Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Pertama di Istana Harem
Ia tahu itu. Dan ia tidak bisa menolak.
Setelah beberapa detik menimbang, ia membungkuk setengah.
“Tentu. Akan kujaga. Jangan lupakan jasaku ini nanti.”
Nada suaranya tetap manis, tapi terdengar ada sedikit geram yang ditelan.
Yu Zhen tersenyum lagi. Tapi tidak menjawab. Ia tahu... dengan satu kalimat tadi, ia baru saja menaruh batu di pundak Shuang Mei, dan membuka pintu pengaruh pertamanya.
Dan saat pintu barak dibuka lebar-lebar dan suara pelayan Kediaman Xuan berseru lembut,
“Kami datang menjemput Dayang Yu Zhen atas perintah Selir Agung,”
semua yang ada di dalam ruangan langsung diam dan mematung.
Lalu, pelayan Kediaman Xuan masuk lebih dalam, membawa sebuah kotak kecil berukir dan dua lembar kain tebal yang dilipat rapi di lengannya.
“Ini pakaian dari kediaman. Sudah disiapkan sejak semalam,” ucapnya tenang.
Qin’er membelalak. “Sejak semalam...?!”
Pelayan itu menunduk sedikit. “Kami mendapat perintah langsung dari Selir Agung begitu Dayang Yu Zhen kembali tadi malam.”
Qin’er menoleh ke Zhen, separuh heran, separuh kehilangan arah.
"Semuanya sudah... ditentukan dari kemarin?” bisiknya.
Yu Zhen mengangguk pelan. “Ya.”
Tangannya menyentuh lipatan baju lamanya yang tergantung di sisi ranjang. Tapi tak ia ambil. Sebaliknya, ia menerima kotak dan pakaian baru dari pelayan Xuan, lalu berkata:
“Yang lama biar di sini saja.”
“Aku... tak tahu apakah akan kembali.”
Qin’er menunduk, matanya mulai berembun lagi. Tapi ia tidak berkata apa-apa.
Zhen berdiri. Sekilas, ia menoleh ke belakang. Ke tempat tidurnya yang lama. Ke Qin’er. Ke Shuang Mei.
Lalu ia melangkah maju—dan untuk pertama kalinya, semua yang ada di barak menunduk padanya.
---
Langkah Yu Zhen terdengar ringan, tapi pikirannya terasa jauh lebih berat.
Ia berdiri di atas kereta kecil bersama-sama dengan dayang kediaman Selir Xuan yang ikut menjemputnya tadi, ditarik oleh dua pelayan laki-laki istana, membawa beberapa pakaian lipat yang sebelumnya telah diberikan sebagai seragam baru, dan dua potong sepatu yang sudah mulai menipis dalam sebuah buntalan kain. Di sebelahnya, Qin’er melambaikan tangan dari kejauhan, matanya masih merah, dan Zhen membalas hanya dengan anggukan tipis.
Begitu gerbang barak ditinggalkan, suasana berubah drastis.
Dinding tinggi dengan ukiran naga dan awan mulai menghiasi sisi lorong-lorong yang mereka lewati. Pohon plum dan jendela kisi emas menggantikan pohon kering dan tempat cuci kain yang biasa ia lihat.
Baru beberapa langkah melewati gerbang dalam keempat, seorang pelayan berbisik padanya:
"Itu... Kediaman Pangeran Keempat. Jangan menoleh terlalu lama.”
Zhen hanya mengangguk kecil. Tapi matanya sempat melihat sekilas: paviliun batu dengan tiang merah, halaman berlapis batu lonjong, dan bendera kecil bertuliskan karakter “Rui” yang bergoyang ringan.
Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dadanya bergetar pelan—seperti tersentuh nama yang hanya bisa ia dengar, tidak boleh ia panggil.
Perjalanan mereka berbelok ke sisi barat. Butuh waktu hampir sepuluh menit penuh dari barak menuju Kediaman Xuan. Tapi suara di sepanjang jalan... sepi. Tidak ada tawa, hanya bisik dan suara langkah. Sebenarnya rasanya sama saja seperti saat ia dipanggil ke kediaman Selir Xuan kemarin malam. Bedanya hari ini menggunakan kereta polos ini, jadi tidak memakan waktu hingga kembali terlalu larut seperti kemarin malam.
Begitu melewati gerbang berornamen angsa perak, mereka disambut oleh seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan—berjubah cokelat muda dan rambut disanggul rapi. Wajahnya tidak cantik, tapi tertata. Sorot matanya tajam dan datar.
“Namaku Liao-shi. Kepala dayang Kediaman Selir Agung,” katanya datar. “Mulai sekarang, aku yang akan menentukan layak tidaknya kau berdiri di tempat ini.”
Zhen menunduk dalam. “Terima kasih atas bimbingannya.”
Liao-shi hanya menjawab dengan anggukan singkat. Lalu memanggil dua dayang muda di belakangnya.
“Bawa dia ke kamar sayap timur. Dayang Zhen dapat tugas di ruang utama, detail pekerjaan masih akan diberitahu langsung nantinya oleh Yang Mulia Selir.”
Dayang yang lebih tua—berwajah bulat dan cerah—tersenyum hangat saat mengambil tas Zhen.
“Namaku Shi Yun,” katanya ramah. “Aku bukan dayang ruang utama, hanya bantu jaga dapur kecil dan ruang tulis. Jangan ragu kalau butuh apa-apa.”
Zhen tersenyum tulus. Tapi saat menoleh ke samping, matanya bertemu seorang gadis bermata sipit dan langkah tajam, yang memandangi Zhen dari atas ke bawah seperti menilai ikan mentah.
Ia tidak memperkenalkan diri. Tapi pelototannya cukup keras.
“Dia... Ling Xi,” bisik Shi Yun saat mereka berjalan menuju kamar. “Sudah sepuluh tahun di sini. Mulai dari cuci piring, lalu dapur, baru sekarang pindah ke penyajian teh.”
Zhen hanya mengangguk, namun dari belakang ia bisa mendengar suara bisik-bisik.
Beberapa langkah kemudian, saat Zhen mulai menyusun baju di rak kecil kamarnya, suara lain terdengar dari balik tirai:
“Langsung masuk ruang utama?”
“Baru dua hari dari barak katanya.”
“Orang dalam kali. Atau... disukai.”
Tawa kecil terdengar—datar, dingin, dan cukup dekat untuk disengaja.
"Kau lupa siapa dia?” suara lain menyambung. “Itu... yang bersaksi waktu parade panen. Yang hampir mati dibunuh pelaku sabotase kuda... lalu dilindungi langsung oleh Pangeran Keempat.”
“Oh, yang itu...”
“Bahkan disuruh istirahat, diantar tonik, dan makanan khusus.”
“Lihat saja... perbannya masih ada di tangannya.”
Shi Yun yang sedang melipat kain cadangan di sudut kamar hanya diam. Tapi pandangannya beralih pada Zhen, lalu menatap tajam ke arah tirai.
“Tidak semua perhatian berarti niat naik tingkat,” gumamnya.
“Tapi semua perhatian... memang bisa menaikkan status.”
Zhen pura-pura tak dengar. Tapi dadanya terasa padat. Ia tahu, sebagian dari itu benar—dan sebagian... hanya gosip yang akan terus tumbuh seperti rumput liar bila tak dicabut.
Mungkin benar... perintah Selir Xuan itu bukan tukar-menukar.
Tapi tidak semua orang di sini menganggapnya begitu.
“Kalau aku jadi Selir Agung, aku juga pasti membawanya kemari. Menjauhkannya dari putraku yang sudah berjalan sejauh ini. Berprestasi, dipercaya rakyat, sering mendapat tugas besar dari Kaisar. Sedikit lagi, jangan sampai kacau.”
Tawa kecil terdengar—datar, dingin, dan cukup dekat untuk disengaja.
Shi Yun hanya melirik sebentar, lalu menggigit bibirnya.
“Maaf ya, mereka... bukan jahat. Tapi di sini, semua orang menghafal jalan naiknya. Kau... dianggap langsung pakai kereta emas.”
Zhen tak menjawab. Tapi ia mengerti.
Dia belum lama di istana. Tapi bahkan ia tahu, tidak ada jalur naik yang disukai semua orang—apalagi jika kau tidak melewati anak tangganya.
Dan ia pun mulai sadar:
mungkin perintah Selir Xuan yang terdengar seperti hadiah...
juga telah memberinya batu pertama dalam timbangan persaingan baru. Dimana mana tetap ada tantangannya, baik di barak barat maupun kediaman Selir Agung sekalipun.