”