Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebagian Keluarganya Asik
...❤ Sudah 10 Bab terlewati. Gimana kesan pesannya? Author harap masih pada setia ya nungguin kelanjutan kisah Aira dan Zayyan ❤...
"Bang Jay! Abang Jaaaay!" serunya nyaring, napasnya tersengal karena habis berlari. Itu Melati, adik bungsu Zayyan yang ceria dan dikenal sebagai ‘wartawan cilik’ kampung.
Zayyan spontan menepuk dahinya, "Duh, muncul juga nih reporter langganan."
Melati berhenti tepat di depan mereka, matanya berbinar melihat Aira. “Bang Jay kok udah jalan-jalan aja sih. Kalian nggak bobok bareng di kamar?” tanyanya polos, lalu menatap Aira dengan ekspresi terpesona.
“Ah… ini toh kakak baruku? Ya Alloooh… cantik poll! Namamu Mbak Aira, kan?" ujarnya spontan. “Kulitmu mulus banget! Cocok banget sama Bang Jay yang putih dan guanteng maksimal!”
Aira terkejut sekaligus tersipu mendengar pujian blak-blakan itu, sementara Zayyan buru-buru menepuk kepala adiknya berkulit sawo matang itu.
“Udah deh, kamu pulang aja. Omonganmu kedengeran sama tetangga nanti…”
Melati cemberut. “Ih, Bang Jay ini. Melati kira kalian lagi bobok siang di kamar, eh malah nongkrong berdua di pinggir jalan. Ya udah deh, Melati ikut ya!”
“Boleh—” Aira hampir menjawab, tapi Zayyan cepat-cepat menyela.
“Enggak! Sana pulang. Abang mau ke rumah Paman Sukimo, urusan penting.”
Melati menyilangkan tangan di dada dan mengerucutkan bibir. “Nggak mauuu, Melati ikut!”
Tiba-tiba dari arah beranda rumah sebelah terdengar suara lantang memanggil. “Hei, Melati! Sini aja sama kita. Nggak baik gangguin pengantin baru, lho,” ujar Bude Inem yang duduk bersama ibu-ibu lain. Mereka tertawa pelan sambil menggoda.
“Ayo, kamu punya berita apa hari ini? Jangan-jangan Bang Jay dan istrinya udah ciuman?” tambah Bude Yuli sambil tertawa.
Wajah Aira langsung merah padam, sementara Zayyan tertawa kikuk.
“Udah sana sana, Melati. Laporkan berita ke Bude Inem aja!” perintah Zayyan sambil mendorong lembut adiknya.
Melati berbalik dengan enggan, tapi sempat menoleh dan berbisik, “Emang bener kalian udah ciuman?"
Glek!
Aira dan Zayyan membeku.
"Kalo gitu, Besok Melati wawancara kalian lagi ya! Mau nulis kisah cinta pengantin baru, eksklusif!”
Zayyan hanya menggeleng, sementara Aira nyengir menahan tawa. “Aku nggak tahu harus malu atau ketawa sih barusan,” gumam Aira pelan.
Zayyan menatapnya sambil tersenyum lebar. “Selamat datang di kehidupanku, Aira. Penuh kehebohan tapi hangat. Dan mungkin sedikit, intrik. Hehe..."
Sesampainya di pelataran rumah Paman Sukimo, Zayyan dan Aira langsung disambut oleh keramahan khas desa. Di kursi panjang depan rumah, Bibi Sukimo tampak duduk santai memangku cucu kecilnya yang tertidur pulas.
“Wes, wes… ponakanku wis teko!” serunya riang sambil menepuk lututnya.
Dari dalam rumah terdengar sahutan, “Mana, Buk?” Itu suara Paman Sukimo,yang rupanya sedang asyik menonton TV di ruang tamu. Beliau adalah kolega Papa Hariatmaja di kantor kementerian yang lagi ngelibur. (Jangan ditiru ya😆) Dan yang memperkenalkan Zayyan kepada Papa.
...-Nggak kok, Paman Sukimo udah izin tidak masuk. Kan Ponakannya nikah- 😌...
“Itu lho, Pak. Ayo, ayo disambut sik, masa tamu didiemin aja,” jawab Bibi Sukimo sembari berdiri dan membenahi kerudungnya.
Zayyan tersenyum dan menuntun Aira maju ke hadapan mereka. Aira langsung menyalami tangan Bibi dan Paman dengan takzim, menundukkan kepala dan tersenyum sopan.
“Duh, sopan banget kamu, Nduk,” puji Bibi Sukimo sambil menepuk tangan Aira lembut. “Bulek nggak nyangka, ponakan bulek yang dari desa ini, yang kerjaannya cuma main layangan dulu, bisa dapet bojo koyo kowe. Cantik, kuning langsat. Lah ngalahke artis Korea iki mah!”
Zayyan tertawa geli, “Bulek, jangan buka aib dong. Aku udah tobat dari masa kecil yang tukang layangan.”
“Walah, masa kecilmu itu nggak akan pernah bisa ilang dari ingatan kampung ini, Jay,” sahut Paman Sukimo yang kini muncul di ambang pintu, tertawa lebar.
“Dah, dah, sini dulu, kenalan beneran. Paman ini yang ngenalin si Jay sama Papa kamu lho, nduk Aira," sambungnya sambil mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu.
"Oh ya?" Aira melirik ke arah suaminya.
Saat mereka tengah berbincang hangat di ruang tamu, suara langkah terdengar dari luar.
“Nah lho, itu pasti si Santi datang,” kata Bibi Sukimo sambil bangkit dari duduknya. “Mau jemput anaknya ini."
Tak lama, seorang wanita modis dengan gaya langkah penuh percaya diri masuk. Bibirnya langsung bergerak cepat seperti mesin ketik.
“Wah, Ini tho menantu dari kota yang bikin heboh satu RT?” ujarnya sambil mengamati Aira dari ujung kepala sampai ujung kaki. Senyumnya lebar, tapi nadanya tajam penuh sindiran.
“Cantik sih, tapi kuat ndak tinggal di desa? Ini bukan kota, Dek. Nggak ada kafe, nggak ada mall, sinyal aja nyesek.”
Zayyan hanya tertawa. “Mbak, dulu juga Mbak Santi bilang nggak mau tinggal di desa. Tapi liat sekarang, malah jadi juru gosip nomor satu se-RT. Siaran pagi, siang, sore, lengkap dengan bumbu sambel.”
Semua di ruangan langsung tertawa, termasuk Paman Sukimo yang sampai menyembunyikan tawanya di balik tangan.
Mbak Santi melotot sejenak. “Ealah, Zayyan! Emang kamu nggak berubah ya, suka nyeletuk seenaknya!”
Zayyan mengangkat tangan, “Cuma balas pantun, Mbak. Mulut Mbak pedas, tapi hatinya manis... ya kan?”
“Manis apaan! Manis kayak rendang basi,” timpal Mbak Santi, tapi senyum geli tetap tersungging di wajahnya.
Aira mengerjap pelan, sedikit kaget dengan gaya interaksi yang begitu ceplas-ceplos, tapi juga geli melihat Zayyan begitu santai menghadapi keluarga yang 'ramai' ini.
Bapak Dikromo memiliki dua saudara kembar yang dikenal sebagai Paman Sukimo dan Paman Tukimo. Paman Tukimo yang memiliki andil besar dalam perjalanan hidup Zayyan. Beliaulah yang mengajak Zayyan merantau ke kota, mengenalkan dunia usaha, dan membuka jalan hingga Zayyan sukses membangun bisnis besar. Hingga kini, Paman Tukimo menjadi tangan kanan Zayyan dalam mengelola bisnis tersebut.
Zayyan sendiri memiliki tiga saudara. Kakaknya, Bang Sugeng yang menikah dengan Mbak Santi. Adik laki-lakinya bernama Sunan, dan yang paling bungsu adalah Melati.
Malam hari turun perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti rumah tua keluarga Zayyan. Kamar tempat Aira berada terasa sunyi. Di luar jendela, kebun dan rumpun bambu bergoyang pelan diterpa angin malam, menambah kesan sepi yang mencekam. Aira duduk di tepi ranjang, diam, menatap lantai seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Entah kenapa, aku ngerasa Kak Zen sangat berbeda dengan keluarganya." gumam Aira.
Tiba-tiba pintu berderit pelan, dan muncullah Zayyan dengan nampan berisi makanan dan dua gelas minuman hangat.
"Aira, yuk maem dulu," ucapnya lembut, menatap istrinya dengan senyum hangat.
"Iya," jawab Aira pelan.
Zayyan duduk di sebelahnya, meletakkan nampan di antara mereka. “Aku lihat kamu lebih tenang sekarang. Aku senang lihatnya. Mengingat tadi kamu sempat nangis gara-gara Ibu…”
Aira terkejut, “Eh? Kamu tau, Kak?”
Zayyan mengangguk pelan. “Iya dong. Masa aku nggak tau? Aku kenal siapa Ibuku, Aira. Aku kenal mereka semua. Siapa yang begini… siapa yang beginu… siapa yang begene… siapa yang begono…” godanya dengan ekspresi lucu, membuat Aira tak tahan tertawa kecil.
“Keluargamu asik kok, Kak,” ucap Aira. “Paman Sukimo sama Bulek ramah banget. Melati juga kayak wartawan tapi lucu. Tetangga-tetangga baiknya kayak gula jawa.”
“Cuma…” Aira menahan kata-katanya.
😢💔😔