Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Siuman
Benny tidak langsung menjawab. Dia berdiri tegak di depan Arsen, seolah sedang menimbang pilihan kata yang paling tepat. Matanya menyapu ruangan sebentar, mencatat posisi setiap penjaga, senjata mereka, bahkan arah angin dari ventilasi yang mengalir pelan. Semua diperhitungkan.
"Saya datang untuk mengambil anak buah saya," ucap Benny akhirnya, suaranya berat namun tenang, seperti orang yang terbiasa memerintah tanpa perlu berteriak.
Arsen menyilangkan tangan di dada. “Kamu pikir ini hotel? Datang, jemput orangmu, lalu pergi begitu saja?”
“Saya pikir kamu orang yang masuk akal,” balas Benny cepat. “Orang ini cuma operator. Dia tidak punya informasi strategis. Dan kamu tahu itu.”
“Kalau memang tidak penting, kenapa kamu sendiri yang datang?” Arsen membalas, mencondongkan tubuh sedikit, sorot matanya menantang. “Kamu menganggap saya bodoh?”
Hening sejenak. Benny menahan napas, rahangnya mengeras.
“Kalau saya kirim orang lain, mungkin mereka tidak pulang,” katanya pelan. “Saya datang sebagai bentuk hormat.”
Beberapa penjaga menoleh, sebagian menegang, sebagian tampak terkejut. Kalimat Benny terdengar seperti pujian, tapi setiap orang di ruangan tahu itu adalah peringatan halus.
John menatap Arsen, menunggu reaksi atas sindiran itu. Tapi Arsen malah tersenyum kecil, tipis dan berbahaya.
“Hormat, ya?” katanya lirih. “Kamu datang bawa dua penembak jitu. Kalau itu bentuk hormat, saya jadi penasaran seperti apa bentuk ancamanmu.”
Benny mengangkat satu tangan. “Kalau ini ancaman, mereka sudah menembak dari tadi.”
Ucapan itu membuat suasana kembali tegang. Jari beberapa penjaga bergerak ke arah pelatuk senjata mereka, tapi Arsen mengangkat tangannya, menghentikan mereka.
“Lepaskan dia,” kata Arsen akhirnya, membuat semua orang menoleh padanya.
“Tuan?” tanya John, terkejut.
“Lepaskan,” ulang Arsen, matanya tak lepas dari Benny. “Tapi ingat, sekali saja kalian injak wilayah saya tanpa izin lagi, saya akan anggap itu sebagai deklarasi perang.”
Benny mengangguk pelan. “Dicatat.”
Lalu dia menoleh ke anak buahnya. “Ayo, kita pergi.”
"Sebelum pergi, katakan dulu, siapa yang telah menyuruh anak buah mu untuk membuat rem mobil sahabat adik saya hingga blong." ucap Arsen
"Katakan, Edwin!" titah Benny
"Di--dia adalah Lisna, istri dari Ardian." jawab Edwin
Arsen terkejut, namun dia tetap memasang wajah datar. "Baiklah. Silahkan pergi."
Benny mengangguk, lalu dia berjalan, begitu pula Edwin yang berjalan cepat ke arah Benny, jelas masih bingung antara lega atau takut. Saat mereka mulai menuju pintu, Arsen menambahkan dengan nada santai namun jelas:
“Dan Benny… kalau saya menemukan satu alat pelacak tertinggal di tempat ini… saya akan kirim balik—dalam peti es.”
Benny menoleh sebentar, menatap Arsen dengan mata datar.
“Kamu terlalu pintar untuk perlu alat pelacak, Arsen,” katanya, lalu melangkah keluar.
Pintu menutup perlahan. Sunyi. Semua orang menoleh pada Arsen, menunggu perintah selanjutnya.
“Periksa ulang semua sudut ruangan. Pastikan tidak ada jejak mereka yang tertinggal,” perintah Arsen datar.
“Baik, Tuan!” seru John, lalu segera bergerak.
Arsen menatap pintu yang baru saja tertutup. Wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi dalam pikirannya, strategi mulai bergerak seperti catur.
Arsen keluar dari ruangan itu, dia menuju ke dalam mobilnya dan menuju ke rumah sakit.
***
Di rumah sakit.
Cahaya lampu putih menyilaukan memenuhi ruang rawat inap yang sunyi. Suara mesin monitor detak jantung berdetak pelan namun teratur, seolah menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Julia duduk di samping ranjang, tubuhnya lelah, tapi ia tak bergeming. Matanya sembab, tapi tak ada air mata yang tersisa untuk jatuh. Tangannya menggenggam erat jemari Eva yang dingin dan tak memberi balasan.
"Va..." suara Julia nyaris tak terdengar, parau dan dipenuhi rasa sesak yang ia tahan sejak lama. Ia menunduk, menatap wajah sahabatnya yang pucat, nyaris tak bergerak, kecuali helaan napas lembut yang terbantu alat di samping ranjang. “Cepatlah siuman… Aku enggak tahan lihat kamu kayak gini.”
Julia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang kembali menggenang. Ia mengelus punggung tangan Eva perlahan, seolah berharap sentuhannya bisa menarik kembali jiwa sahabatnya dari kegelapan. “Kamu tuh kuat, kan? Kamu yang selalu bilang ke aku jangan nyerah. Sekarang giliran kamu… jangan nyerah, ya?”
Udara di ruangan terasa dingin, menusuk sampai ke tulang. Tapi yang lebih menusuk adalah ketakutan Julia—takut kehilangan, takut kata-katanya tidak sampai, takut Eva tidak pernah membuka matanya lagi.
“Eva, ingat enggak? Setelah kamu resmi bercerai dengan Ardian, kita mau keliling dunia bareng. Mau lihat sakura di Jepang, jalan-jalan di Paris, makan es krim di Roma…” Julia tersenyum pahit. “Kamu enggak boleh tinggalin aku duluan. Kita belum jalan-jalan. Kita belum selesai, Va…”
Ia membenamkan wajah di tangan Eva, tubuhnya bergetar menahan tangis yang akhirnya pecah dalam sunyi. Suara tangisnya menyatu dengan suara mesin yang tetap berdetak, monoton dan tak peduli.
Dalam diam, Julia berdoa. Semoga ada keajaiban. Semoga sahabatnya kembali. Karena bagi Julia, dunia terlalu sunyi tanpa tawa Eva di dalamnya.
Tiba-tiba, di tengah isak tangis Julia yang tertahan, jari-jari Eva yang selama ini dingin dan diam terasa bergerak sangat pelan. Hampir tak terasa, nyaris seperti ilusi. Julia mendongak dengan cepat, matanya membelalak, napasnya tercekat.
"Va?" bisiknya, nyaris tak percaya. Ia memperhatikan lebih seksama. Kali ini, genggaman tangan Eva terasa sedikit lebih kuat, meski masih sangat lemah. Monitor di samping ranjang berbunyi sedikit berbeda—sedikit lebih cepat, seperti merespons denyut harapan yang tiba-tiba tumbuh di dalam ruangan itu.
“Eva, kamu denger aku, ya?” Suara Julia mulai gemetar, tapi kini bukan karena takut—melainkan karena harapan yang mulai menyala.
Kelopak mata Eva bergerak pelan. Perlahan, sangat perlahan, seperti berat sekali untuk terbuka. Tapi gerakan itu cukup untuk membuat dada Julia sesak oleh perasaan yang meledak-ledak. Ia mencengkeram tangan Eva lebih erat, menggenggamnya seolah tak akan pernah melepas lagi.
"Aku di sini, Va. Aku enggak ke mana-mana. Bangun, ya... Aku kangen kamu," bisiknya, kali ini diiringi senyuman yang masih penuh air mata.
Kelopak mata Eva akhirnya terbuka sedikit, dan mata sayunya menatap samar ke arah cahaya dan bayangan yang ada di sampingnya. Butuh waktu beberapa detik sebelum tatapan itu menangkap sosok Julia. Bibirnya yang pucat mencoba bergerak, membentuk satu kata.
“…Jul…”
Air mata Julia mengalir deras, tapi kali ini bukan karena duka—melainkan karena kebahagiaan yang begitu mendalam. Ia mengangguk berulang kali, menggenggam tangan Eva sekuat hati.
“Iya, Va. Aku di sini. Kamu udah bangun… kamu denger aku…”
Di balik rasa sakit, ketakutan, dan penantian yang begitu panjang, harapan akhirnya datang dalam bentuk sepasang mata yang terbuka dan satu nama yang terucap lemah. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti selamanya, Julia bisa bernapas lega.
Sahabatnya siuman.
Julia menekan tombol merah, dan tidak lama kemudian, seorang dokter muda masuk ke dalam ruangan.
***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka